Sabtu, 19 April 2014

Kelemahan Koalisi



Jaman Orde Baru ada yang namanya monoloyalitas. Semua pegawai negeri tanpa kecuali harus patuh pada atasannya. Dan harus mencoblos Partai Golkar bila ingin jabatan, kedudukan dan statusnya sebagai pegawai negeri tidak bergeser atau dipecat. Maka tidak ayal Partai Golkar menguasai negeri ini mulai dari pemerintahan pusat, provinsi, kabupaten hingga desa/kelurahan.
Kedudukan presiden luar biasa. Makanya apa kata pusat akan dilaksanakan hingga lingkup pemerintahan terkecil. Dan seragam. Ada kekurangan bentuk seperti ini yakni keseragaman tidak aneka ragam. Mengesampingkan perbedaan, perbedaan adalah sunatullah. Sudah hukum alam tidak bisa dicegah dan pasti adanya. Imbasnya tidak ada kreativitas, asal bapak senang, penyelewengan berjamaah. Dan hal semacam ini aman karena aparat bersenjata ada dibelakangnya. Apalagi komando militer sangat kuat. Bila ada yang mencoba berbeda akan tinggal nama saja. Atau paling tidak dianggap paling bersalah.
Seiring dengan bergulirnya reformasi tahun 1998, terjadi perubahan politik pemerintahan. Banyak partai politik yang muncul yang menggelorakan semangat perubahan demokrasi. Rakyat bebas memilih partai dan berekspresi. Bersuara apapun, demonstrasi, main hakim sendiri, penjarahan hutan yang luar biasa, menjadi berita harian di media dan ada disekitar kita. Aparat keamanan seakan tidak berkutik oleh euforia kebebasan masyarakat. Bahkan pers pun bebas bersuara. Ini sangat berbeda di rezim sebelumnya. Karena bila menyinggung penguasa sedikit saja bisa saja dibredel –diberangus- oleh Departemen Penerangan.
Yang memagang pemerintahan pun juga berubah. Bisa partai yang menang dalam pemilu atau koalisi partai yang bisa mengusung presiden sendiri. Misalnya partai yang berkuasa ada gabungan partai Demokrat, PPP, PKS, Golkar, PAN dan PKB. Yang tidak tergabung dalam koalisi di pemerintahan berarti oposisi. Tidak serta merta akan diikuti di level provinsi atau kabupaten/kota. Bisa saja PDIP sendirian yang mengusung gubernur. Atau gabungan partai PPP dan Partai Bulan Bintang. Dari hal ini bisa terlihat bahwa adanya koalisi sangat rapuh tidak berbasis ideologi. Mungkin benar pernyataan pengamat bahwasanya yang menyatukan ideologi adalah kepentingan. Adanya ideologi nasionalis, religius, kerakyatan kenyataannya adalah kepentingan yang berbicara. Kepentingan jangka pendek, meraih kekuasaan, meraih kekayaan, meraih jabatan. Ketika kampanye berjanji bla bla itu hanya menggaet masa. Untuk memilih partainya. Setelah menang dan duduk di singgasanya maka akan lupa. Berusaha akan menyambangi konstituennya lima tahun lagi menjelang kampanye dan pemilihan umum.
Bila melihat kenyataan seperti ini koalisi partai adalah rapuh. Hitung-hitungannya adalah kepentingan. Bila kepentingannya sama maka ikatannya bisa diperpanjang. Namun bila keinginannya tidak dipenuhi maka akan lepas, membuat masalah. Adanya koalisi untuk menjaga kestabilan pemerintahan. Namun juga perlu didukung kestabilan suara di parlemen. Bila tidak stabil maka bisa saja para wakil rakyat akan menyandera anggaran sehingga tidak bisa digunakan. Oleh karena menggunakan “hak budgetting”. Itulah pengalaman gambaran koalisi yang rapuh karena tidak menggunakan ideologi yang kokoh. Bisa saling menjatuhkan dan menyandera. Berdasar seperti itu untuk membangun koalisi harus melihat komitmen untuk menjaga kebersamaan. Dan melihat begitu sulitnya maka perlu dibuat keputusan untuk tidak gampang membentuk koalisi. Wallahu a’lam bi al shawab.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar