Sabtu, 24 September 2016

Menggali Literasi, Membiasakan Siswa Menulis Diari

Menulis memang berat. Tidak sulit kata siapa. Sulit, memang ya. Hal ini tidak saja dialami siswa atau santri. Namun bisa dinyatakan oleh siapa saja. Profesi apapun. Latar belakang pendidikan apapun. Apalagi  yang tidak mempunyai hobbi tulmenul, tulis menulis. Entah menulis puisi, artikel, cerpen, cerbung, apalagi menulis karya tulis ilmiah.
Hal inilah yang mungkin menjadi penyebab “darurat literasi” di negeri kita. Pengalaman saya dulu ketika di sekolah dasar dan menengah jarang menerima pelajaran mengarang. Ketika pelajaran Bahasa Indonesia. Bahkan terasa tidak ingat sama sekali apa pelajaran mengarang itu. Karena tidak ingat, maka tidak ada keinginan untuk menuangkan sesuatu dalam bentuk tulisan.
Hal tersebut berlanjut hingga sekolah menengah atas. Ketika di bangku perguruan tinggi kegiatan tulis menulis masih sedikit-sedikit “terpaksa”. Ya, terpaksa karena harus menulis makalah sebagai tugas yang harus dikerjakan.
Namun itupun tidak berlanjut. Karena yang ada didalam pikiran, apa to gunanya menulis. Apa bisa digunakan sebagai “penyambung hidup”. Mungkin hal ini juga yang menghinggapi semua murid kita. Sehingga ketrampilan menulis tidak dipraktekkan, dikuasai, dan dikerjakan dalam hidup keseharian.
Bila melihat orang sukses, banyak diantara mereka  yang jago dalam profesinya juga jago menulis. Nyatanya saling mensupport. Profesi guru misalnya. Ada nilai tambah yang dimiliki. Selain menjalankan profesinya di sekolah atau madrasah lalu sesekali menulis di blognya atau selebaran dan dishare ke banyak orang. Sedikit banyak akan memberi “warna”. Ya, warna dalam kehidupannya. Mungkin juga akan bermanfaat bagi yang lain. Tidak hanya rutinitas bertemu dengan siswa dan kolega. Syukur-syukur ada “nilai plus” dalam profesinya.
Suatu saat Dirut PLN Dahlan Iskan ditunjuk oleh SBY menjadi menteri BUMN. Sebagai penggantinya beliau memilih sosok wakilnya yang dulu juga aktivis majalah kampus ketika menjadi mahasiswa. Katanya ia lebih muda dan bisa mengkomunikasikan gagasan-gagasannya. Nah.
Sebagai ikhtiar kecil yang bisa dilakukan mungkin adalah memberi “virus” menulis pada anak didik kita. Tidak ditarget harus menulis satu buku. Minimal menulis pengalaman yang dialami. Karena hal ini lebih mudah dikerjakan oleh siapapun. Dibanding menulis dengan materi yang tidak dikuasai. Apa yang dialami, dirasakan, diresapi, lalu dituangkan akan terasa lebih mudah. Tercetuslah memberi tugas “menulis diary”.
Tiap hari siswa menulis 3-5 baris apa yang dialami. Bila ini istikomah dikerjakan sudah jadi 21-35 baris tiap pekan. Belum lagi selama sepekan, sebulan dan setahun.
Dari pengalaman tahun-tahun kemarin, siswa yang terbiasa menulis tergolong anak yang pandai di kelas dan di tingkat madrasah. Ditambah lagi tulisan tanggannya juga lumayan bagus. Tidak kalah penting adalah bisa menuangkan gagasan-gagasan dalam pikirannya. Dari setiap angkatan ada sekitar 15-20an siswa yang seperti ini. bahkan hasilnya ada yang disimpan di perpustakaan madrasah.
Ada rasa syukur dan bangga. Ternyata siswa madrasah bisa “menulis”. Alhamdulillah. Wallahul a’lam bi al shawab. 



Tidak ada komentar:

Posting Komentar