“Griyane pundi, Kang?”
Tanya Bu Nyai Jamilatun suatu pagi di akhir Ramadan. “Pisang, Bu Nyai”, jawaban
seorang santri dengan menundukkan wajah. “O, Gedang lor iku?” dawuh Bu Nyai
kemudian.
Itulah sekelumit
percakapan Bu Nyai Jamilatun Ghozali dengan saya ketika di tahun-tahun pertama
mondok di Pondok Pesantren Darul Muta’allimiin Pandanasri Kertosono Nganjuk.
Waktu itu pada kisaran tahun ‘94an. Wajah menunduk ketika bertemu dengan kiai
dan Bu Nyai adalah aturan yang tidak tertulis di pondok. Sebagai bentuk
penghormatan kepada ahli ilmu. Bahkan bila mau berjalan tahu bila Kiai atau Bu
Nyai juga berjalan searah atau bertemu arah lebih baik santri lari menjauh.
Ketika ditanya Bu Nyai
seperti di atas seingat saya ketika kebetulan menyapu halaman Ndalem dan
sekitar pondok. Maklum teman-teman santri banyak yang pulang di akhir bulan
Ramadan setelah ngaji pasan. Biasanya tanggal 21 sudah khatam lalu pamit
pulang. Sedang yang tinggal di pondok biasanya hanya santri luar Jawa saja. Karena
tidak ada yang menyapu akhirnya saya membantu menyapu.
Bu Nyai tipe orang yang
sabar. Selama di pondok belum pernah mendengar beliau marah. Sehari-hari
memakai busana bawahan jarik dipadu dengan baju lengan panjang atasan kerudung
menyesuaikan. Beliau adalah putri dari Mbah Kiai Sulaiman Zuhdi Pondok Kemaduh
Baron. Mengenyam pendidikan di Termas Baron. Selain ngangsu kawruh langsung
dari orang tua beliau sendiri. Berbekal kesabaran, beliau mengasuh putra-putri
beliau sendiri dan mengasuh santri putri.
Ada beberapa petuah
beliau yang menjadi pegangan hidup para santri. Diantaranya berlaku sabar dalam
menjalani kehidupan, juga diopeni anake. Dawuh tersebut disampaikan dalam berbagai
kesempatan diantaranya ketika santri sowan kepada beliau.
Bila diaplikasikan dalam
kehidupan petuah beliau sangatlah penting sebagai pegangan. Hidup yang sarat
dengan kompetisi namun santri harus tetap pada jalur yang sesuai. Menjalani
kehidupan apa adanya. Keadaan yang ada diterima dan disyukuri. Namun tetap
ikhtiar dengan maksimal. Ibadah tidak boleh terlupa.
Anak yang menjadi amanah
ilahi juga tetap dididik dengan segala kemampuan. Karena amanah maka tidak bisa
disepelekan. Diberi ruang gerak bisa tumbuh kembang dengan rizki yang halal,
dipandu dengan pendidikan agar sesuai dengan anak zamannya dan menjadi generasi
yang bermanfaat. Pendidikan agama bagi anak adalah hal utama. Pembiasaan agama dalam kehidupan sehari-hari anak perlu
ditanamkan sejak dini usia.
Sedang petuah Mbah Kiai
Ghozali yang sering disampaikan dalam berbagai kesempatan adalah menjaga salat
jamaah lima waktu. Bahkan beliau dawuh iso mangan iso mangan yen gelem ngopeni
salat jamaah. Bila ditelusuri lebih jauh memang manusia diwarnai dengan
berbagai kesibukan duniawi. Namun terkadang banyak orang yang menyepelekan
salat sebagai kewajiban ibadah yang khusus dan utama. Dalam sehari semalam
telah disediakan Allah waktu 24 jam namun untuk meluangkan waktu salat jamaah
lima waktu adalah sangat susah dikerjakan.
Terkadang manusia lebih
mengutamakan masalah duniawi. Setiap hari dan setiap waktu dihabiskan untuk
mengumpulkan harta. Hingga tidak peduli lagi hak siapa.
Pada hari Kamis Wage 15
Januari 2015 bertepatan dengan tanggal 24 Rabiul Awal 1436 H pukul 05.30 WIB,
Ibu Nyai Jamilatun Ghozali dipanggil keharibaan Allah Swt. Ibu Nyai, semoga
keikhlasan Panjenengan dalam mendidik para santri menjadi inspirasi kami semua.
Semoga nasehat Panjenengan akan terus kami pegangi dalam mengarungi kehidupan
yang tidak bertepi ini. Amin. Wallahu a’lam bi al shawab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar