Selasa, 17 Mei 2016

Budaya Cium Tangan

“Ustad, mau kemana?”, tanya santri sambil mencium tangan ustad ketika melihatnya keluar dari kampus. “Saya mau membeli rokok”, jawab sang ustad. “Saya belikan saja Ustad”, santri menimpali. “Baik, kalau demikian. Ini uangnya, saya tunggu di ruangan saya”, begitu dawuh ustad selanjutnya.
Akhirnya si santri mencari penjual rokok. Ternyata setelah tanya ke sana kemari tidak ada kantin yang menjual rokok. Memang ada larangan di kampus untuk jual beli rokok. Lalu diberitahu oleh seorang santri mahasiswa, bila ingin membeli rokok bisa di luar kampus.
Berjalanlah  si santri ke luar kampus. Lumayan jauhnya. Setelah ketemu toko, hanya tinggal satu bungkus. Karena butuh dua bungkus, akhirnya geser ke toko lain. Memang jenis rokoknya masih asing di telinga santri, Djarum Super MLD.
Bergegaslah santri menemui ustad di ruang lantai 2. Dengan mengucap terima kasih, ustad bilang “Ini revisi proposal Sampeyan. Sudah saya tanda tangani”. Berbunga-bunga hati santri. Sudah berkali-kali berusaha menemui ustad untuk keperluan tanda tangan ujian proposal dan revisinya. Juga harus rela meninggalkan tugas mengajar dan menempuh jarak jauh dengan menumpang angkutan umum.
Terasa plong hati santri. Merasa hari-hari berikutnya semakin cerah dan mantap melihat masa depan. Tugas-tugasnya akan bisa dilaksanakan dengan ringan hati dan lancar.
Memang ustad yang dimaksud di atas bukan sembarang ustad. Namun Direktur Pascasarjana UIN Sunan Ampel Surabaya, Prof. DR. H. Husein Aziz, M.Ag. Beliau dikenal dekat dengan santri. Kesibukan saja sebagai pejabat terkadang sulit ditemui, apalagi sering ada acara ke luar kota.
Penghormatan Kepada Guru
Guru memang harus dihormati. Dan guru tetap guru. Walaupun mengajari kita alif ba ta’ sewaktu di raudhatul athfal dan di madrasah ibtidaiyah. Bahkan mungkin, sekarang posisi kita lebih baik dari beliau. Dari beliaulah kita mengenal abjad. Dari beliau kita mengenal akhlak. Dari beliau pula kita mengenal Allah, rasulNya, dan kitab suciNya. Tidak pantas bila kita mengatakan beliau sebagai mantan guru. Sebagai santri, guru tetap harus dihormati. Begitulah pelajaran dari Kitab Ta’lim Muta’allim. Bila ingin mendapatkan barokah ilmu, maka kita harus mengagungkan ahli ilmu yakni guru.
Mencium Tangan Guru
Pernah memang ditanyakan mengapa kita mencium tangan seseorang. Padahal sama-sama manusianya. Ini pengkultusan. Begitu argumen penolak cium tangan. Disadari bahwa mencium tangan bukanlah pengkultusan. Namun hanya sebagai rasa hormat kepada ahli ilmu, para guru, kiai, masyayikh. Dari beliaulah kita mendapat wasilah ilmu. Bila diurut-urut bersambung hingga Kanjeng Nabi Muhammad Saw. Jadi penghormatan kepada kiai, guru dan ahli ilmu sebenarnya juga penghormatan kepada Rasulullah.
Keadaan Sekarang
Santri pondok pesantren dan madrasah masih kental budaya cium tangan. Memang inilah budaya yang masih dipegang erat. Tabarukan, mencari berkah ilmu begitu alasan santri. Begitu pula siswa sekolah tertentu juga masih membiasakan hal ini. Tetapi apakah ini berlaku untuk semua sekolah? Tergantung. Pembiasaan cium tangan guru atau orang yang lebih tua perlu dimulai sejak kecil.
Misalnya ketika ada tamu kita atau keluarga yang datang, kita meminta anak-anak untuk mencium tangan tamu atau keluarga yang lebih tua. Ini adalah pembiasaan saja. Bila sejak kecil sudah terbiasa insyaallah ketika sudah besar sudah menjadi kebiasaan. Dan ini akan membentuk akhlak, perbuatan yang dilakukan tanpa dipikir terlebih dahulu. Dan ini hal kecil, yang baik bagi anak.
Ikhtitam
Budaya cium tangan kepada guru, kiai, atau orang yang lebih tua adalah hal baik. Cium tangan bukan berarti pengkultusan seseorang. Bagian dari budaya ketimuran sebagai bentuk penghormatan, tabarukan ilmu. Budaya ini akan tetap lestari bila terjadi pembiasaan yang terus menerus baik di rumah maupun di madrasah/sekolah. Wallahu a’lam bi al shawab.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar