Suatu saat ketika mengajar di kelas saya
melihat buku catatan siswa. Ternyata banyak siswa yang tidak menulis apa yang
disampaikan guru. Jadinya banyak yang kosong bukunya. Tidak hanya satu dua
siswa. Namun banyak siswa. Bila seperti ini keadaannya terus bagaimana
pelajaran yang lain? Selama studi di madrasah nanti apa yang di dapat?
Pertanyaan-pertanyaan ini menghantui
pikiran. Lalu ditindaklanjuti persiapan belajar siswa di kelas. Ternyata siswa
belum tahu apa yang harus dikerjakan. Mulai persiapan belajar minimal materi
yang diajarkan bisa dibaca di rumah walau sekilas. Buku catatan yang harus disiapkan
begitu juga alat tulis-menulis. Buku diktat yang harus juga selalu dibawa.
Mengenai jam belajar siswa ternyata ada
yang membuat geleng-geleng kepala. Banyak siswa terutama anak soleh yang jarang
bahkan tidak mempunyai jam belajar. Ini berasal dari interview yang dilakukan
secara acak dari berbagai kelas. Banyak waktu kosong yang terbuang. Diantaranya
untuk melihat si “kotak pintar”, main dengan teman, ada juga yang mempunyai jam
wajib ke “warnet”.
Sedang anak solehah yang berada di asrama
pondok pesantren relatif mempunyai jadwal belajar yang lebih baik. Walaupun
harus mengatur jadwal pribadi, jadwal belajar di madrasah dan juga jadwal
diniyah pesantren. Kelihatan mereka yang berada di pondok pesantren lebih
mandiri, lebih bisa membagi waktu, dan lebih tertib belajarnya.
Melihat keengganan siswa untuk menulis
maka ada keinginan untuk melihat catatan siswa secara berkesinambungan. Bila
dirunut lebih jauh bila siswa enggan (baca malas menulis) ini salah satu tanda
menidurkan potensi siswa sendiri. Maka perlu stimulus siswa untuk senang
menulis. Menulis apa saja. Bisa menulis pelajaran yang diterima hari ini,
curahan perasaan, kegiatan yang diikuti, proyek pribadi yang dikerjakan dan
sebagainya. Tentu saja asal tidak membebani pikiran siswa. Bila terasa membebani
pastilah siswa akan malas lagi menulis.
Menulis bila dilihat dari kacamata
sederhana sebenarnya sudah dimiliki setiap orang. Hal ini bisa ditilik dari
kemampuan untuk menulis “sms”. Anak yang sudah lihai menulis sms bahkan sudah
hafal huruf walau tidak melihat hurufnya.
Lalu mengenai apapun yang ditulis ternyata
sudah bisa ditebak ternyata bisa menulis walau menulis dengan bahasa “sms”.
Inilah sebenarnya potensi terpendam siswa. Bila tidak dibangunkan maka akan
hilang potensi ini dari dalam diri. Mengenai hal ini saya ingat salah satu
bukunya Ustadz Yusuf Mansur. Isinya adalah berbalas sms antara beliau dengan
UJE. Ternyata hal itu saja sudah menjadi satu buku.
Coba dibayangkan bila smsnya ditulis.
Misalnya sehari saja. Sudah berapa lembar halaman saja. namanya anak
memanfaatkan gratisan sms atau gratisan program medsos dari operator hal yang
tidak perlu digunakan untuk bermain. Bahkan yang cukup mencemaskan pada anak
adalah tiada waktu tanpa pegang gadget. Mungkin merasa dengan pegang gadget menjadi
stylish/tidak jadul. Dibalik itu kerugiannya juga banyak.
Melihat hal ini saya member tugas siswa
untuk gemar menulis. Menulis tadarus Alquran harian, menulis jurnal pelajaran.
Biar ada variasi agar tidak bosan boleh juga menulis kegiatan sehari-hari.
Dengan kegiatan seperti ini siswa yang biasanya tidak teratur menulis ada
perubahan untuk menulis. Walaupun lima baris setiap hari. Tidak mengapa. Untuk
langkah awal bolehlah. Siapa tahu dengan sudah istikomah akan menghasilkan
karya luar biasa di masa yang akan datang?
Memang dominasi anak solehah tidak bisa
dipungkiri. Apa hal ini karena sifat telaten yang dimiliki atau apa? Namun juga
bila ditilik dari prestasi akademik memang biasanya selalu dipegang anak
salihah. Ini bisa dibuktikan yang banyak mengumpulkan tugas adalah anak
salehah. Bahkan ada beberapa yang hasilnya diluar dugaan. Ada aktivis OSIS yang
baik prestasi akademiknya dan juga tinggal di asrama pesantren bisa membuat buku
kumpulan cerpen, ada juga rangkuman pelajaran sejak kelas VII, kumpulan puisi.
Ada juga yang menulis hasil catatan hariannya sejak awal semester ini.
Menjelang ujian semester ganjil tugas
catatan tadarus dan menulis buku dikumpulkan. Apapun tulisannya baik bentuk,
isi, lay out, format tidak semua standar namun ini adalah langkah awal untuk
menyenangi tul menul (tulis menulis). Membangun budaya literasi (membaca dan
menulis) di kalangan santri perlu ditumbuhkembangkan. Bila bukan kita yang
memulai lalu siapa lagi?
Peradaban Islam yang ramah bukan pemarah
nan garang adalah harapan dan sebenarnya itulah ajaran Islam. Dan yang
mengerjakan hal tersebut bukan outsider (orang lain) namun insider (diri kita
sendiri) sebagai seorang muslim.
Bila sudah sejak madrasah tsanawiyah sudah
dibiasakan menulis dan akan berlanjut hingga dibangku pendidikan selanjutnya
serta berkecimpung di profesi masing-masing yang beragam maka tak ayal akan
terjadi lompatan peradaban yang mengagumkan. Semoga. Wallahu a’lam bi al
shawab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar