Alhamdulillah, dalam kehidupan kita sering berkumpul. Berkumpul tidak
saja hanya berkumpul namun tentu saja ada maksudnya. Bisa berdzikir,
bersholawat, membaca yasin, membaca tahlil, membaca manakib. Semoga saja apa
yang kita lakukan mendapat ridha dan berkah dari Allah. Menjadi majelis yang
mubarak, berkah. Majelis bias dikatakan barokah bila di dalamnya
ada dzikir, bacaan ayat-ayat al-Qur’an, sholawat dan sejenisnya. Maka bila ada
majelis dzikir maka ada malaikat yang turun untuk turut serta pada mejelis itu.
Demikian menurut keterangan yang ada. Makanya majelis seperti ini patut terus
untuk di uri-uri dijaga agar tetap lestari. Jamaahnya akan memperoleh
ketenangan hidup, tuan rumahnya akan mendapat berkah. Akhirnya semuanya akan
mendapatkan keberkahan hidup. Amin.
Kita sebagai
Nahdliyyin. Patut bangga dengan aktivitas rutin ini. Ada namanya dzibaan,
barzanzi, khataman qur’an, manakiban, tahlilan, istighasah, lailatul ijtima’,
dalailan, nariyahan, khususiahan, dan sejenisnya. Itu menandakan NU banget. Dan
itu semua ada dalil dan ajaran yang jelas. Makanya para ulama kiai turut
melestarikan hal itu. Banyak hikmat yang didapat. Dan akhirnya kita dalam
menjalankan kehidupan ini bias merasakan dan meresapi kebahagiaan.
Hadith yang biasa kita dengar
berkaitan dengan amal sholeh adalah idza matabnu adama inqathaa amalahu illa
min tsalasin. Shadaqatin jariyatin au ilmin yantafaau bihi au waladin sholihin
yad’u lahu. Bahwasanya amal anak Adam akan terputus bila sudah meninggal.
Kecuali tiga perkara. Pertama sadaqah jariyah. Kedua. Ilmu yang bermanfaat dan
yang ketiga anak sholeh yang mendoakan kedua orang tua.
Disini saya akan mencoba
menguraikan yang ketiga, anak sholeh. Beberapa waktu yang lalu kita dikejutkan
dengan berita adanya tawuran pelajar. Ada siswa dua sekolah yang berkelahi
tepatnya Siswa SMA Negeri di Jakarta. Dan ada korban jiwa. Ternyata tidak hanya
di Jakarta saja. Ada di daerah lain yang mengalami kejadian serupa. Dilihat
dari segi ekonomi keluarga. Lumayan mapan. Karena bias sekolah di sekolah
favorit di Jakarta tentunya dari kalangan menengah ke atas.
Salah seorang psikolog memberi
komentar bahwa pelajar sekarang terkena penyakit “lapar ayah”. Ada kegersangan
figure ayah dikalangan pelajar. Dari segi kebutuhan fisik semuanya tercukupi.
Mulai kebutuhan sandang, pangan, papan, uang sekolah dan jajan sudah ada bahkan
lebih dari cukup. Namun ternyata hal itu tidak cukup. Perhatian dan jalinan
komunikasi antara ayah dan anak yang jarang terjadi. Komunikasinya tidak
berkualitas. Karena didera waktu untuk bekerja. Apalagi di ibukota hidup harus
bekerja keras untuk mencukupi kebutuhan. Dari masalah inilah terjadi
kesenjangan. Orang tua sibuk dengan dunianya sendiri. Anak juga berfantasi
dengan dunia anak ibukota.
Jadi orang tua berjalan ke
selatan anak berjalan ke utara. Tidak bertemu dan tidak saling bersinggungan.
Perhatian orang tua tidak ada. Siapa teman anaknya, aktivitas apa yang
dilakukan tidak tahu. Anak dianggap sudah paham dengan dunianya. Padahal masih
banyak yang belum dipahami oleh anak. Maka tidak ayal tawuran, minuman keras, free
sex, narkoba menjadi konsumsi setiap hari. Tahu-tahu anak sudah jauh dari jalurnynya. Orang tua baru sadar dan menyesal. Namun
nasi sudah menjadi bubur. Maka memang dalam proses kembang anak orang tualah
penentu kesuksesan. Karenanya pendidikan diserahkan hanya kepada sekolah maka
tidak akan sempurna. Hanya berapa jam sehari, anak berinteraksi di sekolah
sisanya ada di rumah. Berarti yang banyak mendidik memang orang tua.
Tugas orang tua dalam mendidik
buah hatinya agar menjadi anak yang soleh sesuai dengan harapan orang tua
diantaranya adalah:
Pertama, mengenalkan cinta kitab
suci. Al-Qur’an sebagai wahyu dan firman Allah berisi petunjuk kepada manusia
dalam mengarungi kehidupan. Sebagai pegangan di tengah masalah yang senantiasa
menghimpit. Selain itu sebagai syifa’, obat dari penyakit yang diderita di
dunia. Hati gundah gulana bila membaca ayat-ayat suci maka akan berkurang dan
hilang sumpeknya. Maka al-Qur’an sebagai penolong dalam kehidupan manusia.
Pada tahap awal, anak harus
dikenalkan dengan wahyu Ilahi. Bagaimana bias memahami makna dan maksud
al-Qur’an kalau tidak bias membacanya. Maka sangat perlu dan wajib anak bebas
dari buta huruf al-Qur’an. Bila sudah dimulai dari sedari kecil misalnya pada
usia 4-5 tahun maka diperkirakan bila masuk Taman Pendidikan Al-Qur’an sudah
khatam di usia 10 tahun. Bila orang tua ada udzur untuk mengajari
putra-putrinya belajar mengaji maka bias dimasukkan ke TPQ. Apalagi di desa
kita sudah ada. Menunggu apalagi. Jika sudah khatam bukan berarti sudah
selesai. Ini masih tahap permulaan. Tahap selanjutnya adalah mengerti tujuan
diturunkannya al-Qur’an. Diantaranya dengan mengaji tafsir al-Qur’an di pondok
pesantren dan di madrasah diniyah. Maka adanya madrasah diniyah dimaksudkan
sebagai pendidikan lanjutan TPQ.
Bila tidak ingin jauh-jauh
mengaji tafsir, di masjid Baitul Atqiya’ Pisang ada pengajian Tafsir Al-Qur’an
yang diasuh oleh Kiai Drs. Imam Masyhadi. Alumni Perguruan
Tinggi Ilmu Al-Qur’an Jakarta dan Pondok
Pesantren Tegalrejo Prambon. Dua kali dalam selapan hari. Tepatnya malam
Senin Pon dan malam Senin Kliwon dimulai pukul 19.30 WIB.
Dulu orang-orang tua kita
membiasakan diri tadarus al-Qur’an setelah habis sholat magrib di rumah masing-masing.
Oleh karena orang tua mengaji maka anak-anaknya akan ikut mengaji. Alangkah
bahagianya bila seisi rumah mengaji al-Qur’an bersama-sama. Mendapat pahala, di
rumah akan mendapat keberkahan dan kemuliaan. Anak-anaknyapun insyaAllah akan
menjadi anak sholeh sholihah yang berprestasi. Hal ini perlu dilestarikan.
Kedua, Cinta Nabi. Nabi adalah
pembawa risalah Ilahi. Selanjutnya dilsampaikan
kepada umatnya. Lalu sampailah ajaran Islam ini kepada kita. Dalam sejarah
telah disebutkan tarikh kehidupan Nabi. Semuanya bias dijadikan suri tauladan. Perkataan, perbuatan dan taqrir, penetapan nabi bisa
dijadikan dasar hukum, pijakan kehidupan. Sehingga Kanjeng Nabi dijuluki
al-Qur’an berjalan karena Nabi melaksanakan isi al-Qur’an dalam kehidupan
sehari-hari.
Bila
orang lain mengidolakan artis karena ketenaran dan gaya hidupnya. Padahal belum
tentu yang diidolakan belum tentu terbaik dalam kehidupan. Bahkan tidak mungkin
memberi teladan yang kurang baik. Terkadang saya tidak habis berfikir. Ada
artis yang tersandung kasus asusila kemudian diadili lalu masuk hotel prodeo.
Setelah keluar dan kampanye lagu yang luar biasa sekarang menjadi idola. Ada
apa di negeri ini? Karena terlihat tidak ada ekspresi penyesalan atas perbuatannya. Bukan berarti
memboikot hanya saja perlu selektif dalam mencari panutan kehidupan. Harus bisa
menempatkan tontonan menjadi tontonan. Bukan menjadikan tontonan menjadi
tuntunan. Akan terbalik kehidupan ini .
Lalu langkah yang bisa dilakukan dalam
meneladani Kanjeng Nabi tentu saja mengerti sejarah kehidupan Nabi. Mulai dari
siapa orang tuanya, keluarganya, masa kecil hingga dakwah Nabi baik di Mekkah
dan Madinah. dari sini akan bisa diambil hikmah lalu dipraktekkan dalam
kehidupan. Oleh karena berasal dari sumber Nabi insyaAllah akan memberikan
dampak nyata dalam kehidupan.
Sekarang
bulan Maulid, Rabiul Awal. Waktunya kita mengekspresikan cinta kepada Nabi.
Dengan banyak membaca sholawat, meneladani perilaku dan dipraktekkan dalam
kehidupan. Memperingati maulid Nabi bukan bid’ah. Bukan dilarang malah sangat
dianjurkan. Karena berarti nguri-nguri sejarah. Agar kita tidak lupa dengan
sejarah masa lalu. Bila ada orang yang berkata bahwa tidak ada tuntunan
mengenai peringatan maulid nabi berarti orang tersebut masih dangkal pemahaman
agamanya.Orang demikian masih perlu mendalami ilmu agamanya di pondok
pesantren.
Suatu
ketika orang Yahudi memperingati terbebasnya Nabi Musa dari kejaran Fir’aun
lalu mengerjaka puasa asyura. Melihat seperti ini Kanjeng Nabi dawut bahwa Umat Muhammad lebih berhak
memperingatinya. Maka ada anjuran melaksanakan puasa tasu’a dan asyura. Jadi peringatan maulid nabi sangat perlu
kita lakukan.
Selanjutnya
adalah cinta ulama. Ulama adalah pewaris para nabi. Al-ulamau
warasatul ambiya’. Nabi sudah wafat. Yang meneruskan dakwah nabi adalah ulama.
Ulama adalah orang yang mengerti ilmu agama. Tidak saja sekedar mengerti namun
dalam ilmunya. Kepada beliau-beliau kita berguru ilmu agama. Mengharap petuah,
nasehat dan pencerahan kehidupan sehingga bisa sebagai pegangan dalam
kehidupan. Dianjurkan untuk selalu dekat dengan ulama. Maksudnya senang
bersilaturahim dengannya, satu majelis dengan ulama. Bila dalam tradisi pondok
pesantren dalam menjaga hubungan antara kiai dengan santri diantaranya
membacakan surat al-fatihah kepada beliau sebagai wasilah keilmuan.
Diantara ulama dalam kehidupan
adalah guru-guru yang mengajarkan kebaikan kepada kita. Kita ambil hikmah yang
beliau sampaikan. Kita ajari juga anak-anak dengan bersilaturahim dengan ulama
agar pembiasaan ini bisa terus berlanjut hingga ia dewasa.
Dengan uraian di atas semoga bisa
menjadi kita dalam mendidik anak-anak kita. Untuk menyiapkan generasi masa
depan menjadi generasi sholih sholihah. Amin. Wallahu a’lam bi al shawab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar