Suatu hari yang terik
sepulang mengajar saya harus menjemput anak terlebih dahulu. Anak saya yang
bungsu sekarang sudah kelas TK B di suatu pondok pesantren. Jarak rumah dengan
sekolahnya lumayan jauh 8 km. Keputusan menitipkan anak ke sini karena
sekaligus untuk titip bermainnya. Pulang dari sekolahnya adalah jam 13.00 WIB.
Waktu yang sesuai karena kami orang tuanya baru pulang mengajar jam 13.30 WIB.
Di perjalanan pulang
tenggorokan terasa kering. Enak sekali rasanya minum es. Lalu berhentilah di
sebuah PKL es oyen. Penjualnya masih muda. Anaknya baru satu. Karena merasa
mungkin keluarga muda lalu ia bercerita tentang keluarganya. Saya senang
mendengar ceritanya.
Ia bilang isterinya
cekatan diajak bekerja. Ia bersyukur sekali mendapatkan isteri yang setia dan
mau diajak bekerja keras. Hal ini diketahui saat awal akan menikah. Sang isteri
dipancing gambaran kehidupan masa depaan. Ia ingin berdagang ini ini. Karena merasa
cocok uang hasil resepsi digunakan untuk modal usaha. Usaha jualan es di rumah,
usaha sang suami berjualan es oyen di dekat pertigaan dan usaha bersama di pasar.
Ia menceritakan juga isterinya
sejak bakda subuh sudah bersiap berangkat ke pasar. Ia punya sebuah toko di
pasar dekat rumahnya. Lalu sekitar jam 10-11 pulang ke rumah langsung
menyiapkan jualan es di rumah. Warungnya di rumah ramai sekali. Dan buka hingga
magrib. Karena kebetulan lokasinya dekat pondok pesantren dan sekolah SD. Tiap
hari dari usaha warung esnya saja bisa menyisihkan 100-150 ribu rupiah. Belum
lagi usahanya di pasar. Dan si suami sendiri menjual es oyen sehari bisa
menjual 70an lebih mangkuk. Satu mangkuk sekitar 4000an. Berjualan air atau es
bisa laba berlipat. Begitu pernah saya mendengar dari seorang teman. Bahkan laba
bisa 50 persen lebih.
Usaha jualan es di rumah
adalah hasil jerih payah isterinya. Jadi hasil diserahkan isteri. Namun baiknya
bila ingin membeli sesuatu ia minta ijin suaminya.
Melihat gigihnya sang
isteri bekerja, penjual es juga merasa kasihan. Untuk mengurangi beban kerja
untuk berjualan di pasar ia membantu membuka lapak dan menyiapkan segala
sesuatunya. Bila sudah cukup ia segera pulang untuk menyiapkan dagangannya
sendiri es oyen dan persiapan berjualan es isterinya di rumah. Jadi ketika
siang, isterinya tinggal meracik pesanan saja.
Saya melihat hal ini hal
yang baik. Suami isteri bekerja bahu membahu untuk mencukupi kebutuhan
keluarga. Menyiapkan masa depan yang lebih baik. Siapa yang merubah nasib kita
kalau tidak diri kita sendiri. Memang kewajiban mencari nafkah adalah tugas
suami. Namun isteri bila ingin membantu sesuai dengan kemampuannya juga tidak
dilarang.
Kedua, ada hak keuangan
isteri. Ini diakui. Bila hasil jerih payah isteri maka terserah isteri untuk
apa digunakan. Ketiga, adanya perencanaan paska pernikahan. Uang yang dimiliki
berdua digunakan sebagai modal usaha berwiraswasta. Ternyata dengan tekad dan
kemauan membaja apapun usaha bisa jalan dan mendapatkan hasil. Karena dikerjakan
dengan senang dan sesuai passionnya.
Saya hanya berpikir dalam
hati. Resepsi pernikahannya tidak mewah. Sederhana saja. Sesuai dengan tuntunan
agama cukup. Namun sudah punya rencana after married. Yakni to be. Terkadang bila
melihat fenomena pernikahan selebritis yang mewah ternyata biduk
rumahtanngganya kandas di tengah jalan. Hidup adalah pilihan. Panjenengan memilih
yang mana? Wallahu a’lam bi al shawab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar