Rokok sebagai salah satu
produk industri memang menyetor pajak kepada negara yang tidak sedikit.
Disamping ada juga yang kembali ke daerah dimana pabrik rokok berdiri.
Kontribusi ini digunakan daerah sebagai modal tambahan untuk membangun daerah.
Stakeholder rokok juga tidak sedikit. Mulai dari petani tembakau, petani
cengkeh, sopir, pekerja linting rokok, dan masih banyak ribuan yang lain.
Karena permintaan pasar yang sangat besar hingga milyaran batang pertahun
sehingga ada satu pabrik rokok yang mempunyai pekerja lebih dari 12 ribu
karyawan.
Merokok bagi sebagian
teman menjadi modal dalam bergaul. Walaupun isi kantong menipis, hanya berbekal
satu bungkus rokok bisa ngobrol berjam-jam. Apalagi kalau ada urusan khusus. Bekal
rokok menjadi modal awal. Caranya tentu dengan menawarkan rokok terlebih
dahulu. Dan lawan bicara juga perokok. Kloplah, panci ketemu tutup.
Rokok menyasar berbagai
kalangan. Baik di tempat kerja, di sekolah maupun di acara kondangan. Ada juga
sebagian orang akan bisa bekerja kalau ada temannya yakni rokok. Berapapun waktu
yang dibutuhkan asal ada rokok maka tetap kelihatan fresh saja. Apalagi ada
teman satunya lagi yakni kopi. Saya pribadi senang juga kopi –kopi hitam plus
susu. Namun tidak ahli hisab lho....wkwkwkwk
Ada sedikit mengernyitkan
dahi bila ada guru yang hobi merokok. Masih
mending bila merokok di tempat tertentu. Siswa tidak tahu kalau gurunya
perokok. Memang merokok adalah hak asasi seseorang. Namun dalam menggunakan hak
juga tahu kewajibannya. Bila guru dengan tenang tanpa beban merokok di
lingkungan sekolah berarti secara langsung mengajari anak untuk merokok. Lebih tidak
enak lagi apabila mengajar di depan kelas sambil merokok.
Anak bisa saja membuat
alasan mengapa mereka merokok. Jawabannya bisa karena guru saja merokok masak
saya tidak dibolehkan. Walau juga tahu bahwa peraturan sekolah melarang siswa
merokok. Karena hal ini bisa saja siswa secara sembunyi-sembunyi merokok. Bisa waktu
istirahat, selepas pulang sekolah sambil naik sepeda sambil tangan pegang
rokok, juga tidak menutup kemungkinan warung-warung di sekitar sekolah yang
menyediakan rokok.
Merokok menurut sebagian
orang adalah kebiasaan atau juga gaya hidup. Bila awalnya masih coba-coba namun
akhirnya keterusan. Hingga menjadi kecanduan. Bila tidak merokok apalagi
selepas makan maka terasa makan nasi tanpa sayur. Begitu kata teman saya. Bila guru
memberi contoh merokok lalu juga di rumah orang tua juga memberi contoh maka
kloplah penularan gaya hidup bagi anak. Anak awalnya melalui proses melihat
lalu meniru –duplikasi. Apalagi orang tua tidak melarang bahkan menyediakan
rokok bagi si anak sudah semakin sempurna proses transmisi penularan merokok.
Padahal disadari bahwa
merokok berbahaya bagi kesehatan. Di bungkus rokok sudah ditulisi “merokok
membunuhmu’ ternyata kebiasaan merokok tidak berhenti. Hal tersebut dianggap
hal yang biasa saja. Berbahaya disini tidak hanya bagi pelaku namun juga bagi
orang lain. Orang lain di sekitarnya menjadi perokok pasip yang bahayanya juga
tidak kalah tinggi.
Oleh karena merokok
mempunyai daya rusak yang luar biasa sehingga ada beberapa perusahaan asuransi
yang tidak memberi klaim bagi pemegang polis perokok.
Untuk menghindari anak
merokok perlu keteladanan dari semua pihak dalam hal ini. Guru dipersilahkan
merokok asal tidak di depan anak (disediakan smoking area), begitu juga orang
tua. Jangan asal agar dianggap prestise orang tua mengorbankan anak. Bila anak
sudah sejak dini merokok akan berbahaya bagi kehidupan selanjutnya. Tidak hanya
kesehatan tubuh tapi juga kesehatan “kantong”. Bisa kantong kering. Takutnya bila
sudah kecanduan maka akan berbuat apa saja agar bisa merokok. Nah, mari kita
bersama-sama mawas diri. Wallahu a’lam bi alshawab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar