Kamis, 18 Juni 2015

Merokok Sebagai Gaya Hidup

Rokok sebagai salah satu produk industri memang menyetor pajak kepada negara yang tidak sedikit. Disamping ada juga yang kembali ke daerah dimana pabrik rokok berdiri. Kontribusi ini digunakan daerah sebagai modal tambahan untuk membangun daerah. Stakeholder rokok juga tidak sedikit. Mulai dari petani tembakau, petani cengkeh, sopir, pekerja linting rokok, dan masih banyak ribuan yang lain. Karena permintaan pasar yang sangat besar hingga milyaran batang pertahun sehingga ada satu pabrik rokok yang mempunyai pekerja lebih dari 12 ribu karyawan.
Merokok bagi sebagian teman menjadi modal dalam bergaul. Walaupun isi kantong menipis, hanya berbekal satu bungkus rokok bisa ngobrol berjam-jam. Apalagi kalau ada urusan khusus. Bekal rokok menjadi modal awal. Caranya tentu dengan menawarkan rokok terlebih dahulu. Dan lawan bicara juga perokok. Kloplah, panci ketemu tutup.
Rokok menyasar berbagai kalangan. Baik di tempat kerja, di sekolah maupun di acara kondangan. Ada juga sebagian orang akan bisa bekerja kalau ada temannya yakni rokok. Berapapun waktu yang dibutuhkan asal ada rokok maka tetap kelihatan fresh saja. Apalagi ada teman satunya lagi yakni kopi. Saya pribadi senang juga kopi –kopi hitam plus susu. Namun tidak ahli hisab lho....wkwkwkwk
Ada sedikit mengernyitkan dahi bila ada guru  yang hobi merokok. Masih mending bila merokok di tempat tertentu. Siswa tidak tahu kalau gurunya perokok. Memang merokok adalah hak asasi seseorang. Namun dalam menggunakan hak juga tahu kewajibannya. Bila guru dengan tenang tanpa beban merokok di lingkungan sekolah berarti secara langsung mengajari anak untuk merokok. Lebih tidak enak lagi apabila mengajar di depan kelas sambil merokok.
Anak bisa saja membuat alasan mengapa mereka merokok. Jawabannya bisa karena guru saja merokok masak saya tidak dibolehkan. Walau juga tahu bahwa peraturan sekolah melarang siswa merokok. Karena hal ini bisa saja siswa secara sembunyi-sembunyi merokok. Bisa waktu istirahat, selepas pulang sekolah sambil naik sepeda sambil tangan pegang rokok, juga tidak menutup kemungkinan warung-warung di sekitar sekolah yang menyediakan rokok.
Merokok menurut sebagian orang adalah kebiasaan atau juga gaya hidup. Bila awalnya masih coba-coba namun akhirnya keterusan. Hingga menjadi kecanduan. Bila tidak merokok apalagi selepas makan maka terasa makan nasi tanpa sayur. Begitu kata teman saya. Bila guru memberi contoh merokok lalu juga di rumah orang tua juga memberi contoh maka kloplah penularan gaya hidup bagi anak. Anak awalnya melalui proses melihat lalu meniru –duplikasi. Apalagi orang tua tidak melarang bahkan menyediakan rokok bagi si anak sudah semakin sempurna proses transmisi penularan merokok.
Padahal disadari bahwa merokok berbahaya bagi kesehatan. Di bungkus rokok sudah ditulisi “merokok membunuhmu’ ternyata kebiasaan merokok tidak berhenti. Hal tersebut dianggap hal yang biasa saja. Berbahaya disini tidak hanya bagi pelaku namun juga bagi orang lain. Orang lain di sekitarnya menjadi perokok pasip yang bahayanya juga tidak kalah tinggi.
Oleh karena merokok mempunyai daya rusak yang luar biasa sehingga ada beberapa perusahaan asuransi yang tidak memberi klaim bagi pemegang polis perokok.

Untuk menghindari anak merokok perlu keteladanan dari semua pihak dalam hal ini. Guru dipersilahkan merokok asal tidak di depan anak (disediakan smoking area), begitu juga orang tua. Jangan asal agar dianggap prestise orang tua mengorbankan anak. Bila anak sudah sejak dini merokok akan berbahaya bagi kehidupan selanjutnya. Tidak hanya kesehatan tubuh tapi juga kesehatan “kantong”. Bisa kantong kering. Takutnya bila sudah kecanduan maka akan berbuat apa saja agar bisa merokok. Nah, mari kita bersama-sama mawas diri. Wallahu a’lam bi alshawab. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar