Selasa, 26 Juli 2016

Mapan Dulu Baru Menikah

“Mas, menikahnya kapan? Anakku udah kelas 9 tsanawiyah lho?”, ini pertanyaan saya kepada saudara saya, Mas Ridwan. Ia kini telah berusia kepala tiga.
“Menikah sih gampang. Lha, nanti anak isteri diberi makan apa? Sekarang saja masih kerja serabutan. Nanti bila dah punya pekerjaan mapan baru kepikir menikah?’jawab Mas Ridwan dengan santai.
Apa sudah menikah? Kapan menikah? Dengan siapa? Adalah sederetan pertanyaan bila bertemu dengan kolega, keluarga. Entah apakah ini sudah tradisi, basa-basi, kata-kata pembuka pembicaraan atau entah yang lain. Namun seakan ini menjadi pertanyaan wajib bila bertemu dengan teman yang sudah lama tak bersua. Seperti kemarin waktu reuni alumni MAN Nglawak Kertosono angkatan 1996 (9/7/2016) lebaran kemarin. Sudah 20 tahun tidak bertemu, bertemu sudah bawa anak isteri/suami.
Menjawab pertanyaan menikah memang suatu jawaban sulit. Ini pernah saya alami dulu ketika belum menikah. Namun, maaf. Itu tidak terjadi he..he..karena menikah di usia muda.
Untuk menjawabnya perlu pemikiran yang agak lama. Apalagi usia-usia yang sudah “agak telat”. Kisaran usia 30-40 tahun. Memang satu sisi adalah hal  yang lumrah bertanya tentang menikah. Toh, tidak bertanya tentang agamanya apa? Bekerja dimana? Gajinya berapa? Ini terlalu detail sepeti diintograsi polisi saja.
Namun perlu hati-hati. Jangan karena rasa ingin tahunya tinggi lantas seolah-oleh bertanya seperti penyidik. Nanti pertemanan bisa-bisa bermasalah. Jadi perlu menahan diri agar tidak tersinggung dengan lawan bicara. Ini perlu “seni” tersendiri.
Ada jawaban  umum yang diberikan. Bila sudah mapan. Mapan adalah hal yang abstrak, terkadang parameternya tidak ada. Walaupun parameter mapan bisa dilihat misalnya punya pekerjaan tetap, penghasilan yang lumayan, punya mobil, punya rumah. Lalu apakah kemapanan hidup menjadi jaminan rumah tangga akan berjalan dengan lancar?.
Memang ada cerita. Seorang laki-laki usia 40 tahun menikah dengan gadis usia 20 tahun. Oleh karena si laki-laki sudah punya mobil, rumah, pekerjaan tetap kelihatan pernikahannya berlangsung dengan lancar. Memang, orang tua mana yang tidak ingin melihat buah hatinya hidup nyaman bin tentram.
Mengenai hal ini ada dawuhnya Kanjeng Nabi Muhammad Saw. yang bisa kita cermati. Nikahilah perempuan karena 4 perkara. Karena cantik, kaya, nasab, dan agamanya. Pilihlah karena agamanya. Karena akan beruntung. Demikian maksud sederhananya.
Kecantikan, tidak bisa dipungkiri. Ini yang awal membuat laki-laki tidak memalingkan muka. Terpesona. Namun apakah hal ini berlangsung lama? Periode waktu awal memang menggoda. Namun bisa dilihat bila sudah usia 70 tahun. Seperti apa coba?
Kaya. Setiap orang ingin hidup nyaman. Kalau bisa lahir sudah mempunyai harta yang banyak. Sehingga hidup tinggal menjalani saja. Apapun yang disuka, diinginkan bisa tercapai. Namun itu hanya teori. Setiap orang hidup pasti mempunyai problema hidup tersendiri. Orang kaya menghadapi masalah dengan kekayaannya. Begitu pula orang yang hidupnya pas-pasan. Menghadapi masalah dengan keterbatasannya. Memilih orang yang kaya enak. Memilih yang cukup juga tidak salah. Ini hanya pilihan saja. Tentu dengan resiko masing-masing.
Keturunan yang baik atau nasab. Keturunan yang baik berpengaruh dalam kehidupan. Ada yang fanatik hanya memilih keturunan darah biru. Atau juga memilih yang sesuai dengan dirinya. Sudah cukup. Sekufu dengan dirinya. Bila tidak jelas asal usulnya juga riskan. Karena bisa berpengaruh dengan rumah tangga selanjutnya. Jadi memilih calon pasangan dengan memperhatikan keturunan juga penting. Minimal sekufu dengan dirinya.
Memilih agamanya. Ada pilihan juga, seseorang memilih calon karena ilmu agama yang dimilikinya. Ada tradisi di pondok pesantren, pak kiai menjodohkan santri putra dengan santri putri. Karena dijodohkan kiai, si santri tidak kuasa menolak. Disamping juga tabarukan dengan apa yang didawuhkan kiai. Akhirnya menikah. Dan alhamdulillah menjadi keluarga yang baik. Ilmu yang diperoleh di pondok pesantren diamalkan sesuai dengan kemampuan. Dari pengamatan yang saya lakukan, ternyata alumni pesantren bermanfaat di lingkungan masing-masing. Yang mempunyai ilmu bersedekah dengan ilmunya. Yang sudah berhasil berusaha, bersedekah dengan hartanya. Juga tidak sedikit yang memberikan bantuan pikiran. Inilah bagian dari keberkahan hidup, buah mengamalkan ilmu dari pesantren.
Bila menikah menunggu hidup mapan, usia berapa nanti menikahnya? Ilustrasi:
Katakanlah seorang pria usia 30 tahun, bekerja wiraswasta dengan penghasilan 3 juta/bulan.
Sedangkan yang dikatakan hidup mapan katakanlah:
-        Punya rumah seharga 250 juta
-        Punya mobil seharga 200 juta.
Kalkulasi dengan penghasilan sekarang 3 juta setahun 36 juta setahun. Belum dipotong pengeluaran rutin. Sisa tabungannya berapa? Lalu bisa-bisa 20-25 tahun kemudian baru bisa beli rumah dan mobil. Jadi sudah usia 50-55 tahun. Menikah dan punya momongan. Usia anak 18 tahun memasuki bangku kuliah, si bapak pada usia kisaran 70 tahun. Apa pada usia itu masih produktif bekerja, terkadang perusahaan  mulai meredup. padahal anaknya pas butuh biaya pendidikan yang cukup banyak?
Perencanaan pernikahan memang baik dan penting. Banyak juga yang meniru atau itbak Kanjeng Nabi Muhammad Saw. yang menikah pada usia 25 tahun.
Patokannya usia kisaran 25 tahun bagi laki-laki. Syukur-syukur keadaan ekonomi dan kematangan fisik mental bisa berjalan tegak lurus. Maka dimungkinkan pernikahan bisa dilangsungkan sesuai harapan.
Namun bagaimana bila belum?                                             
Ada solusi menarik yang dipegangi teman-teman. Yakni, menikah dikisaran usia menikah. Bila laki-laki selesai kuliah s1 kisaran usia 22 tahun. Menikahi dengan gadis pilihan yang menerima apa adanya. Karena sudah sepakat hidup berumah tangga dan siap melangkah bersama, lalu menikah dengan mantab. Dengan balutan doa dari kedua orang tua dan teman-teman. Berbekal aktivitas yang telah dipunyai sebagai batu loncatan untuk melangkah selanjutnya. Akhirnya, dari keadaan apa adanya menuju langkah kesempurnaan sebagai sebuah keluarga. Rumah, kendaraan untuk aktivitas, pekerjaan rutin, status sosial, aktivitas sosial menyertai dalam menggapai ridha illahi. Wallahu a’lam bi al shawab.







Tidak ada komentar:

Posting Komentar