Sabtu, 06 Juni 2015

Bahasa Jawa yang Menyejukkan

Ini adalah cerita dari orang tua yang menunggu keluarganya di rumah sakit. Di kamar perawatan ada dua tempat tidur yang bersebelahan. Yang berarti ada dua pasien yang dirawat. Kedua pasien sama-sama sudah berusia sepuh dan tentu saja mempunyai anak dan beberapa orang cucu. Suatu ketika si pasien yang lebih sepuh menangis tersedu-sedu. Kebetulan anaknya yang menunggunya di luar melihat tv. Lalu didekati oleh penunggu pasien sebelahnya.
Setelah diajak bicara dan tenang, si bapak pasien itu bercerita bahwa ia iri dengan pasien sebelahnya. Setelah melihat langsung beberapa hari selama di kamar perawatan anak-anak dari pasien sebelahnya selalu berkomunikasi dengan bahasa Jawa Krama Inggil. Bila datang, anak-anaknya merawatnya dengan cinta bahkan juga memijit kaki bapaknya. Ia menangis mengapa anaknya tidak seperti itu. Padahal secara materi anak-anaknya sudah terbilang mapan bahkan ada beberapa yang keluaran lembaga pendidikan yang cukup terkenal.  
Dari cerita di atas terlihat ada sesuatu yang hilang dalam sebuah keluarga. Rasa hormat anak kepada orang tua diantaranya dalam berkomunikasi dengan bahasa krama inggil. Bagi keluarga Jawa hal tersebut sebagai bentuk penghormatan seorang anak kepada orang tua. Kehidupan anak yang sukses dan mapan memang bisa jadi pengayem-ayem hati orang tua. Bahkan menjadi tolok ukur kesuksesan orang tua dalam mendidik anak. Sehingga menjadi buah bibir keluarga dan tetangga kanan kiri.
Namun apalah artinya bila anak dalam berkomunikasi dengan orang tua dengan bahasa Jawa ngoko. Dalam tradisi Jawa bahasa Jawa ngoko digunakan untuk usia yang setara. Misalnya dengan teman sejawat. Masak orang tua disamakan kedudukannya dengan teman sejawat. Padahal orang tua sudah menjadikan kehidupan dirinya siang hari menjadi malam dan malam hari menjadi siang. Sebagai gambaran kerja keras orang tua dalam tercukupinya kebutuhan keluarga. Lebih mengelus dada lagi, bila si anak sudah mapan dan sukses menganggap orang tuanya orang yang bodoh, sudah tidak produktif lagi dan menjadikan orang tuanya laksana pembantu. Naudzubillah min dzalik.
Pertanyaannya kemudian mengapa anak sekarang jarang yang menggunakan bahasa Jawa krama inggil bila berkomunikasi dengan orang yang lebih tua? Padahal sejak SD hingga SMP ada pelajaran bahasa Jawa. Ada gejala apa ini.
Menurut pengamatan yang ada bahwa berbahasa Jawa krama inggil ini terkait dengan pembiasaan. Dan ini tentu saja berawal dari interaksi dalam keluarga di rumah. Bila orang tua memberi contoh teladan yang senantiasa berbahasa krama inggil baik dengan suami isteri atau yang lebih tua atau juga dengan anaknya sebagai ikhtiar untuk memberi contoh maka insyaallah anaknya akan terbiasa berbahasa krama inggil hingga ia dewasa. Mengenai hal ini banyak contoh yang bisa dikemukakan. Keluarga Pak Kiai saya di Pondok Pandanasri dan juga banyak keluarga santri yang lain. Begitu pula salah satu keluarga guru MTsN Termas Baron.
Ada juga pengaruh budaya di pondok pesantren salaf. Di pondok pesantren diajarkan dan dibiasakan untuk berbahasa krama inggil dengan santri yang lebih tua dan tentu saja kepada ustad dan Kiai. Oleh karena sudah terbiasa maka ketika pulang dan kembali ke masyarakat maka hal tersebut bukan hal baru. Dan ternyata hal ini menjadi salah satu keunggulan santri salaf yang bisa dilihat di tengah-tengah masyarakat.
Jadi faktor keteladanan dan pembiasaan menjadi faktor kunci dalam pembiasaan berbahasa krama inggil bagi anak. Wallahu a’lam bi alshawab.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar