Selasa, 16 Desember 2014

Otonomi Guru

Dalam pendidikan posisi guru berperan penting. Ada proses transfer ilmu. Menurut ahli pendidikan posisi peserta didik bukanlah kertas kosong yang berwarna putih. Proses pewarnaan selalu tergantung guru. Ini adalah pendapat lama. Karena keinginan untuk meningkatkan kemampuan dalam ilmu, ketrampilan, dan mengasah potensi pendidikanlah wahananya.
Dalam beberapa literature pondok pesantren semisal Taklim Muta’allim karya Syeh Zarnuji diakui bahwa posisi guru sangatlah sentral. Keberkahan ilmu tergantung keridaan hati guru. Maka murid harus menjaga sikap ketika berinteraksi dengan guru. Bukan berarti takut namun lebih pada menghormati kealiman guru. Bila ini di dapat maka keberkahan ilmu yang menjadi harapan awal belajar akan tercapai.
Lalu zaman terus berubah. Bila dulu lebih pada teacher centered (belajar berpusat pada guru). Sekarang yang dikembangkan adalah student centered (belajar terpusat pada siswa). Siswa diharapkan bisa menganalisa, memecahkan masalah, menyimpulkan dari apa yang ditemukan. Untuk hal ini posisi guru lebih pada mengantarkan belajar siswanya.
Dalam posisi seperti di atas bukan berarti guru kehilangan kewibawaan dan kehormatan. Namun lebih mengoptimalkan potensi yang dimiliki oleh siswa. Dalam hal perencanaan, pelaksanaan, evaluasi dan tindak lanjut pembelajaran guru lebih diberi kebebasan. Karena bila dikekang maka bisa terjadi hanya menggugurkan kewajiban mengajar saja. Jumlah SK-KD yang ada diajarkan. Mengenai siswa bisa menerima atau tidak itu nomor kesekian.
Berkaitan dengan hal ini, penulis teringat dengan kurikulum di pondok pesantren. Ternyata pondok pesantren tradional (salafiah) mempunyai kurikulum yang otonom. Satu pesantren dengan yang lain tidak sama. Terserah kepada kiai menggunakan model apa.
Ada yang memulai dengan pelalajaran Tajwid, Jurumiyah. Kelas selanjutnya Imrithi, Mutamimah, dan alfiyah. Alfiyah dijadikan dua kelas yakni Alfiyah Awal dan Tsani. Lalu diteruskan Jawahirul Maknun dan sebagainya.
Di pondok pesantren lain bisa semacam ini atau bisa juga berbeda. Dalam hal ini tidak ada ketentuan baku. Namun apa yang terjadi. Pondok pesantren berhasil menghasilkan alumni yang tersebar di segala penjuru nusantara menyebarkan (syiar) Islam. Dan tidak sedikit menghasilkan ulama yang alim. Padahal kita mengetahui sarana dan prasarana pondok pesantren jauh bila dibilang mapan. Yang ada hanya sederhana. Mengapa hal ini bisa terjadi?
Terkait nilai, ada program evaluasi setiap mata pelajaran. Ini dikandung maksud untuk mengetahui seberapa kemampuan peserta didik untuk menguasai materi yang diterima. Tentu saja sesuai dengan standar kompetensi dan kompetensi dasar materinya. Tidak bisa digebyah uyah semua materi dikuasai peserta didik.
Misalnya mata pelajaran Akidah Akhlak pada kelas IX ada materi kerja keras dan di kelas VIII materi ikhtiar. Implementasi tugas yang diberikan berupa belajar menulis pelajaran yang diterima. Mengingat kemampuan peserta didik masih remaja dicoba minimal lima baris sehari. Ini adalah tahap permulaan untuk membiasakan diri menulis. Bukankah peradaban akan tumbuh berkembang seiring dengan perkembangan membaca dan menulis manusia.
Program literasi ini sebenarnya sangat mendesak. Karena menurut penelitian sangat sedikit hasil karya dari insan madrasah. Bagaimana bisa diketahui produk pemikiran madrasah bila tidak ditulis? Padahal dari tulisan itulah akan diketahui orang lain. Ditelusuri lebih kebelakang lagi ternyata pembiasaan mengarang seperti kurikulum sekolah jaman orang tua dahulu sudah tidak diajarkan sekarang ini. Jadi anak sudah tidak doyan lagi menulis. Dianggap sebagai “makanan purba” yang perlu dijauhi. Maka membangkitkan semangat menulis ini perlu terus digelorakan.
Ada juga tugas lain semisal tadarus Alquran. Beberapa waktu yang lalu Kementerian Agama mencanangkan Gerakan Magrib Tadarus Alquran. Diharapkan warga masyarakat membiasakan diri membaca Alquran yang menjadi pedoman hidup sehabis salat Magrib. Bila setiap keluarga membaca Alquran mulai dari bapak, ibu dan anak-anaknya membaca di rumah alangkah bersinarnya rumah tersebut. Rahmat Allah akan menyelimuti keluarganya.
Terkait dengan fenomena kenakalan remaja terkait tawuran pelajar, miras, pergaulan bebas, narkotika dan kurangnya hormat dengan guru serta orang tua menjadi perhatian tersendiri. Kira-kira apa penyebabnya? Salah satu cara yang bisa dilakukan adalah mendekatkan remaja dengan kitab sucinya. Sebagaimana pendapat Imam Suprayogo. Bila remaja dekat dengan kitab sucinya dengan membaca, memahami dan mengamalkannya maka terbentuklah pribadi remaja yang utuh. Memahami eksistensi dirinya, orang lain dan berani menatap masa depannya yang penuh tantangan.
Sebenarnya hal di atas juga adalah implementasi dalam kehidupan sehari-hari dari materi akidah percaya kepada kitab-kitab Allah. Terkadang ilmu tidak cukup hanya disampaikan namun miskin aplikasi. Perlu satu cara tersendiri untuk membiasakan hal tersebut kepada peserta didik. Dan ini menjadi PR guru diantaranya.
Para guru perlu otonomi untuk melaksanakan pembelajaran yang bisa diterima peserta didik. Disamping para orang tua yang menghendaki putra-putrinya menjadi anak saleh-salehah. Maka perhatian dari orang tua menjadi suatu keniscayaan. Wallahul a’lam bi al shawab.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar