Sabtu, 25 Oktober 2014

Belajar Islam kepada Penjual Es Oyen



Suatu hari yang terik sepulang mengajar saya harus menjemput anak terlebih dahulu. Anak saya yang bungsu sekarang sudah kelas TK B di suatu pondok pesantren. Jarak rumah dengan sekolahnya lumayan jauh 8 km. Keputusan menitipkan anak ke sini karena sekaligus untuk titip bermainnya. Pulang dari sekolahnya adalah jam 13.00 WIB. Waktu yang sesuai karena kami orang tuanya baru pulang mengajar jam 13.30 WIB.
Di perjalanan pulang tenggorokan terasa kering. Enak sekali rasanya minum es. Lalu berhentilah di sebuah PKL es oyen. Penjualnya masih muda. Anaknya baru satu. Karena merasa mungkin keluarga muda lalu ia bercerita tentang keluarganya. Saya senang mendengar ceritanya.
Ia bilang isterinya cekatan diajak bekerja. Ia bersyukur sekali mendapatkan isteri yang setia dan mau diajak bekerja keras. Hal ini diketahui saat awal akan menikah. Sang isteri dipancing gambaran kehidupan masa depaan. Ia ingin berdagang ini ini. Karena merasa cocok uang hasil resepsi digunakan untuk modal usaha. Usaha jualan es di rumah, usaha sang suami berjualan es oyen di dekat pertigaan dan usaha bersama di pasar.
Ia menceritakan juga isterinya sejak bakda subuh sudah bersiap berangkat ke pasar. Ia punya sebuah toko di pasar dekat rumahnya. Lalu sekitar jam 10-11 pulang ke rumah langsung menyiapkan jualan es di rumah. Warungnya di rumah ramai sekali. Dan buka hingga magrib. Karena kebetulan lokasinya dekat pondok pesantren dan sekolah SD. Tiap hari dari usaha warung esnya saja bisa menyisihkan 100-150 ribu rupiah. Belum lagi usahanya di pasar. Dan si suami sendiri menjual es oyen sehari bisa menjual 70an lebih mangkuk. Satu mangkuk sekitar 4000an. Berjualan air atau es bisa laba berlipat. Begitu pernah saya mendengar dari seorang teman. Bahkan laba bisa 50 persen lebih.
Usaha jualan es di rumah adalah hasil jerih payah isterinya. Jadi hasil diserahkan isteri. Namun baiknya bila ingin membeli sesuatu ia minta ijin suaminya.
Melihat gigihnya sang isteri bekerja, penjual es juga merasa kasihan. Untuk mengurangi beban kerja untuk berjualan di pasar ia membantu membuka lapak dan menyiapkan segala sesuatunya. Bila sudah cukup ia segera pulang untuk menyiapkan dagangannya sendiri es oyen dan persiapan berjualan es isterinya di rumah. Jadi ketika siang, isterinya tinggal meracik pesanan saja.
Saya melihat hal ini hal yang baik. Suami isteri bekerja bahu membahu untuk mencukupi kebutuhan keluarga. Menyiapkan masa depan yang lebih baik. Siapa yang merubah nasib kita kalau tidak diri kita sendiri. Memang kewajiban mencari nafkah adalah tugas suami. Namun isteri bila ingin membantu sesuai dengan kemampuannya juga tidak dilarang.
Kedua, ada hak keuangan isteri. Ini diakui. Bila hasil jerih payah isteri maka terserah isteri untuk apa digunakan. Ketiga, adanya perencanaan paska pernikahan. Uang yang dimiliki berdua digunakan sebagai modal usaha berwiraswasta. Ternyata dengan tekad dan kemauan membaja apapun usaha bisa jalan dan mendapatkan hasil. Karena dikerjakan dengan senang dan sesuai passionnya.
Saya hanya berpikir dalam hati. Resepsi pernikahannya tidak mewah. Sederhana saja. Sesuai dengan tuntunan agama cukup. Namun sudah punya rencana after married. Yakni to be. Terkadang bila melihat fenomena pernikahan selebritis yang mewah ternyata biduk rumahtanngganya kandas di tengah jalan. Hidup adalah pilihan. Panjenengan memilih yang mana? Wallahu a’lam bi al shawab.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar