Minggu, 24 Agustus 2014

Tpq Sebagai Lembaga Profesional



Mengaji alquran bagi orang desa adalah salah satu kebutuhan orang tua terhadap anak. Dalam hal ini ada pergeseran tempat belajar. Ada penelitian disertasi menarik tentang hal ini. Sebagaimana yang ditulis oleh Isrofil amar. Dalam penelitiannya diantaranya mengemukakan ada perubahan tempat mengajar dari system langgar beralih menjadi taman pendidikan alquran.
Ada perubahan memang dari sisi metode, guru, waktu, tempat, santri, perhatian dari pemerintah dan masyarakat. Bila dulu waktu penulis masih kecil belajar mengaji di masjid. Oleh guru diajari metode ala bagdadi. Diajari alif fathah a alif kasroh I dan seterusnya. Santri diajari individual. Satu persatu. Bila menyebut kitabnya dengan turutan. Bila sudah selesai memulai dengan juz amma (juz 30). Dengan metode ini dinilai lumayan lama dan butuh ketelatenan dari guru dan santri. Waktunya bakda magrib hingga salat isak. orang desa biasanya mencarikan tempat mengaji di langgar atau masjid yang ada guru mengajinya. Perhatian orang tua terasa kurang. Anak mau pergi ke masjid karena terbawa teman. Bila anak tidak mengaji dibiarkan saja. Mungkin merasa tidak bias mengaji tidak mengapa asal bias bekerja membantu orang tua di sawah.
Perhatian masyarakat terhadap guru mengaji tidak sebegitu besar. Karena dinilai mengajar mengaji adalah pekerjaan ibadah. Sehingga yang namanya SPP bulanan tidak ada. Apalagi membayar gedung, seragam, kesejahteraan guru, seragam guru, dan sejenisnya tidak ada. Jadi menjadi guru mengaji adalah kerja malaikat. Dalam arti tidak ada no dan po. Tidak ada apa-apa. Terkadang mungkin bila orang tua santri punya hajat bila ada lebih maka guru mengaji di beri oleh-oleh agak banyak. Sebagai ungkapan rasa hormat. Terus ada disisi yang lain oleh karena keadaan seperti ini zakat fitrah seluruhnya diserahkan guru mengaji yang sekaligus bertindak sebagai amil. Jadi tasaruf untuk orang fakir miskin terkadang tidak ada. 
Perhatian guru mengaji oleh pemerintah bias dikatakan tidak ada sama sekali. Masalahnya ya itu tadi, mengaji di masjid, musala, di pondok pesantren dianggap sebagai pendidikan non formal sehingga tidak perlu dibiayai oleh Negara. Jadi sekilas seperti hal itu yang terjadi.
Sekarang ini perhatian pemerintah semakin baik. Dan itu terjadi baru-baru ini saja. Terasa setelah ada santri yang menjadi Presiden RI, yakni Gus Dur. Lembaga pendidikan yang sudah ada sebelum Indonesia merdeka mulai diakui eksistensinya. Lembaga pendidikan seperti taman pendidikan alquran, madrasah diniyah, pondok pesantren, pesantren muadalah, mulai di data, ada ijin operasionalnya pula. Sehingga bias dijadikan pegangan oleh pemerintah untuk menyalurkan bantuan untuk sarana, santri, dan gurunya. Bahkan ada guru madrasah diniyah yang mendapat tunjangan profesi pendidik.
Seperti di Nganjuk baru-baru ini tepatnya waktu bulan puasa yang lalu ada rasa senang di hati para guru tpq karena mendapat bantuan dari pemerintah daerah sebesar Rp 150.000,00/guru. Ini menjadi spirit bagi guru-guru untuk lebih serius dalam mengabdi. Ternyata eksistensi mereka diperhatikan. Jumlah ini terasa naik. Karena pernah dahulu hanya mendapat Rp 50.000,00/tahun/guru. 
Seiring dengan hal ini metode mengajar lebih beragam karena banyak metode mengaji yang muncul. Ada annahdliyah, qiraati, tilawati, ummi, iqra’, jet tempur dan sebagainya. Semuanya baik menuju satu muara yakni bias membaca alquran dengan baik dan benar. Ada nilai lebih dengan hal ini diantaranya yang menjadi guru tidak sembarang orang. Ada semacam standarisasi guru tpq. Bila sudah lolos melewati pembinaan metode tertentu baru yang bersangkutan bias mengajar. Lalu waktunya menjadi sore hari. Ada system honor tiap bulan. Ini bias diperoleh oleh menejemen tpq dari infak yang dibayar oleh santri tiap bulan dan juga dari donator, hasil infak dan lembaga lain. Selain honor ada perhatian manejemen untuk guru diantaranya seragam guru, thr, dan lain-lain menyesuaikan kemampuan tpq tentunya.
Selain itu ada namanya evaluasi. Jadi tiap hari santri diajar dengan system klasikal. Satu tingkatan santri dengan usia paud hingga taman kanak-kanak yang mempunyai kemampuan sama dijadikan satu. Dengan satu guru tentunya. Setelah diajar dengan cara klasikal lalu dilanjutkan dengan individual dinilai kemampuannya lalu dibubuhkan pada kartu prestasi.
Bila sudah dalam waktu tertentu lalu ada evaluasi periodic sebagai penentu untuk melanjutkan pelajaran selanjutnya. Bila tiba waktunya munaqasah sebagai tanda khatam belajar mengaji 30 juz maka diakhiri dengan acara khataman alquran 30 juz/wisuda layaknya mahasiswa yang telah mengakhiri masa studinya.
Bila merunut dari hasil penelitian di atas memang ada pergeseran paradigm di masyarakat mengenai cara mengajar alquran dan lembaga keagamaan yang hidup ditengah-tengah masyarakat. Ini dipengaruhi tingkat pendidikan yang semakin baik, ekonomi dan juga kebijakan pemerintah. Koensekuensinya dalam proses pengelolaannyapun semakin lebih baik dan professional. Maka hanya lembaga pendidikan yang dikelola dengan baik saja masyarakat akan percaya. Bila sudah mendapat kepercayaan dari masyarakat maka lembaga pendidikan akan tetap eksis dan bias member manfaat kepada masyarakat. Wallahu a’lam bi al shawab.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar