Ini adalah cerita dari
orang tua yang menunggu keluarganya di rumah sakit. Di kamar perawatan ada dua
tempat tidur yang bersebelahan. Yang berarti ada dua pasien yang dirawat. Kedua
pasien sama-sama sudah berusia sepuh dan tentu saja mempunyai anak dan beberapa
orang cucu. Suatu ketika si pasien yang lebih sepuh menangis tersedu-sedu.
Kebetulan anaknya yang menunggunya di luar melihat tv. Lalu didekati oleh
penunggu pasien sebelahnya.
Setelah diajak bicara dan
tenang, si bapak pasien itu bercerita bahwa ia iri dengan pasien sebelahnya.
Setelah melihat langsung beberapa hari selama di kamar perawatan anak-anak dari
pasien sebelahnya selalu berkomunikasi dengan bahasa Jawa Krama Inggil. Bila
datang, anak-anaknya merawatnya dengan cinta bahkan juga memijit kaki bapaknya.
Ia menangis mengapa anaknya tidak seperti itu. Padahal secara materi
anak-anaknya sudah terbilang mapan bahkan ada beberapa yang keluaran lembaga
pendidikan yang cukup terkenal.
Dari cerita di atas
terlihat ada sesuatu yang hilang dalam sebuah keluarga. Rasa hormat anak kepada
orang tua diantaranya dalam berkomunikasi dengan bahasa krama inggil. Bagi keluarga
Jawa hal tersebut sebagai bentuk penghormatan seorang anak kepada orang tua. Kehidupan
anak yang sukses dan mapan memang bisa jadi pengayem-ayem hati orang tua. Bahkan
menjadi tolok ukur kesuksesan orang tua dalam mendidik anak. Sehingga menjadi
buah bibir keluarga dan tetangga kanan kiri.
Namun apalah artinya bila
anak dalam berkomunikasi dengan orang tua dengan bahasa Jawa ngoko. Dalam tradisi
Jawa bahasa Jawa ngoko digunakan untuk usia yang setara. Misalnya dengan teman
sejawat. Masak orang tua disamakan kedudukannya dengan teman sejawat. Padahal orang
tua sudah menjadikan kehidupan dirinya siang hari menjadi malam dan malam hari
menjadi siang. Sebagai gambaran kerja keras orang tua dalam tercukupinya
kebutuhan keluarga. Lebih mengelus dada lagi, bila si anak sudah mapan dan
sukses menganggap orang tuanya orang yang bodoh, sudah tidak produktif lagi dan
menjadikan orang tuanya laksana pembantu. Naudzubillah min dzalik.
Pertanyaannya kemudian
mengapa anak sekarang jarang yang menggunakan bahasa Jawa krama inggil bila
berkomunikasi dengan orang yang lebih tua? Padahal sejak SD hingga SMP ada
pelajaran bahasa Jawa. Ada gejala apa ini.
Menurut pengamatan yang
ada bahwa berbahasa Jawa krama inggil ini terkait dengan pembiasaan. Dan ini
tentu saja berawal dari interaksi dalam keluarga di rumah. Bila orang tua
memberi contoh teladan yang senantiasa berbahasa krama inggil baik dengan suami
isteri atau yang lebih tua atau juga dengan anaknya sebagai ikhtiar untuk
memberi contoh maka insyaallah anaknya akan terbiasa berbahasa krama inggil
hingga ia dewasa. Mengenai hal ini banyak contoh yang bisa dikemukakan. Keluarga
Pak Kiai saya di Pondok Pandanasri dan juga banyak keluarga santri yang lain. Begitu
pula salah satu keluarga guru MTsN Termas Baron.
Ada juga pengaruh budaya
di pondok pesantren salaf. Di pondok pesantren diajarkan dan dibiasakan untuk
berbahasa krama inggil dengan santri yang lebih tua dan tentu saja kepada ustad
dan Kiai. Oleh karena sudah terbiasa maka ketika pulang dan kembali ke
masyarakat maka hal tersebut bukan hal baru. Dan ternyata hal ini menjadi salah
satu keunggulan santri salaf yang bisa dilihat di tengah-tengah masyarakat.
Jadi faktor keteladanan
dan pembiasaan menjadi faktor kunci dalam pembiasaan berbahasa krama inggil
bagi anak. Wallahu a’lam bi alshawab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar