Rabu, 11 Maret 2015

Memperbarui Nikah (2)

Memperbarui nikah (bahasa Jawa: ngenyari nikah) atau juga tajdidun nikah. Dihukumi sunah. Mengingat menikah juga ibadah maka mengerjakannya juga ibadah. Tajdidun nikah bukan berarti nikahnya rusak, batal atau ada hal yang menghalangi pernikahan namun untuk lebih pada proses ketengan hati suami isteri.
Kehidupan di dunia adalah interaksi sosial dengan banyak orang. Terkadang ada hal yang tidak mengenakkan pikiran, hati terluka, perkataan yang tidak pantas, menyinggung perasaan, aniaya, berbuat tidak pada tempatnya dan sejenisnya. Begitu juga hubungan dengan pasangan sebagai suami isteri. Ketika permasalahan banyak baik di tempat kerja, di rumah, di lingkungan bisa saja terjadi kekalutan pikiran sehingga terkadang ada perasaan sehingga terucap perkataan  yang tidak pantas. Selanjutnya bisa ditebak bisa timbul persoalan dengan pasangan.
Setiap orang bisa saja menemui hal di atas. Dan bukan tidak mungkin selekasnya diselesaikan. Semua masalah pasti ada solusinya. Tinggal masalah tetap digenggam dalam arti dibiarkan berlarut-larut atau masalah diselesaikan dengan segala resiko. Bila sadar maka sebaiknya satu persatu persoalan segera diselesaikan agar tidak bertumpuk. Bisa-bisa menjadi bisul (bahasa Jawa: udun). Bila ini terjadi sakitnya terasa sakit sekali.
Bila pikiran dan hati sudah dingin serta menyadari perbuatan yang telah diperbuat ternyata tidak menguntungkan maka saling memaafkan antara suami isteri adalah perbuatan yang tidak salah. Bahkan suatu keharusan hal itu terjadi. Karena bila dirunut sejak awal tujuan menikah adalah mengharap rida Allah. Bila Allah tidak rida terus kita mau bagaimana.
Bila tahapan ini sudah terjadi disarankan untuk melakukan tajdidun nikah. Caranya sama dengan menikah sebenarnya hanya saja tidak perlu dicatatkan di KUA. Karena memang menikahnya tidak rusak. Hanya untuk kemaslahatan pasangan, keluarga dan kehidupan selanjutnya.
Apakah ada contohnya dalam kehidupan? Ada teman yang sudah melakukannya sebanyak lima kali dalam kurun waktu 20an tahun. Dirasakan setelah melakukan tajdidun nikah kehidupan keluarganya bertambah ayem. Menurut penuturannya tidak pernah terjadi cekcok dengan isterinya. Bahkan cemberutpun isterinya tidak pernah. Bila orang tua satu hati dan satu pikiran maksudnya nyambung tidak ada silang pendapatpun maka otomatis kehidupan anak-anak akan baik. Anak tidak polah, kehidupannya tumbuh kembang dengan baik bahkan jelas pula prestasi akan mudah diraih dijenjang pendidikannya.
Dan saya membuktikannya sendiri. Putra-putrinya sehat dan berprestasi. Selalu juara di sekolahnya bahkan dua anak mendapat beasiswa ketika kuliah S1 hingga akhir. Mengenai kecukupan secara ekonomi memang relatif. Setiap orang sudah mempunyai jatahnya sendiri-sendiri. Meskipun tidak bisa diprediksi besok makan apa atau juga untuk bayar sekolah anak bulan depan darimana namun ternyata semuanya relatif bisa diatasi. Tentu saja tetap ikhtiar alias bekerja sesuai dengan kemampuannya. Bila ini dilakukan maka Allah akan menurunkan karunia sesuai kapasitasnya.
Bila bekerja macam-macam dan semua dikerjakan maka bisa saja jatah dari Malaikat Mikail akan luput. Soalnya dia tidak ada ditempatnya. Maksudnya perlu istikoma pada suatu profesi. Misalnya sudah cukup mapan dan sukses sebagai pedagang sayur mayur maka hal itu perlu ditekuni. Begitu juga misalnya menjadi tukang potong rambut, tukang pijat, tukang kayu, menjadi petani, menjadi pendidik dan sebagainya. Tentang hal ini saya pernah diingatkan oleh Kiai agar tetap istikomah pada profesi yang telah dilakoni dalam waktu cukup lama.
Jadi tajdidun nikah bisa saja dikerjakan oleh pasangan yang baru beberapa tahun menikah atau bahkan belasan tahun sudah menikah. Tujuannya untuk menghilangkan perasaan tidak enak di hati antara suami isteri. Dan juga untuk memperkokoh ikatan keduanya dan akhirnya rida Allah bisa digapai. Siapa yang ingin mencoba? Wallahul a’lam bi alshawab.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar