Menulis bagi sebagian orang adalah hal yang menjemukan, sulit dan
tidak ada gunanya. Hal semacam ini tidak hanya orang biasa bahkan orang yang
bergelut dibidang akademikpun bisa seperti ini. Contoh mudah saja di sekolah.
Dari sekian puluh guru bahkan di sekolah negeri, yang bisa menulis teratur bisa
dihitung dengan jari tangan. Ya, jarin tangan yang berjumlah 10.
Dari sekian guru yang ada tak jarang bahkan telah menyelesaikan
studi masternya. Lha, mengenai hal ini lalu bagaimana padahal menulis
seharusnya menjadi tuntutan dari sikap profesioanal sebagai seorang pendidik?
Alasan memang beragam. Mulai dari tidak ada waktu, tidak punya
bakat, tidak ada sarana, menulis tidak penting dalam karir karena yang
menentukan adalah pendekatan (katanya). Sehingga semakin jauh sosok guru untuk
bisa menuangkan ide-ide yang beragam tiap hari untuk ditulis. Memang kayaknya
sederhana misalnya pengalaman atau permasalahan dikelas sebenarnya bisa saja
dijadikan sumber tulisan. Namun lagi-lagi tidak ditulis. Apa mungkin karena
malas, ah mungkin tidak. Terlalu tinggi bahasanya bila guru dikatakan malas
untuk menulis. Mungkin yang lebih pas adalah belum terbiasa menulis. Tapi
jangan-jangan oleh karena dulunya ketika kuliah tidak terbiasa menulis. Mungkin
ini juga masalahnya. Kurikulum belum menyentuh aspek kebiasaan untuk menulis.
Memang menulis belum menjadi kewajiban sejak dulu. Hal ini saya alami sendiri
ketika sekolah hingga menempuh pendidikan hingga sekarang. Yang ada hanya
kesadaran dari diri pribadi saja.
Permasalahan karena tidak terbiasa menulis menjadi diagnose awal. Oleh
karena itu ada kegiatan yang saya lakukan ketika mengajar di kelas. Siswa saya
beri tugas untuk menulis jurnal pelajaran. Ya, sekitar setengah halaman kertas.
Apa yang diajarkan selama dua jam di kelas di tulis yang diingat. Bias berasal
dari peta konsep yang saya tulis di depan lalu dijabarkan atau dari pertanyaan
dan umpan balik yang diberikan oleh siswa. Atau juga ungkapan rasa kesal,
ngantuk, tidak mood ketika kegiatan belajar mengajar.
Dari sekian eksperimen dilakukan ada hal yang menggembirakan. Siswa
yang rajin dan tanggap atas tugas yang diberikan belajar menulis. Dan tulisannyapun
lumayan bagus. Bagus untuk seukuran siswa. Walau bahasanya campuran terkadang
juga dicampur antara bahasa Indonesia dan bahasa jawa plus bahasa gaul namun
cukup membesarkan hati yang mengajar. Saya sampaikan menulis semudah menulis
sms. Semudah menulis diary. Jadi enjoy saja. Jangan takut salah, jelek,
menjemukan. Takut dicemooh oleh teman, takut dianggap bloon karena tulisannya
sederhana. Saya anggap hal itu hanya belenggu semata. Dan bila ingin berubah,
bila ingin sukses mau gak mau harus menghilangkan belenggu tadi.
Bahkan agak ekstrem saya memberi motivasi bila sulit untuk menulis
balasan sms dari teman agar ditulis saja agar isi tulisannya banyak. Atau juga
tulisannya dibuat besar-besar ukurannya. Bila hal ini dikerjakan maka akan
cepat penuh tulisan sehalaman.
Syukur, Alhamdulillah. Dari sekian siswa ada yang bias menulis tiga
halaman sekali menulis. Isinya tidak hanya melulu pelajaran. Tapi juga pengalaman
dan aktivitas sehari-hari. Menurut saya hal ini tidak menjadi persoalan. Karena
target saya adalah membiasakan siswa untuk menulis setiap hari. Syukur-syukur bias
digunakan untuk karya. Ya,karyanya kelak. Bila ini terus menerus dibiasakan
hingga ia menjalani kuliah maka tak ayal lagi bias jadi ia menjadi penulis professional.
Ini adalah harapan.
Santri menulis masih samar-samar terdengar. Namun ada juga . dan
saya senang bila ada santri yang gemar menulis dan mempunyai karya yang
monumental. Sebenarnya para kiai kita sudah memberi contoh dan keteladanan
betapa menulis dan mempunyai karya bias lebih abadi. Bahkan menjadi jariyah
bagi penulisnya walau beliaunya sudah wafat. Sebagaimana Imam Ghozali menulis
Ihya’ ulumuddin, begitu juga Imam Syafi’I karyanya yang termasuk qaul qadim dan
qaul jaded. Yang masih dijadikan rujukan hokum hingga sekarang. Belum lagi kiai
dari daerah sekitar. Ada Syeh Ihsan Jampes Kediri, lalu Syeh Mahfudz Termas
Pacitan, Syeh Nawawi Banten lalu Kiai Bisri Mustofa karya-karya beliau masih di
baca hingga sekrang. Suatu karya yang luar biasa.
Melihat sudah diberi contoh seperti itu seyogyanya kita berusaha
meniru beliau-beliau. Walau mungkin hanya goresan satu halaman atau juga
setengah halaman tiap hari. Semoga semua itu ada manfaatnya kelak.
Meningkat pada tingkatan mahasiswa kemampuan menulis sederhana juga
masih saya rasakan masih rendah. Untuk memancing mereka saya juga memberi tugas
menulis jurnal kuliah minimal satu halaman. Lalu diposting di blog
masing-masing. Setelah satu tahap ini dilakukan walau sederhana ada hasil. Mahasiswa
dengan sendirinya belajar menulis walau terkadang yang diposting adalah makalah
presentasinya sendiri. Namun saya lihat ini ada kemajuan. Mahasiswa belajar
membuat blog, belajar menulis atau mengetik dan lebih melek dengan dunia maya. Waktu
penilaian saya ambil dari seberapa banyak tulisan yang diposting di blog
masing-masing.
Ini ikhtiar sederhana sebagai usaha untuk membiasakan siswa madrasah
untuk belajar menulis. Menjadikan menulis bagian dari hidup apapun nanti
profesinya kelak. Karena tulisan ada manfaatnya. Bias juga digunakan untuk
menumpahkan isi hati biar plong. Ternyata juga bias sebagai obat dari sakit. Seperti
ini dilakukan oleh Dahlan Iskan. Ketika operasi cangkok hati malah menulis
kronologisnya ia dioperasi. Malah dapat hasil. Bias share pengalamannya, bias dijadikan
buku dan lain sebagainya. Begitu juga pengalaman BJ Habibi. Karena masih trauma
ditinggal Bu Ainun maka terapi yang dianjurkan para koleganya adalah menulis. Jadilah
buku Habibi dan Ainun dan bahkan diangkat menjadi film layar lebar. Wallahu a’lam
bi al shawab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar