Sabtu, 17 Januari 2015

Nyai Jamilatun Ghozali



“Griyane pundi, Kang?” Tanya Bu Nyai Jamilatun suatu pagi di akhir Ramadan. “Pisang, Bu Nyai”, jawaban seorang santri dengan menundukkan wajah. “O, Gedang lor iku?” dawuh Bu Nyai kemudian.
Itulah sekelumit percakapan Bu Nyai Jamilatun Ghozali dengan saya ketika di tahun-tahun pertama mondok di Pondok Pesantren Darul Muta’allimiin Pandanasri Kertosono Nganjuk. Waktu itu pada kisaran tahun ‘94an. Wajah menunduk ketika bertemu dengan kiai dan Bu Nyai adalah aturan yang tidak tertulis di pondok. Sebagai bentuk penghormatan kepada ahli ilmu. Bahkan bila mau berjalan tahu bila Kiai atau Bu Nyai juga berjalan searah atau bertemu arah lebih baik santri lari menjauh.
Ketika ditanya Bu Nyai seperti di atas seingat saya ketika kebetulan menyapu halaman Ndalem dan sekitar pondok. Maklum teman-teman santri banyak yang pulang di akhir bulan Ramadan setelah ngaji pasan. Biasanya tanggal 21 sudah khatam lalu pamit pulang. Sedang yang tinggal di pondok biasanya hanya santri luar Jawa saja. Karena tidak ada yang menyapu akhirnya saya membantu menyapu.
Bu Nyai tipe orang yang sabar. Selama di pondok belum pernah mendengar beliau marah. Sehari-hari memakai busana bawahan jarik dipadu dengan baju lengan panjang atasan kerudung menyesuaikan. Beliau adalah putri dari Mbah Kiai Sulaiman Zuhdi Pondok Kemaduh Baron. Mengenyam pendidikan di Termas Baron. Selain ngangsu kawruh langsung dari orang tua beliau sendiri. Berbekal kesabaran, beliau mengasuh putra-putri beliau sendiri dan mengasuh santri putri.
Ada beberapa petuah beliau yang menjadi pegangan hidup para santri. Diantaranya berlaku sabar dalam menjalani kehidupan, juga diopeni anake. Dawuh tersebut disampaikan dalam berbagai kesempatan diantaranya ketika santri sowan kepada beliau.
Bila diaplikasikan dalam kehidupan petuah beliau sangatlah penting sebagai pegangan. Hidup yang sarat dengan kompetisi namun santri harus tetap pada jalur yang sesuai. Menjalani kehidupan apa adanya. Keadaan yang ada diterima dan disyukuri. Namun tetap ikhtiar dengan maksimal. Ibadah tidak boleh terlupa.
Anak yang menjadi amanah ilahi juga tetap dididik dengan segala kemampuan. Karena amanah maka tidak bisa disepelekan. Diberi ruang gerak bisa tumbuh kembang dengan rizki yang halal, dipandu dengan pendidikan agar sesuai dengan anak zamannya dan menjadi generasi yang bermanfaat. Pendidikan agama bagi anak adalah hal utama. Pembiasaan  agama dalam kehidupan sehari-hari anak perlu ditanamkan sejak dini usia.
Sedang petuah Mbah Kiai Ghozali yang sering disampaikan dalam berbagai kesempatan adalah menjaga salat jamaah lima waktu. Bahkan beliau dawuh iso mangan iso mangan yen gelem ngopeni salat jamaah. Bila ditelusuri lebih jauh memang manusia diwarnai dengan berbagai kesibukan duniawi. Namun terkadang banyak orang yang menyepelekan salat sebagai kewajiban ibadah yang khusus dan utama. Dalam sehari semalam telah disediakan Allah waktu 24 jam namun untuk meluangkan waktu salat jamaah lima waktu adalah sangat susah dikerjakan.
Terkadang manusia lebih mengutamakan masalah duniawi. Setiap hari dan setiap waktu dihabiskan untuk mengumpulkan harta. Hingga tidak peduli lagi hak siapa.
Pada hari Kamis Wage 15 Januari 2015 bertepatan dengan tanggal 24 Rabiul Awal 1436 H pukul 05.30 WIB, Ibu Nyai Jamilatun Ghozali dipanggil keharibaan Allah Swt. Ibu Nyai, semoga keikhlasan Panjenengan dalam mendidik para santri menjadi inspirasi kami semua. Semoga nasehat Panjenengan akan terus kami pegangi dalam mengarungi kehidupan yang tidak bertepi ini. Amin. Wallahu a’lam bi al shawab.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar