Senin, 04 Maret 2013

STMJ


Bila anda jalan-jalan di wilayah sekitar pasar atau pertokoan suatu kota maka akan ada tulisan di pinggir jalan milik para pedagang kaki lima. Yah, ada istilah yang terpasang di situ STMJ. Masyarakat sudah familiar mendengar kata-kata itu. STMJ merupakan kependekan dari susu telur madu jahe. Sudah hal yang lumrah karena banyak warga yang membutuhkannya, banyak yang memerlukannya dan sekaligus yang mengkonsumsinya. Kebanyakan yang antri membeli memang kaum laki-laki. Dan memang minuman jenis ini cocok untuk golongan Adam. Walaupun tidak menutup kemungkinan kaum Hawa untuk menikmatinya juga.
STMJ menurut konsumennya berguna untuk memulihkan tenaga setelah berhari-hari bekerja. Dengan rutin meminum jenis ini diyakini bisa memulihkan tenaga yang sudah tercurah. Sehingga bisa dengan keadaan fresh keesokan harinya. Maka tidak ayal PKL STMJ menjamur diberbagai tempat. Bahkan bisa saja di suatu wilayah ada tiga empat tempat sekaligus. Sehingga konsumen bebas memilih mana yang akan dituju. Namun biasanya sudah fanatic. Bila sudah di satu tempat tidak akan beralih ketempat lain. Hal ini bisa saja dipengaruhi oleh khasiat, lokasi, pelayanan, juga harga. Bila harga agak tinggi namun ada pengaruh bila dikonsumsi maka harga tidak terlalu masalah. Beda harga sudah selangit namun hambar dalam penyajian apalagi kemanjurannya. Maka sekarang ini masyarakat sudah sangat pandai untuk menilai suatu produk. Apakah bernas atau bukan. Memang seharusnya seperti itu. Agar produsen berhati-hati dengan hasil produknya.
Ada akronim lain menganai STMJ yakni sholat terus maksiat jalan. Ya, seseorang sudah melaksanakan sholat dengan baik dan tepat waktu namun di sisi kehidupan yang lain juga masih melakukan maksiat. Ingin sholat ya sholat bila ada keinginan untuk maksiat ya maksiat aja. Gitu aja kok repot. Mungkin sepeti inilah gambaran di hati. Memang maksiat berkaitan dengan seluruh anggota tubuh kita. Karena nanti yang dimintai pertanggungjawaban di Negara akhirat ya anggota tubuh. Mulut dikunci karena bisa bersilat lidah, sudah kurang bisa dipercaya lagi. Maka kaki, tangan, hidung, telinga, mata, dan yang lain akan ditanya perbuatannya di dunia. Pelaksana dari maksiat juga anggota tubuh ini.
Disetiap waktu dan tempat ada peluang untuk maksiat kepada Allah bahkan di masjid sekalipun. Tinggal bagaimana bisa mengendalikan diri atau tidak. Berkaitan dengan ini maka ilmu berperanan penting. Bisa saja perbuatan yang kelihatan duniawi oleh karena mempunyai ilmu dan dilaksanakan maka bisa jadi menjadi perbuatan surgawi yang mendatangkan pahala. Misalnya menyingkirkan batu di jalan. Oleh karena batu sudah menjauh dari jalan maka pemakai jalan terhindar dari jatuh bahkan kecelakaan akibat terantuk batu. Maka dengan perbuatan sederhana sudah bisa menyelamatkan jiwa seseorang. Begitu juga sebaliknya kelihatan akan perbuatan akhirat namun ternyata tidak ada hasilnya. Contoh tentang hal ini melakukan pengeboman di tempat umum yang berakibat jatuhnya korban. Niat awal ketika dicuci otak adalah jihat fi sabilillah. Setelah melaksanakan target yang ditentukan lalu bunuh diri. Ini katanya jihat. Bila dilihat dari perspektif social saja ini sudah mengganggu ketentraman umum belum lagi dari sisi kemanusiaan banyak korban yang tidak berdosa harus menanggung akibatnya. Hal tersebut bukan jihat namun perbuatan teroris. Agama tidak menyuruh membuat kerusakan di muka bumi apalagi membahayakan nyawa orang lain. Bukankah ajaran Islam mengajarkan menyebarkan rahmat bagi seluruh alam. Salam, berardi doa. Mendoakan saudara kita agar diberi kasih sayang dan keberkahan. Bukan malah menjadi korban kebiadaban. Makna jihat yang salah kaprah.
Sabar dan STMJ ada kaitannya. Sabar secara sederhana bermakna menahan diri. Menahan dari sesuatu yang disenangi. Bukan dilampiaskan dengan semaksimal mungkin dalam menjalani kehidupan. Namun menjalani hidup dengan tingkat kepantasan untuk menjalani perintah. Allah SWT menyuruh orang beriman untuk bersabar. Mengapa kok tidak seluruh manusia. Pengertiannya oleh karena yang bisa melakukan sifat sabar hanya orang beriman saja.
Ada sedikit salah persepsi. Seseorang yang menggerutu di dalam hati. Saya sudah sholat, sudah zakat, sudah puasa, sudah haji, sudah bersedekah banyak. Mengapa saya kok ditipu orang hingga ratusan juta rupiah. Lalu suudzan kepada Allah, menganggap Tuhan tidak berbuat adil. Menjawab hal semacam ini adalah sebenarnya cobaan, ujian berlaku bagi semua orang. Orang beriman dan tidak beriman sama-sama diberi cobaan dan ujian. Tinggal bagaimana keduanya menyikapi keadaan tersebut. Orang beriman diuji dengan beragama masalah kehidupan. Bila bisa lulus dari ujian ini maka akan diangkat derajatnya lebih tinggi. Begitu juga bisa menjadi pengingat akan kesalahan perbuatannya. Bila sudah sadar agar kembali ke rel semula.
Bagi orang yang tidak beriman segala cobaan akan disikapi dengan menggerutu, suudzan bahkan putus asa. Hal inilah yang membedakan sikap antara orang yang beriman dan orang yang tidak beriman.
Sabar dibagi menjadi tiga. Yakni sabar dalam ketaatan. Sholat dalam diri seseorang berbeda-beda. Sudah tekun sholat dimanapun dan kapanpun. Walau dalam perjalanan jauh yang melelahkan namun bila waktu sholat ya sholat. Dalam cuaca yang dingin dan badan sangat letih namun bila waktunya sholat subuh sudah tiba maka semua hal yang merintangi dihilangkan, dihadapi dipaksa diri untuk tetap sholat.
Hal lain, puasa bagi sebagian orang adalah hal yang sia-sia. Mengapa harus menanggung rasa lapar dan haus yang berkepanjangan. Sedangkan makan yang lezat dan minuman yang mengenakkan ada di depan mata dengan gratis. Namun oleh karena rasa taat atas perintah Tuhan semua hal itu dihadapi. Dipaksa diri ini untuk tetap berpuasa. Satu dua hari hingga sepekan mungkin masih seperti ini namun bila sudah lulus berpuasa sepekan maka selanjutnya akan lebih mudah.
Zakat juga seperti itu. Berat sekali untuk memulainya. Mengapa harta yang berasal dari jerih payah membanting tulang harus diberikan kepada orang lain? Bagi petani juga begitu. Memulai bertani dengan mengeluarkan biaya yang banyak begitu juga sehingga harus dikerjakan orang lain. Belum lagi biaya irigasi yang digunakan untuk membeli bahan bakar minyak. Pastilah dana yang dikeluarkan banyak. Tidak panen lagi. Maka bila harus dikeluarkan zakatnya terasa berat tidak rela. Belum lagi harus membayar pajak. Terasa ada beban dalam melaksanakannya. Namun karena perintah maka mau tidak mau juga harus dibayarkan yang namanya zakat. Dari beberapa rukun Islam, rukun zakat belum begitu berhasil pelaksanaannya. Beda dengan sholat, haji. Sholat setiap hari para pemimpin agama dan tokoh melaksanakannya. Sehingga ada uswah. Begitu juga haji. Namun zakat belum begitu familier di telinga umat padahal potensinya luar biasa. Jangan-jangan oleh karena uswahnya ini yang belum booming. Promosi dan hikmahnya yang belum menyebar. Maka contoh nyata perlu dikembangkan sebagai usaha promosi zakat ini.
Dan potensi zakat tidak hanya dari hasil pertanian saja. Namun dari pegawai negeri, wiraswasta ada yang namanya zakat profesi. Dari hasil perdagangan, peternakan juga ada zakatnya. Maka oleh karena taat maka sabar walau dengan dipaksa tetap mau membayar zakat.
Kedua, sabar menghadapi musibah. Musibah bisa dialami oleh siapapun. Sakit, kecelakaan, kematian, kehilangan harta, ditipu orang, bangkrut dari usaha, banyak hutang dan sebagainya. Masalah tentu saja harus ditangani diselesaikan. Dalam diri seseorang tidak sama dalam mengatasinya. Ada yang bisa cepat, pelan namun pasti dan ada yang tidak menemukan solusi. Namun yang jelas harus segera diatasi. Meminjam istilah para manager top, tidak ada sesuatu yang tidak bisa diselesaikan. Semua problem bisa diatasi dengan menejemen. Demikian yang biasa disampaikan oleh Tanry Abeng.
Untuk mencari solusi bisa berasal dari diri sendiri, keluarga, kiai, atau dari kolega, teman atau orang yang bisa kita percaya. Atau kolaborasi dari semuanya. Bukankah banyak relasi, teman akan bisa menjadi inspirasi solusi. Dalam menghadapi musibah memang perlu husunudzan kepada Allah. Pastilah ada hikmah di balik ini semua. Dan terus menjaga spirit untuk segera menyelesaikannya.
Ketiga, Sabar menghindari maksiat. Nabi Yusuf, adalah nabi yang paling rupawan. Hingga tuannya tertarik akan ketampanan Nabi Yusuf. Peluang (waktu dan kesempatan) ada untuk berbuat maksiat. Namun karena takutnya kepada Allah maka hal itu semua dihindari. Buktinya yang sobek adalah baju bagian belakang. Ini bukti nyata bahwa pihak perempuanlah yang menggoda.
Sholat terus maksiat jalan ternyata kurang pas dengan konsep sabar. Sholat bagian dari kesabaran dalam melaksanakan ketaatan perintah agama. Sedangkan maksiat harus dihindari sebagai bentuk kesabaran juga. Maka bila kesabaran ini sudah bisa dilakukan maka akan lebih bisa mendekatkan diri kepada Allah. Bukankah manusia dan jin diciptakan untuk beribadah. Wallahu a’lam bi al shawab.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar