Memperbarui
nikah (bahasa Jawa: ngenyari nikah) atau juga tajdidun nikah. Dihukumi sunah.
Mengingat menikah juga ibadah maka mengerjakannya juga ibadah. Tajdidun nikah
bukan berarti nikahnya rusak, batal atau ada hal yang menghalangi pernikahan
namun untuk lebih pada proses ketengan hati suami isteri.
Kehidupan
di dunia adalah interaksi sosial dengan banyak orang. Terkadang ada hal yang
tidak mengenakkan pikiran, hati terluka, perkataan yang tidak pantas,
menyinggung perasaan, aniaya, berbuat tidak pada tempatnya dan sejenisnya.
Begitu juga hubungan dengan pasangan sebagai suami isteri. Ketika permasalahan
banyak baik di tempat kerja, di rumah, di lingkungan bisa saja terjadi
kekalutan pikiran sehingga terkadang ada perasaan sehingga terucap
perkataan yang tidak pantas. Selanjutnya
bisa ditebak bisa timbul persoalan dengan pasangan.
Setiap
orang bisa saja menemui hal di atas. Dan bukan tidak mungkin selekasnya
diselesaikan. Semua masalah pasti ada solusinya. Tinggal masalah tetap
digenggam dalam arti dibiarkan berlarut-larut atau masalah diselesaikan dengan
segala resiko. Bila sadar maka sebaiknya satu persatu persoalan segera
diselesaikan agar tidak bertumpuk. Bisa-bisa menjadi bisul (bahasa Jawa: udun).
Bila ini terjadi sakitnya terasa sakit sekali.
Bila
pikiran dan hati sudah dingin serta menyadari perbuatan yang telah diperbuat
ternyata tidak menguntungkan maka saling memaafkan antara suami isteri adalah
perbuatan yang tidak salah. Bahkan suatu keharusan hal itu terjadi. Karena bila
dirunut sejak awal tujuan menikah adalah mengharap rida Allah. Bila Allah tidak
rida terus kita mau bagaimana.
Bila
tahapan ini sudah terjadi disarankan untuk melakukan tajdidun nikah. Caranya
sama dengan menikah sebenarnya hanya saja tidak perlu dicatatkan di KUA. Karena
memang menikahnya tidak rusak. Hanya untuk kemaslahatan pasangan, keluarga dan
kehidupan selanjutnya.
Apakah
ada contohnya dalam kehidupan? Ada teman yang sudah melakukannya sebanyak lima
kali dalam kurun waktu 20an tahun. Dirasakan setelah melakukan tajdidun nikah
kehidupan keluarganya bertambah ayem. Menurut penuturannya tidak pernah terjadi
cekcok dengan isterinya. Bahkan cemberutpun isterinya tidak pernah. Bila orang
tua satu hati dan satu pikiran maksudnya nyambung tidak ada silang pendapatpun
maka otomatis kehidupan anak-anak akan baik. Anak tidak polah, kehidupannya
tumbuh kembang dengan baik bahkan jelas pula prestasi akan mudah diraih
dijenjang pendidikannya.
Dan
saya membuktikannya sendiri. Putra-putrinya sehat dan berprestasi. Selalu juara
di sekolahnya bahkan dua anak mendapat beasiswa ketika kuliah S1 hingga akhir.
Mengenai kecukupan secara ekonomi memang relatif. Setiap orang sudah mempunyai
jatahnya sendiri-sendiri. Meskipun tidak bisa diprediksi besok makan apa atau
juga untuk bayar sekolah anak bulan depan darimana namun ternyata semuanya
relatif bisa diatasi. Tentu saja tetap ikhtiar alias bekerja sesuai dengan
kemampuannya. Bila ini dilakukan maka Allah akan menurunkan karunia sesuai
kapasitasnya.
Bila
bekerja macam-macam dan semua dikerjakan maka bisa saja jatah dari Malaikat
Mikail akan luput. Soalnya dia tidak ada ditempatnya. Maksudnya perlu istikoma
pada suatu profesi. Misalnya sudah cukup mapan dan sukses sebagai pedagang
sayur mayur maka hal itu perlu ditekuni. Begitu juga misalnya menjadi tukang
potong rambut, tukang pijat, tukang kayu, menjadi petani, menjadi pendidik dan
sebagainya. Tentang hal ini saya pernah diingatkan oleh Kiai agar tetap
istikomah pada profesi yang telah dilakoni dalam waktu cukup lama.
Jadi
tajdidun nikah bisa saja dikerjakan oleh pasangan yang baru beberapa tahun
menikah atau bahkan belasan tahun sudah menikah. Tujuannya untuk menghilangkan
perasaan tidak enak di hati antara suami isteri. Dan juga untuk memperkokoh
ikatan keduanya dan akhirnya rida Allah bisa digapai. Siapa yang ingin mencoba?
Wallahul a’lam bi alshawab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar