Pada hari Rabu, 9 Juli
2014 seluruh warga Indonesia mempunyai hajat nasional yakni pemilu presiden dan
wakil presiden. Mereka berbondong-bondong ke Tempat Pemungutan Suara dekat
rumah masing-masing. Bila saat pileg satu keluarga bias beda TPS namun
sepertinya pemilu kali ini lebih baik penyebaran DPTnya. Sangat kelihatan KPU
mulai berbenah atas kekurangan teknis pada pemilu sebelumnya.
Saya mencermati sedikit
hal ini karena kebetulan mendapat tanggungan menjadi ketua KPPS disekitar
rumah. Dari pemungutan suara untuk pilpres kali ini partisipasi warga sekitar
59% dari 482 warga yang mempunyai hak pilih. Dari dua pasang calon yakni
Prabowo Hatta dan Jokowi JK hasilnya hamper seimbang. Dari perbincangan
sehari-hari ketika di masjid, di madrasah, di pengajian saya berusaha tidak
mementik soal dukungan. Takutnya warga dan jamaah yang sudah solid akan berubah
bercerai berai. Biarlah mereka sendiri yang membuat keputusan. Toh, menurut
pemikiran saya mereka sudah bias membuat kesimpulan sendiri siapa yang pantas
mereka pilih dalam pemilu kali ini. Siapa pemimpin yang diharapkan bias membawa
perubahan kesejahteraan warga lima tahun kedepan.
Sehingga ketika ada
kesempatan kultum tarawih atau dalam pertemuan pengurus NU saya berusaha
datar-datar saja. Cukup mengajak para warga untuk berpartisipasi menggunakan
hak pilihnya. Diniati saja dating ke TPS sebagai bagian ibadah. Ungkapan rasa
syukur atas nikmat diberi kesempatan untuk memilih pemimpin. Hal ini bias dibandingkan
dengan yang terjadi di Negara lain. Untuk memilih pemimpin Negara harus
melewati proses kekacauan, pertumpahan darah dengan sesame saudara sebangsa,
pengrusakan, terputusnya tali silaturahmi dan sebagainya.
Hari coblosan sudah usai.
Rekap tingkat desa juga sudah dilakukan kemarin hari Kamis, 10 Juli 2014 dengan
hasil nomor urut dua yang memperoleh kepercayaan dari warga dengan jumlah suara
lebih banyak dari pasangan nomor urut 1. Suasana desa Pisang juga sudah seperti
biasa. Yang bekerja sebagai petani kembali ke sawah, begitu juga pedagang,
pegawai, dan tentara. Anak-anak masih menikmati liburan sambil mengisi
hari-hari dengan mengaji di masjid. Rasa persatuan masih diutamakan,
lirik-lirikan antar pendukung tidak terlihat. Semoga saja tidak ada. Karena sudah
terbiasa hal ini berulangkali terjadi. Berharap warga semakin sadar pentingnya
persatuan.
Ada petuah Ronggowarsito
yang teringat di benak yakni menang tanpo ngasorake. Bahasa Indonesianya kurang
lebih demikian menang tanpa merendahkan yang lain. Di media terlihat
masing-masing pasangan mengklaim sebagai jawara dalam pilpres kali ini. Dengan sama-sama
membuat pernyataan ke public. Rakyat bias saja terbelah bila tidak ada
kedewasaan berpikir. Semoga yang menang nantinya tidak jumawa yang kalah tidak
membuat anarki. Ketentraman, ketertiban social sangat diharapkan dari momen
ini. Semoga para elit partai, elit pemerintah bias mengutamakan sifat
kenegarawanan dengan melaksanakan petuah dari Ronggowarsito. Semoga. Wallahul a’lam
bi al shawab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar