Suatu hari saya servis
sepeda. Karena antri dan yang dikerjakan cukup berat yakni stel velg akhirnya
saya membunuh waktu dengan istirahat di musala dekat bengkel. Mumpung juga
bulan puasa. Lumayan bisa istirahat dan menyimpan tenaga untuk melanjutkan
aktivitas lainnya. Apalagi hari terasa terik waktu itu.
Tidak terlalu lama juga tukang
bangunan yang juga datang. Dengan keperluan sama rehat dari pekerjaannya. Sambil
menunggu waktu salat duhur. Dan selanjutnya sudah waktunya kami salat duhur
berjamaah.
Yang asik adalah sebelum
sama-sama merebahkan diri mengurangi rasa penat setelah aktivitas seharian. Saya
banyak sebagai pendengar saja. Ia bercerita bahwa disekitar rumahnya baru saja
dibangun masjid baru. Jarak dari masjid sebelahnya sekitar 100an meter. Lho,
kok bisa. Ternyata jamaah masjid lama tidak terima karena pemilik masjid lama
tidak jadi mewakafkan masjidnya. Selidik punya selidik ternyata imbas dari
pemilihan kepala desa. Jamaah masjid condong pada rival jagonya keturunan
pemilik masjid lama. Akhirnya ya itu tadi mendirikan masjid baru. Bagaimana ini?
Referensi yang kita terima selama ini kalau bisa satu desa sebaiknya ada satu
masjid untuk salat jumat. Untuk menjawab hal ini perlu dasar nash dan pendapat ulama
tentunya. Disamping ilmu sosial juga dipakai untuk terjadi integrasi sosial dan
mengurangi mafsadah.
Dari sisi lain banyak
sekali dibangun tempat ibadah baik masjid, langgar/musala dimana-mana. Namun kayaknya
tidak begitu terurus. Dalam arti sedikit sekali kegiatan memakmurkannya. Jamaah
sedikit dan hanya untuk ibadah rutin saja. Bahkan terkadang hanya salat
tertentu saja. Misalnya magrib, isyak dan subuh saja. Sedang duhur dan asar
tidak ada aktivitas karena jamaanya masih di kantor atau bekerja di lain
tempat. Padahal biaya untuk membangun tempat ibadah sudah menghabiskan puluhan
hingga ratusan juta rupiah.
Yang menarik kedua, orang
ini tanpa sengaja juga bercerita bahwa ia diceraikan isteri pertamanya. Hal itu
terjadi setelah isterinya diangkat menjadi CPNS. Gara-gara bertemu dengan teman
lamanya yang juga menjadi guru. Nah, ini kenapa. Padahal juga sama-sama sudah
berkeluarga. Saya tidak begitu mengurus bagaimana dan bagaimana. Saya hanya
berfikir masak karena sudah bekerja mapan lalu dengan teganya mengajukan cerai
suaminya yang bekerja sebagai tukang bangunan. Padahal sudah punya anak satu.
Ini adalah cerita manusia
yang ada disekitar kita. Melihat hal tersebut hanya kita bisa mengambil
hikmahnya saja. Pertama mengenai adanya pembangunan masjid baru yang berdekatan
atau satu kampung memang ada fenomena tersendiri. Yang penulis ketahui asal
masjid lama sudah tidak cukup menampung jamaah. Yang kedua, jaraknya terlalu
jauh. Disamping itu integrasi sosial atau rasa persatuan menjaga persepsi tokoh
agama adalah hal utama. Terkadang harus ada yang mengalah egonya agar tercipta
persatuan. Tidak ada yang kalah dan menang. Yang menang adalah persatuan dan
kemaslahatan umat.
Kedua, niat menikah bukan
untuk jangka waktu yang pendek. Setahun dua tahun. Selesai. Ini yang perlu
menjadi patokan bagi calon mempelai dan para mempelai yang sudah berumah
tangga. Setelah salah satu menanjak kariernya lalu melupakan pasangannya. Karena
merasa sudah mapan dan mandiri. Kasus ini banyak mencuat. Bisa dilihat dari
proses perceraian di pengadilan agama nganjuk. Banyak kasus cerai yang
mengajukan adalah dari pihak isteri. Diperparah lagi ada kasus diantaranya
setelah guru banyak yang mendapat tunjangan profesi. Nah. Seharusnya guru bisa
menjadi teladan di masyarakat malah jadinya seperti ini. Semoga hal ini adalah
satu kasus dari sekian ribu kasus serupa. Dan semoga saja sampai disini saja.
Mengenai hal ini saya
teringat dengan analisis ekonomi dari pengamat sosial ekonomi. Bila orang
Tionghoa semakin mapan dan makmur hidupnya maka ia akan melipatgandakan
usahanya. Artinya usahanya ada menggurita dari berbagai lini. Namun bila orang
Jawa bertambah sedikit keuangannya maka ia akan cepat sekali untuk menambah
isteri. Wallahu a’lam bi al shawab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar