“Ustad, mau kemana?”,
tanya santri sambil mencium tangan ustad ketika melihatnya keluar dari kampus.
“Saya mau membeli rokok”, jawab sang ustad. “Saya belikan saja Ustad”, santri
menimpali. “Baik, kalau demikian. Ini uangnya, saya tunggu di ruangan saya”,
begitu dawuh ustad selanjutnya.
Akhirnya si santri
mencari penjual rokok. Ternyata setelah tanya ke sana kemari tidak ada kantin
yang menjual rokok. Memang ada larangan di kampus untuk jual beli rokok. Lalu
diberitahu oleh seorang santri mahasiswa, bila ingin membeli rokok bisa di luar
kampus.
Berjalanlah si santri ke luar kampus. Lumayan jauhnya.
Setelah ketemu toko, hanya tinggal satu bungkus. Karena butuh dua bungkus,
akhirnya geser ke toko lain. Memang jenis rokoknya masih asing di telinga
santri, Djarum Super MLD.
Bergegaslah santri
menemui ustad di ruang lantai 2. Dengan mengucap terima kasih, ustad bilang
“Ini revisi proposal Sampeyan. Sudah saya tanda tangani”. Berbunga-bunga hati
santri. Sudah berkali-kali berusaha menemui ustad untuk keperluan tanda tangan
ujian proposal dan revisinya. Juga harus rela meninggalkan tugas mengajar dan
menempuh jarak jauh dengan menumpang angkutan umum.
Terasa plong hati santri.
Merasa hari-hari berikutnya semakin cerah dan mantap melihat masa depan.
Tugas-tugasnya akan bisa dilaksanakan dengan ringan hati dan lancar.
Memang ustad yang
dimaksud di atas bukan sembarang ustad. Namun Direktur Pascasarjana UIN Sunan
Ampel Surabaya, Prof. DR. H. Husein Aziz, M.Ag. Beliau dikenal dekat dengan
santri. Kesibukan saja sebagai pejabat terkadang sulit ditemui, apalagi sering ada
acara ke luar kota.
Penghormatan Kepada Guru
Guru memang harus
dihormati. Dan guru tetap guru. Walaupun mengajari kita alif ba ta’ sewaktu di
raudhatul athfal dan di madrasah ibtidaiyah. Bahkan mungkin, sekarang posisi
kita lebih baik dari beliau. Dari beliaulah kita mengenal abjad. Dari beliau
kita mengenal akhlak. Dari beliau pula kita mengenal Allah, rasulNya, dan kitab
suciNya. Tidak pantas bila kita mengatakan beliau sebagai mantan guru. Sebagai
santri, guru tetap harus dihormati. Begitulah pelajaran dari Kitab Ta’lim
Muta’allim. Bila ingin mendapatkan barokah ilmu, maka kita harus mengagungkan
ahli ilmu yakni guru.
Mencium Tangan Guru
Pernah memang ditanyakan
mengapa kita mencium tangan seseorang. Padahal sama-sama manusianya. Ini
pengkultusan. Begitu argumen penolak cium tangan. Disadari bahwa mencium tangan
bukanlah pengkultusan. Namun hanya sebagai rasa hormat kepada ahli ilmu, para
guru, kiai, masyayikh. Dari beliaulah kita mendapat wasilah ilmu. Bila
diurut-urut bersambung hingga Kanjeng Nabi Muhammad Saw. Jadi penghormatan
kepada kiai, guru dan ahli ilmu sebenarnya juga penghormatan kepada Rasulullah.
Keadaan Sekarang
Santri pondok pesantren
dan madrasah masih kental budaya cium tangan. Memang inilah budaya yang masih
dipegang erat. Tabarukan, mencari berkah ilmu begitu alasan santri. Begitu pula
siswa sekolah tertentu juga masih membiasakan hal ini. Tetapi apakah ini
berlaku untuk semua sekolah? Tergantung. Pembiasaan cium tangan guru atau orang
yang lebih tua perlu dimulai sejak kecil.
Misalnya ketika ada tamu
kita atau keluarga yang datang, kita meminta anak-anak untuk mencium tangan
tamu atau keluarga yang lebih tua. Ini adalah pembiasaan saja. Bila sejak kecil
sudah terbiasa insyaallah ketika sudah besar sudah menjadi kebiasaan. Dan ini
akan membentuk akhlak, perbuatan yang dilakukan tanpa dipikir terlebih dahulu.
Dan ini hal kecil, yang baik bagi anak.
Ikhtitam
Budaya cium tangan kepada
guru, kiai, atau orang yang lebih tua adalah hal baik. Cium tangan bukan
berarti pengkultusan seseorang. Bagian dari budaya ketimuran sebagai bentuk
penghormatan, tabarukan ilmu. Budaya ini akan tetap lestari bila terjadi
pembiasaan yang terus menerus baik di rumah maupun di madrasah/sekolah. Wallahu
a’lam bi al shawab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar