Sore itu, Ahad (7/12/2014) air hujan menyirami tanah Pisang. Bahkan menjelang berangkat ke acara mujahadah hujan belum reda. Namun hal ini tidak menyurutkan warga Nahdliyin untuk mengikuti mujahadah Padang Mbulan yang bertempat di Musala Alhikmah Pisang.
Acara berlangsung dengan hikmat. Jamaah
yang terdiri atas bapak, ibu, juga remaja memadati musala disamping jamaah yang
berasal dari berbagai perwakilan musala sedesa Pisang.
Seperti biasa acara didahului dengan salat
isak berjamaah lalu wiridan bakda salat. Salat taubat, salat hajat dan salat
tasbih empat rakaat dan istighasah dipimpin oleh Bapak Moh. Isro’, Wakil Rais
Syuriah Ranting NU Pisang.
Tradisi adalah kebiasaan lokalitas yang
baik. Apalagi tradisi para wali penyebar Islam. Walau tidak ada dalam ajaran
agama namun bila tradisi local untuk lebih memahamkan dan mentradisikan ajaran
agama juga tidak salah. “Contohnya kentongan dan bedug,” ujar H. Basyari Rais
Syuriah NU Pisang dalam pengajiannya.
Kentongan dan bedug biasanya ada di masjid
dan musala sebagai tanda dimulainya salat berjamaah. Dulu belum ada sound
system sehingga kebutuhan alat untuk tanda salat diperlukan. Maka ditemukanlah
kedua alat ini. Bunyi bedug “deng-deng” dan bunyi kentongan yang “tong-tong”
bukan tiada bermakna. Bunyi deng-deng bisa dimaknai sebagai jek sedeng jek
sedeng (bahasa Jawa) artinya bahwa di masjid masih bisa menampung banyak jamaah
salat. Begitu pula tong-tong yang berarti jek kotong jek kotong (bahasa Jawa)
bisa diartikan bahwa yang salat berjamaah di masjid masih kosong. Perlu banyak
orang lagi yang salat berjamaah.
Kentongan bisa terbuat dari kayu jati.
Biasanya dari yang berusia tua agar kuat dan tahan lama. Sedang bedug biasanya
terbuat dari kulit sapi pilihan. Sedang wadahnya terbuat dari kayu bisa juga
dari drum bekas oli. Dari dua jenis terakhir memang menghasilkan bunyi khas
yang berbeda. Biasanya masjid-masjid tua bedugnya dari kayu tua pilihan.
Meskipun sudah ada sound system di setiap
masjid atau musala lebih baik kentongan dan bedug yang perlu tetap difungsikan
sebagai tanda di mulainya waktu salat. Bukankah memelihara kearifan local juga
penting? Agar tidak hilang jati diri kita.
Diterangkan pula ada empat macam manusia.
Diantaranya, 1. Bejo-bejo. Bejo (bahasa Jawa) artinya beruntung. Manusia dalam
konsep ini ketika di dunia melaksanakan ajaran agama sehingga tergolong orang
yang selamat. Oleh karena itu nanti di akhirat akan juga beruntung. Seperti doa
yang diucapkan setiap hari, doa sapu jagat.
2. bejo ciloko. Ketika di dunia
bergelimpang harta, menikmati kebahagiaan duniawi. Segalanya ada tersedia.
Bahkan berkehendak apapun bisa. Namun hartanya dicari dari segala cara. Hal ini
menyebabkan lupa beribadah kepada Allah hingga di akhir hidupnya. Akhirnya
ketika di akhirat tidak bisa menikmati kebahagiaan.
3. ciloko bejo. Ciloko disini dimaknai
sengsara. Semua manusia hidup sesuai takdirnya masing-masing. Sesuai dengan
garis tangan yang ada pada setiap diri. Namun ikhtiar adalah suatu kewajiban yang
harus ditunaikan. Dari hal itu ada yang bernasib kaya, dengan kecukupan harta
benda. Namun disisi lain ada juga yang masih belum berdaya. Kedua-duanya kaya
dan sederhana adalah ujian. Tinggal bagaimana setiap orang menyikapinya. Belum tentu
yang berada pandai bersyukur. Begitu juga yang papa hanya mengeluhkan keadaan
dirinya. Bila yang belum beruntung bersikap sabar dan qanaah maka itulah tanda
keberhasilan dan kesuksesan hidup. Kelak di hari kemudian bisa menikmati
kebahagiaan sejati dari Allah Swt.
4. sengsara-sengsara. Di dunia tidak
dikaruniai kenikmatan kehidupan. Sandang pangan papan sebagai modal dasar
kehidupan tersedia terbatas. Sekedar cukup saja. Setiap saat hanya mengeluh dan
tidak bersyukur. Ditambah lagi kewajiban ibadahnya seingatnya saja. Maka bisa
saja sang Khalik hanya mengingatnya sekedarnya saja. Di kehidupan fana ini
sudah tidak merasakan kenikmatan hidup, harapan hidup mapan tidak tercapai
hingga akhir hayat nanti di akhirat bisa saja tidak berbeda dengan di dunia.
Itulah contoh gambaran kehidupan manusia. Anda
memilih yang nomor berapa? Terserah anda. Wallahul a’lam bi al shawab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar