Jumat, 11 Juli 2014

Usai Coblosan

Pada hari Rabu, 9 Juli 2014 seluruh warga Indonesia mempunyai hajat nasional yakni pemilu presiden dan wakil presiden. Mereka berbondong-bondong ke Tempat Pemungutan Suara dekat rumah masing-masing. Bila saat pileg satu keluarga bias beda TPS namun sepertinya pemilu kali ini lebih baik penyebaran DPTnya. Sangat kelihatan KPU mulai berbenah atas kekurangan teknis pada pemilu sebelumnya.
Saya mencermati sedikit hal ini karena kebetulan mendapat tanggungan menjadi ketua KPPS disekitar rumah. Dari pemungutan suara untuk pilpres kali ini partisipasi warga sekitar 59% dari 482 warga yang mempunyai hak pilih. Dari dua pasang calon yakni Prabowo Hatta dan Jokowi JK hasilnya hamper seimbang. Dari perbincangan sehari-hari ketika di masjid, di madrasah, di pengajian saya berusaha tidak mementik soal dukungan. Takutnya warga dan jamaah yang sudah solid akan berubah bercerai berai. Biarlah mereka sendiri yang membuat keputusan. Toh, menurut pemikiran saya mereka sudah bias membuat kesimpulan sendiri siapa yang pantas mereka pilih dalam pemilu kali ini. Siapa pemimpin yang diharapkan bias membawa perubahan kesejahteraan warga lima tahun kedepan.
Sehingga ketika ada kesempatan kultum tarawih atau dalam pertemuan pengurus NU saya berusaha datar-datar saja. Cukup mengajak para warga untuk berpartisipasi menggunakan hak pilihnya. Diniati saja dating ke TPS sebagai bagian ibadah. Ungkapan rasa syukur atas nikmat diberi kesempatan untuk memilih pemimpin. Hal ini bias dibandingkan dengan yang terjadi di Negara lain. Untuk memilih pemimpin Negara harus melewati proses kekacauan, pertumpahan darah dengan sesame saudara sebangsa, pengrusakan, terputusnya tali silaturahmi dan sebagainya.
Hari coblosan sudah usai. Rekap tingkat desa juga sudah dilakukan kemarin hari Kamis, 10 Juli 2014 dengan hasil nomor urut dua yang memperoleh kepercayaan dari warga dengan jumlah suara lebih banyak dari pasangan nomor urut 1. Suasana desa Pisang juga sudah seperti biasa. Yang bekerja sebagai petani kembali ke sawah, begitu juga pedagang, pegawai, dan tentara. Anak-anak masih menikmati liburan sambil mengisi hari-hari dengan mengaji di masjid. Rasa persatuan masih diutamakan, lirik-lirikan antar pendukung tidak terlihat. Semoga saja tidak ada. Karena sudah terbiasa hal ini berulangkali terjadi. Berharap warga semakin sadar pentingnya persatuan.

Ada petuah Ronggowarsito yang teringat di benak yakni menang tanpo ngasorake. Bahasa Indonesianya kurang lebih demikian menang tanpa merendahkan yang lain. Di media terlihat masing-masing pasangan mengklaim sebagai jawara dalam pilpres kali ini. Dengan sama-sama membuat pernyataan ke public. Rakyat bias saja terbelah bila tidak ada kedewasaan berpikir. Semoga yang menang nantinya tidak jumawa yang kalah tidak membuat anarki. Ketentraman, ketertiban social sangat diharapkan dari momen ini. Semoga para elit partai, elit pemerintah bias mengutamakan sifat kenegarawanan dengan melaksanakan petuah dari Ronggowarsito. Semoga. Wallahul a’lam bi al shawab.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar