Dalam beberapa literature pondok pesantren
semisal Taklim Muta’allim karya Syeh Zarnuji diakui bahwa posisi guru sangatlah
sentral. Keberkahan ilmu tergantung keridaan hati guru. Maka murid harus
menjaga sikap ketika berinteraksi dengan guru. Bukan berarti takut namun lebih
pada menghormati kealiman guru. Bila ini di dapat maka keberkahan ilmu yang
menjadi harapan awal belajar akan tercapai.
Lalu zaman terus berubah. Bila dulu lebih
pada teacher centered (belajar berpusat pada guru). Sekarang yang dikembangkan
adalah student centered (belajar terpusat pada siswa). Siswa diharapkan bisa
menganalisa, memecahkan masalah, menyimpulkan dari apa yang ditemukan. Untuk
hal ini posisi guru lebih pada mengantarkan belajar siswanya.
Dalam posisi seperti di atas bukan berarti
guru kehilangan kewibawaan dan kehormatan. Namun lebih mengoptimalkan potensi
yang dimiliki oleh siswa. Dalam hal perencanaan, pelaksanaan, evaluasi dan
tindak lanjut pembelajaran guru lebih diberi kebebasan. Karena bila dikekang
maka bisa terjadi hanya menggugurkan kewajiban mengajar saja. Jumlah SK-KD yang
ada diajarkan. Mengenai siswa bisa menerima atau tidak itu nomor kesekian.
Berkaitan dengan hal ini, penulis teringat
dengan kurikulum di pondok pesantren. Ternyata pondok pesantren tradional
(salafiah) mempunyai kurikulum yang otonom. Satu pesantren dengan yang lain
tidak sama. Terserah kepada kiai menggunakan model apa.
Ada yang memulai dengan pelalajaran
Tajwid, Jurumiyah. Kelas selanjutnya Imrithi, Mutamimah, dan alfiyah. Alfiyah
dijadikan dua kelas yakni Alfiyah Awal dan Tsani. Lalu diteruskan Jawahirul
Maknun dan sebagainya.
Di pondok pesantren lain bisa semacam ini
atau bisa juga berbeda. Dalam hal ini tidak ada ketentuan baku. Namun apa yang
terjadi. Pondok pesantren berhasil menghasilkan alumni yang tersebar di segala
penjuru nusantara menyebarkan (syiar) Islam. Dan tidak sedikit menghasilkan
ulama yang alim. Padahal kita mengetahui sarana dan prasarana pondok pesantren
jauh bila dibilang mapan. Yang ada hanya sederhana. Mengapa hal ini bisa
terjadi?
Terkait nilai, ada program evaluasi setiap
mata pelajaran. Ini dikandung maksud untuk mengetahui seberapa kemampuan
peserta didik untuk menguasai materi yang diterima. Tentu saja sesuai dengan
standar kompetensi dan kompetensi dasar materinya. Tidak bisa digebyah uyah
semua materi dikuasai peserta didik.
Misalnya mata pelajaran Akidah Akhlak pada
kelas IX ada materi kerja keras dan di kelas VIII materi ikhtiar. Implementasi
tugas yang diberikan berupa belajar menulis pelajaran yang diterima. Mengingat
kemampuan peserta didik masih remaja dicoba minimal lima baris sehari. Ini
adalah tahap permulaan untuk membiasakan diri menulis. Bukankah peradaban akan
tumbuh berkembang seiring dengan perkembangan membaca dan menulis manusia.
Program literasi ini sebenarnya sangat
mendesak. Karena menurut penelitian sangat sedikit hasil karya dari insan
madrasah. Bagaimana bisa diketahui produk pemikiran madrasah bila tidak
ditulis? Padahal dari tulisan itulah akan diketahui orang lain. Ditelusuri
lebih kebelakang lagi ternyata pembiasaan mengarang seperti kurikulum sekolah
jaman orang tua dahulu sudah tidak diajarkan sekarang ini. Jadi anak sudah
tidak doyan lagi menulis. Dianggap sebagai “makanan purba” yang perlu dijauhi.
Maka membangkitkan semangat menulis ini perlu terus digelorakan.
Ada juga tugas lain semisal tadarus
Alquran. Beberapa waktu yang lalu Kementerian Agama mencanangkan Gerakan Magrib
Tadarus Alquran. Diharapkan warga masyarakat membiasakan diri membaca Alquran
yang menjadi pedoman hidup sehabis salat Magrib. Bila setiap keluarga membaca
Alquran mulai dari bapak, ibu dan anak-anaknya membaca di rumah alangkah
bersinarnya rumah tersebut. Rahmat Allah akan menyelimuti keluarganya.
Terkait dengan fenomena kenakalan remaja
terkait tawuran pelajar, miras, pergaulan bebas, narkotika dan kurangnya hormat
dengan guru serta orang tua menjadi perhatian tersendiri. Kira-kira apa
penyebabnya? Salah satu cara yang bisa dilakukan adalah mendekatkan remaja
dengan kitab sucinya. Sebagaimana pendapat Imam Suprayogo. Bila remaja dekat
dengan kitab sucinya dengan membaca, memahami dan mengamalkannya maka
terbentuklah pribadi remaja yang utuh. Memahami eksistensi dirinya, orang lain
dan berani menatap masa depannya yang penuh tantangan.
Sebenarnya hal di atas juga adalah
implementasi dalam kehidupan sehari-hari dari materi akidah percaya kepada
kitab-kitab Allah. Terkadang ilmu tidak cukup hanya disampaikan namun miskin
aplikasi. Perlu satu cara tersendiri untuk membiasakan hal tersebut kepada
peserta didik. Dan ini menjadi PR guru diantaranya.
Para guru perlu otonomi untuk melaksanakan
pembelajaran yang bisa diterima peserta didik. Disamping para orang tua yang
menghendaki putra-putrinya menjadi anak saleh-salehah. Maka perhatian dari
orang tua menjadi suatu keniscayaan. Wallahul a’lam bi al shawab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar