Selasa, 24 Mei 2016

KH. Ali Mustofa Said, Nahkoda NU Nganjuk Terpilih

KH, Ali Mustofa Said nomor 3 dari kiri.
 “Innalillahi wa’inna ilaihi rajiun. La haula wala quwata illa billahil ‘aliyil adhim. Sebagai ikhtiar nderek kiai, masyayikh serta kemaslahatan Nahdlatul Ulama Nganjuk ke depan, saya terima amanah sebagai rais syuriah PCNU Nganjuk masa khitmah 2016-2021”, demikian sambutan terpilihnya Gus Ali Mustofa Said (49 tahun) sebagai rais syuriah hasil musyawarah ahwa. Konfercab NU Ngajuk ke-19 berlangsung pada tanggal 21-22 Mei 2016 di Krempyang Tanjunganom Nganjuk.
Ahwa atau ahlul halli wal aqdi adalah lima kiai terpilih yang telah memenuhi persayaratan untuk memilih rais syuriah. Dari pilihan syuriyah ranting dan MWC yang masing-masing diberi kesempatan memilih lima orang akhirnya terpilihlah lima orang hasil tabulasi.
Adapun kriteria anggota ahwa yang disepakati adalah : 1). berakidah aswaja annahdliyah, 2). Bersikap adil, alim, memiliki integritas moral dan tawaduk. 3). Berpengaruh dan memiliki pengetahuan untuk memilih pemimpin yang munadzhim, muharrik, wara’ dan zuhud.
Kelima penerima suara tertinggi adalah KH. Ali Mustofa Said (Prambon), KH. Muchlas Ghozali (Baron), KH. Hamam Ghozali (Tanjunganom), KH. Qolyubi Dahlan (Nganjuk Kota), dan KH. Baghowi (Prambon). Setelah beliau berlima bermusyawarah akhirnya diumumkan di sidang pleno yang dipimpin oleh H. Nurhadi Ridwan, PWNU Jawa Timur. Juru bicara tim ahwa dipercayakan kepada KH. Muchlas Ghozali. Beliau mengatakan bahwa musyawarah ahwa berlangsung dinamis dan bermufakat bahwa peraih suara terbanyak dipilih menjadi rais syuriyah yakni KH. Ali Mustofa Said. Akhirnya KH. Ali Mustofa Said memberi sambutan perdana seperti di atas. Tidak cukup hanya memberi sambutan, namun dalam organisasi NU rais syuriyah terpilih wajib menandatangani pakta integritas bermaterai 6000.
Isi pakta integritas diantaranya menyelesaikan masa khitmah 2016-2021 artinya tidak boleh berhenti di tengah jalan. Tidak akan rangkap jabatan di organisasi NU dan di luar. Terutama rangkap jabatan di bidang politik. Misalnya mencalonkan bupati, wakil bupati, ketua DPRD hingga ke atas. Bila melanggar maka dikenai denda Rp 500.000.000,00 (baca 500 juta rupiah). Ada yang menarik dari sambutan beliau. Yakni hal tersebut tidak akan mungkin terjadi karena beliau tidak mempunyai ijazah formal. Jadi tidak mungkin menduduki jabatan-jabatan publik yang mengharuskan memiliki ijasah formal.  Jadi insyaallah beliau bisa fokus berkhitmah di NU. Amin.
Rangkap jabatan di NU
Nahdlatul Ulama adalah organisasi sosial keagamaan. Jamaahnya yang sering dinamakan Nahdliyin berjumlah 80an juta. Menjadi organisasi kemasyarakatan terbesar di Indonesia bahkan di dunia. Untuk kesinambungan organisasi ada aturan tertulis bahwasanya seorang pengurus dilarang merangkap jabatan. Baik selevel di NU apalagi di organisasi politik dan organisasi yang tidak seide dengan NU.
Misalnya selevel NU. Rangkap jabatan menjadi ketua MWC, ketua ranting, banom dan lembaga. Sama juga menjadi pengurus harian partai politik. Hikmah di sini yang bisa diambil agar pengurus bisa maksimal melaksanakan tugasnya. Bukan pengurus yang menjadi urus-urusan anggotanya.
Rais Syuriyah dan Ketua Tanfidziyah dilarang mencalonkan diri pada jabatan politik karena konsekuensinya besar pada jamaah. Ada kejadian lucu di suatu daerah sebelum pakta integritas diberlakukan. Yakni ada ketua tanfidziyah dan rais syuriyah yang bertarung memperebutkan jabatan wakil bupati di suatu daerah. Ini preseden yang kurang bagus untuk organisasi. Seolah-olah dilihat dari luar tidak akur dalam kepengurusan, masing-masing mendahulukan ego pribadi. Bukan mengutamakan kemaslahatan umat.  
Kiai Muda
Dengan sistem ahwa, dimungkinkan siapa saja yang memiliki kapasitas dan kapabilitas untuk menjadi rais syuriyah. Tidak harus sudah sepuh usianya. Dan itu terjadi di konferensi ini. Gus Ali terpilih saat usia masih dibawah 50 tahun. Beliau dikenal aktif di LBM (lembaga bahsul masail) di Nganjuk dan di Jawa Timur.
Perubahan Sistem, Petahana Tidak Harus Jadi
Selama ini jabatan rais syuriyah diamanahkan kepada kiai sepuh. Bahkan ada  yang menjabat beberapa masa khitmah sampai beliau meninggal. Karena tidak ada yang berani menggantikan, takut kuwalat. Namun seiring dengan perubahan waktu, rais syuriyah tidak dipilih melalui pemungutan suara. Kiai kok dipilih dan diperebutkan?  Begitu kira-kira pikiran warga akar rumput.
Muktamar NU ke-33 di Jombang merubah pemilihan rais syuriyah melalui ahlul halli wal aqdi. Jadi yang memilih adalah kiai pilihan dan menempatkan syuriyah adalah pemilik organisasi. Sedang tanfidziah adalah pelaksana dari organisasi. Wallahul a’lam bi alshawab.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar