Jumat, 21 Februari 2014

Berislam Dengan Tukang Becak

Suatu sore saya mengantar isteri belanja di Kertosono. Sambil menunggu belanja selesai saya iseng mengajak ngobrol dengan tukang becak yang parkir di depan toko. Ternyata rumah bapak ini masih tetangga desa.
Saya senang mendengar apa saja yang disampaikan. Dengan hasil seharian yang didapat  dapat menghidupi anak isteri. Ternyata anaknya ada empat. Sudah sekolah semua. Terus masih menghidupi satu anak yatim yang menjadi tanggungannya. Sebenarnya cucunya sendiri. Anak menantunya meninggal di usia muda. Jadilah beliau menghidupi kesemuanya. Alhamdulillah cukup. Cukup memang relative. Namun setidaknya menurut bapak ini masih dalam jangkauan. Ada nada optimis bahwa hidup harus dihadapi. Tidak lari dari kenyataan. Betapapun pahit rasanya. Namun bagaimanapun hidup harus terus dilalui. Harus dan harus. Tidak boleh mengeluh. Bukankah hidup di dunia ini ladang untuk mereguk kehidupan akhirat?
Yang saya salut dan terus terekam dalam memori adalah seorang tukang becak bias dan mampu menghidupi anak isterinya. Dan dengan lapang dada dan penuh kesabaran juga bersedia mengasuh anak yatim. Ini suatu perbuatan yang jarang dilakukan orang. Bahkan orang kaya sekalipun. Ternyata Allah Maha Pemurah. Member rizki bagi semua hambanya. Dan memang semuanya diberi rizki sesuai kapasitasnya masing-masing. Wallahu a’lam bi al shawab.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar