Budaya antri perlu dibiasakan sejak dini. dok. pribadi |
Hari Jumat (3/6/2016),
waktunya membayar administrasi pendidikan anak bungsu saya di Kota N. Terlihat
berjubel banyak orang di kantor
administrasi. Maklum, hari terakhir pelunasan menjelang penerimaan rapor. Mau
tidak mau harus bayar, maka saya berdiri di belakang seorang ibu yang sedang
bayar.
Tanpa menghiraukan
keberadaan saya, seorang ibu meringsek ke kiri depan saya. Dengan enaknya
menyerahkan kartu pembayaran, sehingga ia dilayani setelah orang di depan saya.
Tidak cukup di sini. Seorang ibu yang baru datang, dengan enaknya menitipkan
pembayaran anaknya kepada seorang ibu yang sedang dilayani di sebelah kanan
saya. Jadi ia dilayani bareng dengan antrian di sebelah kanan saya. Tidak hanya
dua kali, namun hingga empat kali kejadian ini baru saya mendapat pelayanan.
“Mentang-mentang
komunitas perempuan, orang laki-laki menjadi inferior”, guman di dalam hati.
Pengalaman seperti ini mungkin tidak hanya saya saja yang mengalami. Mungkin
juga teman-teman pembaca. Terutama di area pelayanan publik. Apalagi bila tidak
ada menejemen antrian yang baik.
Area di bank, kelihatan
lebih tertib. Bisa melewati nomor antrian baik manual maupun otomatis. Ada juga
yang diberi lajur khusus antrian dengan beberapa loket. Itupun masih ditambah
kebiasaan. Misalnya bila setelah dilayani masih ada sesuatu yang kurang, maka
disuruh bergeser ke kanan atau ke kiri untuk menunggu penyelesaian. Nomor
antrian berikutnya maju mendapatkan pelayanan.
Jadi kelihatan lebih
nyaman dan tertib. Siapa yang datang lebih dahulu mendapat pelayanan lebih
awal. Tidak seperti pengalaman saya, ada orang datang terlambat namun minta
dilayani terlebih dahulu. Dengan cara menyerobot antrian. Sebenarnya
“mendongkol” juga di dalam hati. Apa dia saja yang ingin cepat dilayani, dan
lebih penting waktunya. padahal saya juga ingin cepat mendapat pelayanan dan
menyelesaikan acara berikutnya. Namun bagaimana lagi?
Tidak Memandang Latar
Pendidikan
Walau hati “gedumel”,
namun timbul penasaran juga. Menyerobot antrian apa dipengaruhi latar belakang
pendidikannya? Tanpa sengaja melihat, ibu pertama membuka dompet. Terlihat
kartu tanda anggota organisasi profesi pendidik tertentu. Ternyata dia seorang
“pendidik”. Bila pendidik berarti minimal berpendidikan S1.
Orang kedua, terlihat
berbaju batik. Dan bersepatu. Bisa disimpulkan, ia juga pendidik. Minimal orang
kantoran pemerintah. Karena hari Jumat, orang kantoran biasanya memakai kaos
olahraga atau batik. Berarti juga minimal sarjana. Orang ketiga dan keempat,
kelihatan seperti pernah melihat ketika upacara bendera di lapangan dalam
rangka PHBN. Keduanya, minimal pernah mengenyam bangku kuliah. Karena
pakaiannya juga rapi dan bersepatu kulit.
Dilihat dari segi usia,
kelihatan dari wajahnya lebih dari kisaran kepala empat. Jadi sudah dewasa,
bukan ABG yang mencari sensasi dan jati diri. Memang menyerobot disadari dan
disengaja. Karena usia ‘40an sudah matang dan rasional untuk berfikir.
Budaya Kurang Baik
Menyerobot memang mungkin
sensasi bagi sebagian orang. Akan kelihatan lebih jagoan. Sementara orang lain
harus mengantri, ia sudah mendapatkan layanan. Dan secepatnya ngacir. Namun ada
hak orang lain yang dilanggar.
Menjadikan suasana tidak
tertib dan bahkan bisa juga menimbulkan kegaduhan dan “chaos” dalam hal
tertentu. Misalnya dalam pembagian sembako, BLT, antrian daging kurban,
pembagian zakat yang disalurkan sendiri. Bahkan bisa menimbulkan korban jiwa.
Terutama antrian uang dan barang. Apalagi masih mengemuka budaya “tangan di
bawah lebih utama dari tangan di atas”.
Sedari kecil, anak perlu
dibiasakan untuk antri. Contoh kecil antri salim dengan guru ketika masuk kelas
dan selesai dari pelajaran. Santri berbaris terlebih dahulu. Satu persatu
santri maju salim, dengan tertib dan tidak gaduh.
Begitu juga antri dalam
membayar barang di toko. Anak perlu dikenalkan bahwa yang terlebih dahulu antri
di depan kasir dipersilahkann untuk lebih dulu dilayani. Begitu juga antri
masuk ATM. Yang berhak masuk dahulu adalah yang antri lebih dulu.
Dalam hal zakat mal dan
fitrah sangat dianjurkan untuk disalurkan kepada lembaga amil zakat. Supaya
kejadian saling serobot dan ingin menang sendiri bisa dihindari. Selain juga
untuk memutus “rasa” antara muzakki dan mustahik. Penyalurannya bukan dengan
antrian memanjang dan mengular namun diantarkan ke rumah masing-masing. Jadi
terasa lebih manusiawi. Sehingga “tragedi zakat” seperti di Pasuruan dan daerah
lain tidak terjadi lagi.
Pembiasaan dengan Tangan
Besi
Di negeri Merlion, untuk
membiasakan warganya agar tidak meludah di sembarang tempat memberlakukan
denda. Tidak tanggung-tanggung, dendanya cukup tinggi. Penegak peraturannya
juga sungguh-sungguh untuk menjalankan peraturan ini. jadinya, negeri ini
dikenal dengan ketertibannya. Sehingga menjadi surga para pelancong.
Di pondok pesantren juga
dikenal sistem takzir, hukuman. Hukuman bagi yang melanggar peraturan.
Pelanggar akan dikenai hukuman sesuai peraturan yang berlaku oleh pengurus
pondok.
Tujuan pemberlakuan
takzir semata-mata untuk ketertiban, dan berlatih bertanggungjawab. Kelak
ketika pulang di masyarakat sudah terbiasa. Dan menjadi warga masyarakat yang
baik dan bertanggungjawab.
Di pondok pesantren di
latih untuk hidup mandiri. Menyiapkan kebutuhan pribadi oleh diri santri. Bukan
santri yang lain. Maka budaya antri sangat penting. Apalagi dalam memanfaatkan
fasilitas umum pondok.
Misalnya antri
menggunakan kamar mandi dan toilet, antri makan, antri menggunakan lab
komputer, antri masuk ATM, antri menggunakan fasilitas dapur dan sebagainya.
Bagi yang melanggar kelihatannya tidak secara spesifik tertulis. Namun bagi
yang melanggar antrian alias menyerobot, mendapat sanksi moral dan sosial dari
santri lainnya. Minimal dikenal sebagai santri “sok jagoan”. Sanksi ini
sebenarnya tidak enak didengar. Tapi minimal sebagai shock terapy.
Pembiasaan dengan Kesadaran
Mengambil hikmah dari
perintah salat. Sejak kecil anak diajak salat berjamaah di masjid dan musala.
Diperkenalkan dengan salat lima waktu. Mulai tujuh tahun sudah diperketat untuk
melaksanakannya. Ketika berusia 10 tahun tidak salat, maka boleh dipukul. Ini
untuk pembiasaan. Agar kelak kewajiban salat 5 waktu bisa dilaksanakan dengan
sadar ketika dewasa dan jauh dari pantauan orang tua.
Ikhtitam
Budaya antri masih “jauh
panggang dari api” dalam masyarakat kita. Namun bukan berarti kita pesimis
untuk terus mencoba membiasakannya. Yang bisa dikerjakan adalah menyiapkan
generasi yang akan datang agar menjadi generasi yang “sadar antri”. Agar kelak
ketika dewasa tidak “sok menjegal, melibas, menelikung” antrian untuk memuluskan
ambisinya. Ambisi kehidupan adalah bagian dari sunatullah karena menjadi
motivasi kehidupan. Namun perlu cara yang benar termasuk diantaranya sadar
antri.
Budaya antri ternyata
tidak dipengaruhi latar belakang pendidikan. Walaupun cerita di atas adalah “sebuah
kasus” namun menjadi sedikit gambaran dalam masyarakat kita. Orang yang
berpendidikan tinggi tidak serta merta sadar antri. Malah menjadi contoh yang
kurang baik. Bisa jadi yang “tidak berpendidikan tinggi” malah sadar antri
karena takut, malu, dan segan. Karena di kalangan mereka sekali diberi nasehat
orang tua terus dilaksanakan. “Orang berpendidikan” diberi nasehat “ngeyel dan
egonya” yang muncul.
Peranan tokoh masyarakat
dan agama untuk menjadi “role model budaya antri” sangatlah penting. Karena
tokoh menjadi panutan masyarakat pada umumnya. Bila tokohnya sudah memberi
teladan, maka masyarakat akan dengan sadar mencontohnya. Wallahu a’lam bi al
shawab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar