Minggu, 05 Juni 2016

Budaya Antri

Budaya antri perlu dibiasakan sejak dini. dok. pribadi
Hari Jumat (3/6/2016), waktunya membayar administrasi pendidikan anak bungsu saya di Kota N. Terlihat berjubel banyak  orang di kantor administrasi. Maklum, hari terakhir pelunasan menjelang penerimaan rapor. Mau tidak mau harus bayar, maka saya berdiri di belakang seorang ibu yang sedang bayar.
Tanpa menghiraukan keberadaan saya, seorang ibu meringsek ke kiri depan saya. Dengan enaknya menyerahkan kartu pembayaran, sehingga ia dilayani setelah orang di depan saya. Tidak cukup di sini. Seorang ibu yang baru datang, dengan enaknya menitipkan pembayaran anaknya kepada seorang ibu yang sedang dilayani di sebelah kanan saya. Jadi ia dilayani bareng dengan antrian di sebelah kanan saya. Tidak hanya dua kali, namun hingga empat kali kejadian ini baru saya mendapat pelayanan.
“Mentang-mentang komunitas perempuan, orang laki-laki menjadi inferior”, guman di dalam hati. Pengalaman seperti ini mungkin tidak hanya saya saja yang mengalami. Mungkin juga teman-teman pembaca. Terutama di area pelayanan publik. Apalagi bila tidak ada menejemen antrian yang baik.
Area di bank, kelihatan lebih tertib. Bisa melewati nomor antrian baik manual maupun otomatis. Ada juga yang diberi lajur khusus antrian dengan beberapa loket. Itupun masih ditambah kebiasaan. Misalnya bila setelah dilayani masih ada sesuatu yang kurang, maka disuruh bergeser ke kanan atau ke kiri untuk menunggu penyelesaian. Nomor antrian berikutnya maju mendapatkan pelayanan.
Jadi kelihatan lebih nyaman dan tertib. Siapa yang datang lebih dahulu mendapat pelayanan lebih awal. Tidak seperti pengalaman saya, ada orang datang terlambat namun minta dilayani terlebih dahulu. Dengan cara menyerobot antrian. Sebenarnya “mendongkol” juga di dalam hati. Apa dia saja yang ingin cepat dilayani, dan lebih penting waktunya. padahal saya juga ingin cepat mendapat pelayanan dan menyelesaikan acara berikutnya. Namun bagaimana lagi?

Tidak Memandang Latar Pendidikan
Walau hati “gedumel”, namun timbul penasaran juga. Menyerobot antrian apa dipengaruhi latar belakang pendidikannya? Tanpa sengaja melihat, ibu pertama membuka dompet. Terlihat kartu tanda anggota organisasi profesi pendidik tertentu. Ternyata dia seorang “pendidik”. Bila pendidik berarti minimal berpendidikan S1.
Orang kedua, terlihat berbaju batik. Dan bersepatu. Bisa disimpulkan, ia juga pendidik. Minimal orang kantoran pemerintah. Karena hari Jumat, orang kantoran biasanya memakai kaos olahraga atau batik. Berarti juga minimal sarjana. Orang ketiga dan keempat, kelihatan seperti pernah melihat ketika upacara bendera di lapangan dalam rangka PHBN. Keduanya, minimal pernah mengenyam bangku kuliah. Karena pakaiannya juga rapi dan bersepatu kulit.
Dilihat dari segi usia, kelihatan dari wajahnya lebih dari kisaran kepala empat. Jadi sudah dewasa, bukan ABG yang mencari sensasi dan jati diri. Memang menyerobot disadari dan disengaja. Karena usia ‘40an sudah matang dan rasional untuk berfikir.

Budaya Kurang Baik
Menyerobot memang mungkin sensasi bagi sebagian orang. Akan kelihatan lebih jagoan. Sementara orang lain harus mengantri, ia sudah mendapatkan layanan. Dan secepatnya ngacir. Namun ada hak orang lain yang dilanggar.
Menjadikan suasana tidak tertib dan bahkan bisa juga menimbulkan kegaduhan dan “chaos” dalam hal tertentu. Misalnya dalam pembagian sembako, BLT, antrian daging kurban, pembagian zakat yang disalurkan sendiri. Bahkan bisa menimbulkan korban jiwa. Terutama antrian uang dan barang. Apalagi masih mengemuka budaya “tangan di bawah lebih utama dari tangan di atas”.
Sedari kecil, anak perlu dibiasakan untuk antri. Contoh kecil antri salim dengan guru ketika masuk kelas dan selesai dari pelajaran. Santri berbaris terlebih dahulu. Satu persatu santri maju salim, dengan tertib dan tidak gaduh.
Begitu juga antri dalam membayar barang di toko. Anak perlu dikenalkan bahwa yang terlebih dahulu antri di depan kasir dipersilahkann untuk lebih dulu dilayani. Begitu juga antri masuk ATM. Yang berhak masuk dahulu adalah yang antri lebih dulu.
Dalam hal zakat mal dan fitrah sangat dianjurkan untuk disalurkan kepada lembaga amil zakat. Supaya kejadian saling serobot dan ingin menang sendiri bisa dihindari. Selain juga untuk memutus “rasa” antara muzakki dan mustahik. Penyalurannya bukan dengan antrian memanjang dan mengular namun diantarkan ke rumah masing-masing. Jadi terasa lebih manusiawi. Sehingga “tragedi zakat” seperti di Pasuruan dan daerah lain tidak terjadi lagi.

Pembiasaan dengan Tangan Besi
Di negeri Merlion, untuk membiasakan warganya agar tidak meludah di sembarang tempat memberlakukan denda. Tidak tanggung-tanggung, dendanya cukup tinggi. Penegak peraturannya juga sungguh-sungguh untuk menjalankan peraturan ini. jadinya, negeri ini dikenal dengan ketertibannya. Sehingga menjadi surga para pelancong.
Di pondok pesantren juga dikenal sistem takzir, hukuman. Hukuman bagi yang melanggar peraturan. Pelanggar akan dikenai hukuman sesuai peraturan yang berlaku oleh pengurus pondok.
Tujuan pemberlakuan takzir semata-mata untuk ketertiban, dan berlatih bertanggungjawab. Kelak ketika pulang di masyarakat sudah terbiasa. Dan menjadi warga masyarakat yang baik dan bertanggungjawab.
Di pondok pesantren di latih untuk hidup mandiri. Menyiapkan kebutuhan pribadi oleh diri santri. Bukan santri yang lain. Maka budaya antri sangat penting. Apalagi dalam memanfaatkan fasilitas umum pondok.
Misalnya antri menggunakan kamar mandi dan toilet, antri makan, antri menggunakan lab komputer, antri masuk ATM, antri menggunakan fasilitas dapur dan sebagainya. Bagi yang melanggar kelihatannya tidak secara spesifik tertulis. Namun bagi yang melanggar antrian alias menyerobot, mendapat sanksi moral dan sosial dari santri lainnya. Minimal dikenal sebagai santri “sok jagoan”. Sanksi ini sebenarnya tidak enak didengar. Tapi minimal sebagai shock terapy.

Pembiasaan dengan Kesadaran
Mengambil hikmah dari perintah salat. Sejak kecil anak diajak salat berjamaah di masjid dan musala. Diperkenalkan dengan salat lima waktu. Mulai tujuh tahun sudah diperketat untuk melaksanakannya. Ketika berusia 10 tahun tidak salat, maka boleh dipukul. Ini untuk pembiasaan. Agar kelak kewajiban salat 5 waktu bisa dilaksanakan dengan sadar ketika dewasa dan jauh dari pantauan orang tua.

Ikhtitam
Budaya antri masih “jauh panggang dari api” dalam masyarakat kita. Namun bukan berarti kita pesimis untuk terus mencoba membiasakannya. Yang bisa dikerjakan adalah menyiapkan generasi yang akan datang agar menjadi generasi yang “sadar antri”. Agar kelak ketika dewasa tidak “sok menjegal, melibas, menelikung” antrian untuk memuluskan ambisinya. Ambisi kehidupan adalah bagian dari sunatullah karena menjadi motivasi kehidupan. Namun perlu cara yang benar termasuk diantaranya sadar antri.
Budaya antri ternyata tidak dipengaruhi latar belakang pendidikan. Walaupun cerita di atas adalah “sebuah kasus” namun menjadi sedikit gambaran dalam masyarakat kita. Orang yang berpendidikan tinggi tidak serta merta sadar antri. Malah menjadi contoh yang kurang baik. Bisa jadi yang “tidak berpendidikan tinggi” malah sadar antri karena takut, malu, dan segan. Karena di kalangan mereka sekali diberi nasehat orang tua terus dilaksanakan. “Orang berpendidikan” diberi nasehat “ngeyel dan egonya” yang muncul.
Peranan tokoh masyarakat dan agama untuk menjadi “role model budaya antri” sangatlah penting. Karena tokoh menjadi panutan masyarakat pada umumnya. Bila tokohnya sudah memberi teladan, maka masyarakat akan dengan sadar mencontohnya. Wallahu a’lam bi al shawab.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar