Bekerja
menjadi identitas seseorang. Begitu juga orang akan dihargai karena bekerja dan
menghasilkan suatu karya. Entah itu berasal dari buah pikiran, dari karya
tangan, bisa juga kekuatan otot, bahkan juga ke ketrampilan. Yang penting
bekerja untuk ibadah, memberi nafkah
keluarga, memakmurkan bumi, dan
digunakan sebagai sarana dakwah.
Niat
bekerja sebagai ibadah terkadang terlupa. Atau tidak dipahami. Padahal niat ini
berpengaruh terhadap hasil atas amal atau aktivitas yang kita lakukan. Sehingga
Kanjeng Nabi dawuh bahwa aktivitas itu tergantung niatnya. Sehingga banyak
aktivitas akhirat namun ternyata menjadi aktivitas dunia. Seperti membantu
orang lain karena niat untuk meraih simpati menjelang pemilu baik pemilukada
atau pilpres atau pil-pil yang lain sekarang ini. Begitu juga kegiatan
keduniaan namun karena ikhlas karena mengharap ridha ilahi maka bisa menjadi amal
akhirat.
Ikhlas ada
di hati. Seseorang beramal atau melakukan sesuatu secara kasat mata tidak dapat diketahui apakah itu ikhlas
atau tidak. Yang mengetahui hanya dirinya dan Tuhan. Berkaitan dengan ikhlas
ada yang menarik. Bagaimana cara memulainya? Cara sederhana yang bisa dilakukan
adalah melakukan sesuatu secara rutin. Walau terkadang masih diselingi riyak
dan ujub. Namun tidak jadi masalah. Terpenting dikerjakan saja. Insyaallah suatu
saat nanti akan juga ikhlas. Terus melakukannya tanpa mengharapkan sesuatu
hanya berharap ridhaNya. Ada seseorang melakukan salat duha. Dan mengetahui
fadhilahnya. Bahwa dengan melakukan salat duha akan diberi kelancaran rizki. Walaupun
mengetahui hal seperti ini berusaha diabaikan saja. Tetap melaksanakan salat
duha karena Allah.
Bekerja
sesuai dengan tupoksi dan memenuhi syarat serta rukunnya maka Allah akan
membuat catatan tersendiri. Ada suatu cerita bahwa ada seorang alim yang
bekerja di birokrasi. Datang tepat waktu begitu juga pulangnya. Tidak
menggunakan fasilitas kantor yang bukan haknya. Fasilitas yang diterima
digunakan hanya untuk bekerja menunjang tugas kantor. Selama jam kantor
digunakan hanya untuk kantor. Dibel keluarga tidak diangkat apalagi orang lain.
Bisa komunikasi di luar jam kantor. Sekarang masih adakah seseorang seperti
ini? Wallahu a’lam.
Ada tiga
kosakata Jawa yang bisa digunakan untuk
referensi dalam bekerja. Sebagaimana ditulis oleh Imam Suprayogo yakni
jeneng, jenang dan jenat. Jeneng berarti nama. Merujuk pada seseorang yang
bekerja dan berhasil. Maka hasil kinerjaanya akan menjadi bintang bersinar bagi
kariernya. Semua orang akan melihat dan mengelu-elukannya. Jabatan yang
dipegangnya akan membawa keberhasilan. Target yang ditetapkan akan terlampaui.
Bawahannya akan sejahtera karena kreatifitasnya. Biasanya orang seperti ini
akan mempunyai karya yang selalu dikenang.
Yang
kedua, jenang. Jenang adalah makanan khas untuk pesta pernikahan. Ini berlaku
di sekitar Nganjuk. Jenang berasal dari beras ketan. Cara pembuatannya lumayan
lama bisa seharian. Orang yang membuat jenang orang khusus yang terlatih.
Jenang identik dengan kekayaan, fasilitas dan kenikmatan hidup. Untuk mendapatkan
jenang ini bisa saja seseorang melakukan apa saja. Sikut kanan kiri, kasak
kusuk, memfitnah, bertengkar dengan teman. Secara manusiawi siapa yang tidak
mengharap kekayaan berlimpah. Hanya saja bagaimana cara memperolehnya. Ada seseorang
setelah menduduki jabatannya yang terhormat lalu menggunakan jabatannya untuk
mengumpulkan pundi-pundi kekayaan. Bahkan bisa mencapai 165 M. Namun betapapun
sudah dicuci dengan berbagai bisnis tercium juga pihak aparat. Akhirnya diadili.
Kekayaan yang sebegitu besar dengan cara pat gulipat akhirnya hilang musnah. Dalam
hati terdalam apakah kekayaan akan dibawa ke liang kubur. Belum lagi ada
pertanyaan bagaimana cara mendapatkan dan sudah dikemanakan harta-hartanya. Sudah
siapkah kita mempertanggungjawabkan?
Ketiga, jenat. Jenat berarti
sudah meninggal, almarhum. Dalam kosakata bahasa ada tulisan bila harimau
meninggalkan gading, bila harimau mati meninggalkan belang. Terus manusia meninggal
meninggalkan nama. Tinggal nama baik atau buruk. Tinggal pilih. Beberapa waktu
terakhir kita kehilangan sosok panutan. Telah meninggal Dr. KH. Sahal PBNUMahfudz,
Rais Aam PBNU dan Ketua Umum MUI Pusat. Serta
beberapa kiai yang lail. Diantaranya pengasuh Pesantren Krapyak, Pesantren Annuqayah
Guluk-Guluk Sumenep dan lainnya. Beliau-beliau meninggalkan karya tulis dan didikan
santri yang banyak. Amal beliau akan senantiasa dikenang. Salah satu penghormatan
adalah begitu melimpahnya yang mensolati dan mengantar keperistirahatan
terakhir. Belum lagi yang lainnya. Semoga kita bisa mengambil pelajaran terbaik
dan mampu melaksanakannya. Wallahu a’lam bi al shawab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar