Bila mendengar kata
pengawas pikiran sebagian dari teman-teman guru adalah seseorang yang diberi
tugas untuk memeriksa perangkat pembelajaran. Mengenai performancenya adalah
guru atau kepala madrasah yang sudah senior dan bahkan hampir purna tugas. Pengawas
juga mengampu seluruh guru mata pelajaran. Padahal biasanya pengawas selama ini
berasal dari guru PAI.
Belum cukup dari hal
tersebut, jabatan pengawas ada “nada minor” pemaknaannya. Bila ada guru atau
kepala madrasah yang bermasalah maka karier selanjutnya bisa dipastikan adalah
pengawas. Pernah memang suatu ketika ada seorang pimpinan kantor yang membuat
pernyataan dalam rapat dinas bahwa bila ada kepala madrasah yang “macam-macam”
maka akan dipengawaskan.
Belum lagi jabatan
pengawas untuk “nambah umur”. Bila jabatan struktural sebelumnya maksimal
berusia 58 maka dengan menjadi pengawas sebagai jabatan fungsional bisa
menambah masa kerja 2 tahun lagi. Karena jabatan pengawas pensiun pada usia 60
tahun.
Melihat gambaran opini
guru-guru terhadap jabatan pengawas maka pengawas atau supervisor menjadi
jabatan yang marginal, tidak bonafid dan menjadi second option. Jabatan
pengawas menjadi pilihan kedua. Bila ada guru muda yang mendaftar menjadi
pengawas maka dianggap kerugian karier. Karena kariernya tidak akan cerah di
masa depan.
Bila melihat peraturan
yang ada seperti Permendiknas Nomor 12 tahun 2007 tentang standar pengawas
sekolah/madrasah, lalu Peraturan Menteri Agama Nomor 2 tahun 2012 tentang
pengawas di lingkungan Kementerian Agama dan juga Peraturan Menteri Agama Nomor
31 tahun 2013 tentang perubahan Peraturan Menteri Agama Nomor 2 tahun 2012
tentang pengawas madrasah dan pengawas PAI pada sekolah menunjukkan bahwa
jabatan pengawas adalah jabatan yang mempunyai peran penentu peningkatan kualitas
pendidikan. Pengawas, kepala madrasah dan guru menjadi barometer peningkatan
mutu pendidikan dalam tahap proses dan keluaran pendidikan. wallahul a'lam bi alshawab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar