Sabtu, 06 April 2013

Sederhana


Sederhana bermakna tidak neko-neko, tidak aneh, biasa-biasa. Dalam kehidupan terkadang kita disibukkan dengan perkara yang menyulitkan, mbulet dan bertele-tele, tidak cepat menyelesaikan masalah. Perasaan seperti ini biasanya ditemui bila mengurus administrasi di instansi public. Misalnya di kantor pemerintah, mengurus SIM, SKCK, membayar pajak. Masyarakat yang akan mengurus surat harus melewati beberapa meja. Dan setiap meja dibutuhkan satu amplop. Bila ada beberapa meja tinggal mengalikan saja. Sehingga terasa ribet untuk mendapatkan satu surat saja. Dalam pikiran para pemangku kepentingan mungkin berprinsip selagi masih dipersulit mengapa dipermudah. Dan perilaku seperti ini berlangsung lama dan massif.
Padahal di luar sana, ada keinginan kuat untuk merubah hal itu semua. Segala sesuatu dibuat mudah agar terjadi efisiensi. Bukankah para pemangku kepentingan juga sebelum menjalani tugasnya sudah diberi inservis training/diklat prajabatan agar bisa memberi pelayanan prima kepada pelanggan. Namun entah mengapa perilaku ini tidak bisa dirubah. Jangan-jangan oleh karena system yang sudah terbentuk sehingga merubahnya butuh energy dan kemauan kuat.
Gambaran di atas akan menunjukkan bahwa birokrasi bergerak lambat, tanpa ada inovasi, kreativitas, yang penting aman, tidak membuat kesalahan, menunggu juklak juknis dari atasan. Maka terjadilah kemandegan berpikir pegawai dan statis. Tidak ada perubahan berarti dalam organisasi. Akibat yang dirasakan tidak ada kegairahan bekerja, bekerja asal sesuai tupoksi. Tidak ada visi jelas sehingga bekerja tidak mempunyai orientasi, pemimpin dibayang-bayangi pemimpin lama.
Akibat yang diterima kepercayaan pihak yang berhubungan menjadi menurun. Turunannya pendapatan menurun. Seterusnya bisa saja organisasi akan gulung tikar sehingga menimbulkan PHK.
Dalam dunia pendidikan kita pernah mendengar ada sekolah dasar yang dimerger/digabung/ditutup. Hal ini bisa saja terjadi karena berhasilnya program pemerintah yakni Keluarga Berencana. Yang menganjurkan setiap keluarga hanya mempunyai dua anak. Dalam system kependudukan berarti adanya anak dua sebagai pengganti bapak ibunya. Jadi tidak ada pertumbuhan yang signifikan. Karena kurang siswa sehingga ditutup.
Namun ada fenomena lain karena ada sekolah lain yang berdiri di dekat SD tersebut. Misalnya madrasah swasta. Mengapa madrasah swasta yang dikelola oleh masyarakat dan juga segalanya diurus oleh masyarakat hingga gaji, sarana prasarana kok bisa eksis dan mengalahkan SD negeri yang disubsidi Negara?
Jawaban sederhananya adalah bertindak sederhana. Para pemangku madrasah swasta berfikir sederhana bagaimana agar madrasahnya bisa bertahan. Maka dibuatlah tindakan sederhana dan mempunyai orientasi jelas apa yang hendak dituju. Program dibuat sederhana, bisa dilakukan oleh guru dan karyawan, hal-hal yang membuat ribet disederhanakan, terus mengasah kreativitas. Bila kepercayaan dari masyarakat sudah tumbuh maka akan mudah untuk menarik dana dari masyarakat. Berapapun dana itu diminta? Bila orang tua sudah puas atas pelayanan jasa pendidikan yang diberikan oleh madrasah maka otomatis dukungan dari masyarakat akan mengalir.
Bagaimana menurut anda? Wallahu a’lam bi al shawab. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar