Rabu, 23 Juli 2014

Anak Manusia

Suatu hari saya servis sepeda. Karena antri dan yang dikerjakan cukup berat yakni stel velg akhirnya saya membunuh waktu dengan istirahat di musala dekat bengkel. Mumpung juga bulan puasa. Lumayan bisa istirahat dan menyimpan tenaga untuk melanjutkan aktivitas lainnya. Apalagi hari terasa terik waktu itu.
Tidak terlalu lama juga tukang bangunan yang juga datang. Dengan keperluan sama rehat dari pekerjaannya. Sambil menunggu waktu salat duhur. Dan selanjutnya sudah waktunya kami salat duhur berjamaah.
Yang asik adalah sebelum sama-sama merebahkan diri mengurangi rasa penat setelah aktivitas seharian. Saya banyak sebagai pendengar saja. Ia bercerita bahwa disekitar rumahnya baru saja dibangun masjid baru. Jarak dari masjid sebelahnya sekitar 100an meter. Lho, kok bisa. Ternyata jamaah masjid lama tidak terima karena pemilik masjid lama tidak jadi mewakafkan masjidnya. Selidik punya selidik ternyata imbas dari pemilihan kepala desa. Jamaah masjid condong pada rival jagonya keturunan pemilik masjid lama. Akhirnya ya itu tadi mendirikan masjid baru. Bagaimana ini? Referensi yang kita terima selama ini kalau bisa satu desa sebaiknya ada satu masjid untuk salat jumat. Untuk menjawab hal ini perlu dasar nash dan pendapat ulama tentunya. Disamping ilmu sosial juga dipakai untuk terjadi integrasi sosial dan mengurangi mafsadah.
Dari sisi lain banyak sekali dibangun tempat ibadah baik masjid, langgar/musala dimana-mana. Namun kayaknya tidak begitu terurus. Dalam arti sedikit sekali kegiatan memakmurkannya. Jamaah sedikit dan hanya untuk ibadah rutin saja. Bahkan terkadang hanya salat tertentu saja. Misalnya magrib, isyak dan subuh saja. Sedang duhur dan asar tidak ada aktivitas karena jamaanya masih di kantor atau bekerja di lain tempat. Padahal biaya untuk membangun tempat ibadah sudah menghabiskan puluhan hingga ratusan juta rupiah.
Yang menarik kedua, orang ini tanpa sengaja juga bercerita bahwa ia diceraikan isteri pertamanya. Hal itu terjadi setelah isterinya diangkat menjadi CPNS. Gara-gara bertemu dengan teman lamanya yang juga menjadi guru. Nah, ini kenapa. Padahal juga sama-sama sudah berkeluarga. Saya tidak begitu mengurus bagaimana dan bagaimana. Saya hanya berfikir masak karena sudah bekerja mapan lalu dengan teganya mengajukan cerai suaminya yang bekerja sebagai tukang bangunan. Padahal sudah punya anak satu.
Ini adalah cerita manusia yang ada disekitar kita. Melihat hal tersebut hanya kita bisa mengambil hikmahnya saja. Pertama mengenai adanya pembangunan masjid baru yang berdekatan atau satu kampung memang ada fenomena tersendiri. Yang penulis ketahui asal masjid lama sudah tidak cukup menampung jamaah. Yang kedua, jaraknya terlalu jauh. Disamping itu integrasi sosial atau rasa persatuan menjaga persepsi tokoh agama adalah hal utama. Terkadang harus ada yang mengalah egonya agar tercipta persatuan. Tidak ada yang kalah dan menang. Yang menang adalah persatuan dan kemaslahatan umat.
Kedua, niat menikah bukan untuk jangka waktu yang pendek. Setahun dua tahun. Selesai. Ini yang perlu menjadi patokan bagi calon mempelai dan para mempelai yang sudah berumah tangga. Setelah salah satu menanjak kariernya lalu melupakan pasangannya. Karena merasa sudah mapan dan mandiri. Kasus ini banyak mencuat. Bisa dilihat dari proses perceraian di pengadilan agama nganjuk. Banyak kasus cerai yang mengajukan adalah dari pihak isteri. Diperparah lagi ada kasus diantaranya setelah guru banyak yang mendapat tunjangan profesi. Nah. Seharusnya guru bisa menjadi teladan di masyarakat malah jadinya seperti ini. Semoga hal ini adalah satu kasus dari sekian ribu kasus serupa. Dan semoga saja sampai disini saja.

Mengenai hal ini saya teringat dengan analisis ekonomi dari pengamat sosial ekonomi. Bila orang Tionghoa semakin mapan dan makmur hidupnya maka ia akan melipatgandakan usahanya. Artinya usahanya ada menggurita dari berbagai lini. Namun bila orang Jawa bertambah sedikit keuangannya maka ia akan cepat sekali untuk menambah isteri. Wallahu a’lam bi al shawab.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar