Mengaji
alquran bagi orang desa adalah salah satu kebutuhan orang tua terhadap anak.
Dalam hal ini ada pergeseran tempat belajar. Ada penelitian disertasi menarik
tentang hal ini. Sebagaimana yang ditulis oleh Isrofil amar. Dalam
penelitiannya diantaranya mengemukakan ada perubahan tempat mengajar dari
system langgar beralih menjadi taman pendidikan alquran.
Ada
perubahan memang dari sisi metode, guru, waktu, tempat, santri, perhatian dari
pemerintah dan masyarakat. Bila dulu waktu penulis masih kecil belajar mengaji
di masjid. Oleh guru diajari metode ala bagdadi. Diajari alif fathah a alif
kasroh I dan seterusnya. Santri diajari individual. Satu persatu. Bila menyebut
kitabnya dengan turutan. Bila sudah selesai memulai dengan juz amma (juz 30).
Dengan metode ini dinilai lumayan lama dan butuh ketelatenan dari guru dan
santri. Waktunya bakda magrib hingga salat isak. orang desa biasanya mencarikan
tempat mengaji di langgar atau masjid yang ada guru mengajinya. Perhatian orang
tua terasa kurang. Anak mau pergi ke masjid karena terbawa teman. Bila anak
tidak mengaji dibiarkan saja. Mungkin merasa tidak bias mengaji tidak mengapa
asal bias bekerja membantu orang tua di sawah.
Perhatian
masyarakat terhadap guru mengaji tidak sebegitu besar. Karena dinilai mengajar
mengaji adalah pekerjaan ibadah. Sehingga yang namanya SPP bulanan tidak ada.
Apalagi membayar gedung, seragam, kesejahteraan guru, seragam guru, dan
sejenisnya tidak ada. Jadi menjadi guru mengaji adalah kerja malaikat. Dalam
arti tidak ada no dan po. Tidak ada apa-apa. Terkadang mungkin bila orang tua
santri punya hajat bila ada lebih maka guru mengaji di beri oleh-oleh agak
banyak. Sebagai ungkapan rasa hormat. Terus ada disisi yang lain oleh karena
keadaan seperti ini zakat fitrah seluruhnya diserahkan guru mengaji yang
sekaligus bertindak sebagai amil. Jadi tasaruf untuk orang fakir miskin
terkadang tidak ada.
Perhatian
guru mengaji oleh pemerintah bias dikatakan tidak ada sama sekali. Masalahnya
ya itu tadi, mengaji di masjid, musala, di pondok pesantren dianggap sebagai
pendidikan non formal sehingga tidak perlu dibiayai oleh Negara. Jadi sekilas
seperti hal itu yang terjadi.
Sekarang
ini perhatian pemerintah semakin baik. Dan itu terjadi baru-baru ini saja.
Terasa setelah ada santri yang menjadi Presiden RI, yakni Gus Dur. Lembaga
pendidikan yang sudah ada sebelum Indonesia merdeka mulai diakui eksistensinya.
Lembaga pendidikan seperti taman pendidikan alquran, madrasah diniyah, pondok
pesantren, pesantren muadalah, mulai di data, ada ijin operasionalnya pula.
Sehingga bias dijadikan pegangan oleh pemerintah untuk menyalurkan bantuan
untuk sarana, santri, dan gurunya. Bahkan ada guru madrasah diniyah yang
mendapat tunjangan profesi pendidik.
Seperti
di Nganjuk baru-baru ini tepatnya waktu bulan puasa yang lalu ada rasa senang
di hati para guru tpq karena mendapat bantuan dari pemerintah daerah sebesar Rp
150.000,00/guru. Ini menjadi spirit bagi guru-guru untuk lebih serius dalam
mengabdi. Ternyata eksistensi mereka diperhatikan. Jumlah ini terasa naik.
Karena pernah dahulu hanya mendapat Rp 50.000,00/tahun/guru.
Seiring
dengan hal ini metode mengajar lebih beragam karena banyak metode mengaji yang
muncul. Ada annahdliyah, qiraati, tilawati, ummi, iqra’, jet tempur dan
sebagainya. Semuanya baik menuju satu muara yakni bias membaca alquran dengan
baik dan benar. Ada nilai lebih dengan hal ini diantaranya yang menjadi guru
tidak sembarang orang. Ada semacam standarisasi guru tpq. Bila sudah lolos
melewati pembinaan metode tertentu baru yang bersangkutan bias mengajar. Lalu
waktunya menjadi sore hari. Ada system honor tiap bulan. Ini bias diperoleh
oleh menejemen tpq dari infak yang dibayar oleh santri tiap bulan dan juga dari
donator, hasil infak dan lembaga lain. Selain honor ada perhatian manejemen
untuk guru diantaranya seragam guru, thr, dan lain-lain menyesuaikan kemampuan
tpq tentunya.
Selain
itu ada namanya evaluasi. Jadi tiap hari santri diajar dengan system klasikal.
Satu tingkatan santri dengan usia paud hingga taman kanak-kanak yang mempunyai
kemampuan sama dijadikan satu. Dengan satu guru tentunya. Setelah diajar dengan
cara klasikal lalu dilanjutkan dengan individual dinilai kemampuannya lalu
dibubuhkan pada kartu prestasi.
Bila
sudah dalam waktu tertentu lalu ada evaluasi periodic sebagai penentu untuk
melanjutkan pelajaran selanjutnya. Bila tiba waktunya munaqasah sebagai tanda
khatam belajar mengaji 30 juz maka diakhiri dengan acara khataman alquran 30
juz/wisuda layaknya mahasiswa yang telah mengakhiri masa studinya.
Bila
merunut dari hasil penelitian di atas memang ada pergeseran paradigm di
masyarakat mengenai cara mengajar alquran dan lembaga keagamaan yang hidup ditengah-tengah
masyarakat. Ini dipengaruhi tingkat pendidikan yang semakin baik, ekonomi dan
juga kebijakan pemerintah. Koensekuensinya dalam proses pengelolaannyapun
semakin lebih baik dan professional. Maka hanya lembaga pendidikan yang
dikelola dengan baik saja masyarakat akan percaya. Bila sudah mendapat
kepercayaan dari masyarakat maka lembaga pendidikan akan tetap eksis dan bias
member manfaat kepada masyarakat. Wallahu a’lam bi al shawab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar