Jaman Orde Baru ada yang
namanya monoloyalitas. Semua pegawai negeri tanpa kecuali harus patuh pada
atasannya. Dan harus mencoblos Partai Golkar bila ingin jabatan, kedudukan dan
statusnya sebagai pegawai negeri tidak bergeser atau dipecat. Maka tidak ayal
Partai Golkar menguasai negeri ini mulai dari pemerintahan pusat, provinsi,
kabupaten hingga desa/kelurahan.
Kedudukan presiden luar
biasa. Makanya apa kata pusat akan dilaksanakan hingga lingkup pemerintahan
terkecil. Dan seragam. Ada kekurangan bentuk seperti ini yakni keseragaman
tidak aneka ragam. Mengesampingkan perbedaan, perbedaan adalah sunatullah. Sudah
hukum alam tidak bisa dicegah dan pasti adanya. Imbasnya tidak ada kreativitas,
asal bapak senang, penyelewengan berjamaah. Dan hal semacam ini aman karena
aparat bersenjata ada dibelakangnya. Apalagi komando militer sangat kuat. Bila ada
yang mencoba berbeda akan tinggal nama saja. Atau paling tidak dianggap paling
bersalah.
Seiring dengan
bergulirnya reformasi tahun 1998, terjadi perubahan politik pemerintahan. Banyak
partai politik yang muncul yang menggelorakan semangat perubahan demokrasi. Rakyat
bebas memilih partai dan berekspresi. Bersuara apapun, demonstrasi, main hakim
sendiri, penjarahan hutan yang luar biasa, menjadi berita harian di media dan
ada disekitar kita. Aparat keamanan seakan tidak berkutik oleh euforia
kebebasan masyarakat. Bahkan pers pun bebas bersuara. Ini sangat berbeda di
rezim sebelumnya. Karena bila menyinggung penguasa sedikit saja bisa saja
dibredel –diberangus- oleh Departemen Penerangan.
Yang memagang
pemerintahan pun juga berubah. Bisa partai yang menang dalam pemilu atau
koalisi partai yang bisa mengusung presiden sendiri. Misalnya partai yang
berkuasa ada gabungan partai Demokrat, PPP, PKS, Golkar, PAN dan PKB. Yang tidak
tergabung dalam koalisi di pemerintahan berarti oposisi. Tidak serta merta akan
diikuti di level provinsi atau kabupaten/kota. Bisa saja PDIP sendirian yang
mengusung gubernur. Atau gabungan partai PPP dan Partai Bulan Bintang. Dari hal
ini bisa terlihat bahwa adanya koalisi sangat rapuh tidak berbasis ideologi. Mungkin
benar pernyataan pengamat bahwasanya yang menyatukan ideologi adalah
kepentingan. Adanya ideologi nasionalis, religius, kerakyatan kenyataannya
adalah kepentingan yang berbicara. Kepentingan jangka pendek, meraih kekuasaan,
meraih kekayaan, meraih jabatan. Ketika kampanye berjanji bla bla itu hanya
menggaet masa. Untuk memilih partainya. Setelah menang dan duduk di singgasanya
maka akan lupa. Berusaha akan menyambangi konstituennya lima tahun lagi
menjelang kampanye dan pemilihan umum.
Bila melihat kenyataan
seperti ini koalisi partai adalah rapuh. Hitung-hitungannya adalah kepentingan.
Bila kepentingannya sama maka ikatannya bisa diperpanjang. Namun bila
keinginannya tidak dipenuhi maka akan lepas, membuat masalah. Adanya koalisi
untuk menjaga kestabilan pemerintahan. Namun juga perlu didukung kestabilan
suara di parlemen. Bila tidak stabil maka bisa saja para wakil rakyat akan
menyandera anggaran sehingga tidak bisa digunakan. Oleh karena menggunakan “hak
budgetting”. Itulah pengalaman gambaran koalisi yang rapuh karena tidak
menggunakan ideologi yang kokoh. Bisa saling menjatuhkan dan menyandera. Berdasar
seperti itu untuk membangun koalisi harus melihat komitmen untuk menjaga
kebersamaan. Dan melihat begitu sulitnya maka perlu dibuat keputusan untuk
tidak gampang membentuk koalisi. Wallahu a’lam bi al shawab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar