Banyak tempat umum atau
fasum (fasilitas umum) yang ada di sekitar kita. Bisa taman, telepon umum, lokasi
free wifi, toilet umum, juga bisa juga kendaraan umum (angkot, bus kota dll),
lift. Bila menggunakan terkadang kita berfikir kok bisa begini. Misalnya banyak
coretan di dinding, fasilitas di rusak, sampah di mana-mana? Apakah ini oleh
karena pembiasaan yang diberikan orang tua atau juga masyarakat yang membentuk
itu semua.
Lalu dimana peran lembaga
pendidikan. Padahal di lembaga pendidikan bertahun-tahun masyarakat diproses.
Bagaimana hasil keluarannya? Banyak pikiran berkecamuk untuk menjawab hal ini.
Namun bila dirunut ada hal yang dilakukan di pondok pesantren. Yakni pembiasaan
salat berjamaah.
Waktu di pondok
pesantren, semua santri tanpa terkecuali harus mengikuti salat berjamaah lima
waktu. Bila tidak maka ada sanksi yang diberlakukan. Oleh karena terbiasa
teman-teman santri lama kelamaan merasa mudah dan ringan. Terasa tidak ada
beban berat yang harus dijauhi dan ditinggalkan. Memang pada tahap awal santri
baru merasa kok salat berjamaah terus. Begitu juga pekerjaan-pekerjaan
keseharian. Disesuaikan dengan kelas dan usia. Santri baru diberi tugas menyapu
masjid dan halaman. Dan santri lainnya ada tugas ke sawah dan lainnya. Semakin
tinggi tingkatan kelas pekerjaannya agak lebih berat.
Kembali terkait kebiasaan
dalam kehidupan. Ada beberapa hal yang perlu dijadikan renungan bersama.
Diantaranya adalah cuci tangan. Bisa kita lihat bila masuk toilet umum, bisa
juga toilet sekolah. Setelah selesai menyelesaikan di dalam keluar. Karena
tidak ada sabun ya hanya memakai air saja. Sedangkan sisa virusnya di tangan
apa juga hilang? Dilanjutkan membuka pintu toilet dan hal ini akan juga
dilakukan banyak orang. Setelah keluar toilet bisa saja ketemu orang lalu
bersalaman atau juga membeli makanan dengan keadaan tangan tidak dicuci dengan
sabun. Lalu bagaimana usaha untuk menjaga tubuh agar tetap sehat bila keadaan
seperti di atas?
Memang membiasakan cuci
tangan setiap keluar kamar mandi dan dicuci dengan sabun memang perlu
pembiasaan terus menerus oleh orang tua kepada anak di rumah. Biar hal ini
menjadi pembiasaan. Untuk mendukung hal tersebut bisa juga pihak sekolah untuk
menyediakan sabun mandi di setiap toilet sekolah. Bisa juga menyediakan kran
air di setiap sudut sekolah atau di depan kelas ditambah sabun untuk cuci
tangan.
Dengan adanya fasilitas
dan pelaksanaan pembiasaan cuci tangan secara terencana maka akan mendapatkan
hasil terjaganya kesehatan tubuh siswa dan akan terpatri bagi setiap diri
siswa.
Kedua, budaya antri. Kita
selama ini tidak bisa sabar untuk antri. Bisa kita lihat ketika keluar dari
bis/angkot. Yang dari dalam bis ingin keluar belum sampai di luar penumpang
baru berebutan masuk. Begitu juga keluar dari lift. Dan keluar dari pesawat.
Semua berebutan ingin keluar. Mungkin dikira dengan menjadi tercepat keluar
akan mendapat piala atau piagam penghargaan. Namun terkadang tidak disadari
bisa menyusahkan orang lain.
Begitu juga fenomena
berebut zakat dan daging kurban. Atau juga berebut raskin atau segala bentuk
pemberian. Masih senang menerima daripada memberi. Untuk mendapatkan uang
sebesar Rp 20.000,00 harus berebutan terinjak-terinjak dan akhirnya ada yang
meninggal. Begitu juga tidak sabar antri mendapatkan jatah daging kurban.
Seandainya mau sabar dan tertib maka akan enak. Tidak jatuh korban, semua
mendapatkan dan indah didengar.
Ketiga, membuang sampah.
Ada fenomena menarik di jalan. Sebuah mobil keluaran terbaru melaju di jalanan.
Tidak berselang lama kaca mobil dibuka dan byar. Ada plastik sampah tumpah di
jalanan. Apa dipikir penumpang mobil itu bahwa yang ingin nyaman hanya dia
sendiri. Sedangkan pengguna jalan cukup menggerutu di dalam hati karena banyak
sampah berserakan. Ini tidak terjadi satu dua kali. Namun masih banyak yang
melakukannya.
Membuang sampah tidak
pada tempatnya kelihatannya tidak ada korelasi dengan tingkat kekayaan, status
sosial, tingkat pendidikan. Mungkin juga karena kebiasaan. Hal ini bisa dilihat
pada arena rekreasi baik di pantai, kolam renang, kebun binatang, bandara,
terminal dan sejenisnya. Lagi-lagi memang hal ini perlu ditanamkan kepada anak
sejak dini usia dan dilakukan secara terus-menerus sehingga menjadi karakter.
Sebagai shock terapy bisa juga dibuat aturan tegas tentang hal ini dengan denda
yang maksimal. Biar pelaku bisa jera seperti yang terjadi di negeri jiran,
Singapura.
Sebenarnya bila kita
renungkan terkait cuci tangan, budaya antri dan membuat sampah pada tempatnya
sudah dalam khasanah ajaran agama kita. Dalam fiqh bab thaharah madzab Syafii
disampaikan pada awal-awal kitab. Mungkin mengingat betapa pentingnya hal ini
dalam kehidupan dan ibadah. Berarti mencakup cuci tangan dan menjaga
kebersihan. Sedangkan budaya antri lekat dengan sifat adil. Yang berarti
menempatkan sesuatu pada tempatnya. Bila orang lain yang lebih dahulu maka
perlu didahulukan. Bukan malah diserobot lalu jadinya ada ketidaknyamanan dan
jatuhnya korban. Mempersilahkan orang lain untuk mendapatkan haknya. Itulah
budaya antri. Wallahul a’lam bi alshawab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar