Menulis memang berat.
Tidak sulit kata siapa. Sulit, memang ya. Hal ini tidak saja dialami siswa atau
santri. Namun bisa dinyatakan oleh siapa saja. Profesi apapun. Latar belakang
pendidikan apapun. Apalagi yang tidak
mempunyai hobbi tulmenul, tulis menulis. Entah menulis puisi, artikel, cerpen,
cerbung, apalagi menulis karya tulis ilmiah.
Hal inilah yang mungkin
menjadi penyebab “darurat literasi” di negeri kita. Pengalaman saya dulu ketika
di sekolah dasar dan menengah jarang menerima pelajaran mengarang. Ketika pelajaran
Bahasa Indonesia. Bahkan terasa tidak ingat sama sekali apa pelajaran mengarang
itu. Karena tidak ingat, maka tidak ada keinginan untuk menuangkan sesuatu
dalam bentuk tulisan.
Hal tersebut berlanjut
hingga sekolah menengah atas. Ketika di bangku perguruan tinggi kegiatan tulis
menulis masih sedikit-sedikit “terpaksa”. Ya, terpaksa karena harus menulis
makalah sebagai tugas yang harus dikerjakan.
Namun itupun tidak
berlanjut. Karena yang ada didalam pikiran, apa to gunanya menulis. Apa bisa
digunakan sebagai “penyambung hidup”. Mungkin hal ini juga yang menghinggapi
semua murid kita. Sehingga ketrampilan menulis tidak dipraktekkan, dikuasai,
dan dikerjakan dalam hidup keseharian.
Bila melihat orang
sukses, banyak diantara mereka yang jago
dalam profesinya juga jago menulis. Nyatanya saling mensupport. Profesi guru
misalnya. Ada nilai tambah yang dimiliki. Selain menjalankan profesinya di
sekolah atau madrasah lalu sesekali menulis di blognya atau selebaran dan dishare
ke banyak orang. Sedikit banyak akan memberi “warna”. Ya, warna dalam
kehidupannya. Mungkin juga akan bermanfaat bagi yang lain. Tidak hanya
rutinitas bertemu dengan siswa dan kolega. Syukur-syukur ada “nilai plus” dalam
profesinya.
Suatu saat Dirut PLN
Dahlan Iskan ditunjuk oleh SBY menjadi menteri BUMN. Sebagai penggantinya
beliau memilih sosok wakilnya yang dulu juga aktivis majalah kampus ketika
menjadi mahasiswa. Katanya ia lebih muda dan bisa mengkomunikasikan
gagasan-gagasannya. Nah.
Sebagai ikhtiar kecil
yang bisa dilakukan mungkin adalah memberi “virus” menulis pada anak didik
kita. Tidak ditarget harus menulis satu buku. Minimal menulis pengalaman yang
dialami. Karena hal ini lebih mudah dikerjakan oleh siapapun. Dibanding menulis
dengan materi yang tidak dikuasai. Apa yang dialami, dirasakan, diresapi, lalu
dituangkan akan terasa lebih mudah. Tercetuslah memberi tugas “menulis diary”.
Tiap hari siswa menulis
3-5 baris apa yang dialami. Bila ini istikomah dikerjakan sudah jadi 21-35
baris tiap pekan. Belum lagi selama sepekan, sebulan dan setahun.
Dari pengalaman
tahun-tahun kemarin, siswa yang terbiasa menulis tergolong anak yang pandai di
kelas dan di tingkat madrasah. Ditambah lagi tulisan tanggannya juga lumayan
bagus. Tidak kalah penting adalah bisa menuangkan gagasan-gagasan dalam
pikirannya. Dari setiap angkatan ada sekitar 15-20an siswa yang seperti ini.
bahkan hasilnya ada yang disimpan di perpustakaan madrasah.
Ada rasa syukur dan
bangga. Ternyata siswa madrasah bisa “menulis”. Alhamdulillah. Wallahul a’lam
bi al shawab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar