Selasa, 02 Februari 2016

Merintis Budaya Literasi

Bila melihat-lihat buku catatan siswa, saya melihat banyak halaman yang kosong. Ketika ditanya mengapa sedikit catatannya, dia menjawab oleh guru tidak disuruh menulis. Padahal banyak guru yang memberi catatan di papan tulis. Dari sekian mata pelajaran bisa diasumsikan banyak buku catatan siswa yang tetap kosong. Kecuali mungkin pelajaran matematika yang harus mengerjakan soal-soal.
Ada sedikit dugaan pula bahwa anak tidak memperhatikan penjelasan dari guru. Bila ada hal-hal yang penting tidak dicatat. Mungkin juga belum dijelaskan betapa pentingnya mencatat. Ada juga mungkin mencatat ada tanda anak bodoh. Karena merasa dikaruniai akal. Dari hal yang didengar lalu masuk melalui alat pendengaran dan selanjutnya direkam dalam otak. Namun bila melihat filosofi tubuh manusia, ada dua mata, dua telinga, dua tangan, adanya otak. Maka tangan perlu menulis apa yang didengar oleh telinga. Agar bisa terekam lama dalam memori.
Dengan jumlah mata pelajaran yang harus dikuasai siswa belum tentu membuat siswa menjadi pintar. Bila tidak dibarengi dengan kemampuan membaca siswa. Kemampuan membaca ini ada bersinggungan dengan kemampuan menulis. Hasil tulisan akan menunjukkan seberapa kemampuan membaca penulisnya.
Kegelisahan kemampuan siswa untuk menulis bisa dimaknai juga dengan kemampuan baca siswa. Banyak siswa yang wawancarai secara sample tidak mempersiapkan membaca di rumah. Membuka buku hanya ketika pelajaran di kelas. Bila kebetulan guru tidak datang atau tidak memberi tugas maka bisa dianggap bukunya akan tetap tertutup tanpa disentuh.
Sebagai sedikit ikhtiar untuk menumbuhkan minat siswa untuk membaca dan menulis (budaya literasi) maka sudah bebarapa pertemuan siswa saya ajak menulis pengalaman hari kemarin. Atau juga menulis suka-suka –meminjam istilah dari Azrul Ananda.  Dari gambaran sementara ternyata siswa mempunyai kemampuan menulis yang lumayan. Dari waktu 10 menit yang diberikan, tulisan siswa sudah banyak yang bagus. Dalam arti bisa bercerita dari awal hingga akhir. Dari prediksi ini bila kemampuan menulis siswa selalu digugah dan diasah tidak menutup kemungkinan akan ada lompatan budaya yang cukup signifikan di masa mendatang. Akan muncul novelis, cerpenis, penulis, penyair dan lain sebagainya dari insan madrasah.

Ada sedikit yang perlu menjadi penekanan bahwa siswa perlu dibiasakan “doyan” membaca. Bisa membaca apa saja. Asal yang “bermutu dan bergizi”. Bisa dimulai misalnya membaca 10 menit di awal pelajaran lalu dikorelasikan menulis 10 menit. Ini ada ikhtiar kecil yang bisa dilakukan. Agar bisa mengejar budaya literasi di negara “Bollywood”, India. Di sana budaya membaca masyarakatnya lebih tinggi di banding Amerika Serikat. Wallahu a’lam bi alshawab. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar