Selasa, 18 Desember 2012

Belajar Menulis


Menulis bagi sebagian orang adalah hal yang menjemukan, sulit dan tidak ada gunanya. Hal semacam ini tidak hanya orang biasa bahkan orang yang bergelut dibidang akademikpun bisa seperti ini. Contoh mudah saja di sekolah. Dari sekian puluh guru bahkan di sekolah negeri, yang bisa menulis teratur bisa dihitung dengan jari tangan. Ya, jarin tangan yang berjumlah 10.
Dari sekian guru yang ada tak jarang bahkan telah menyelesaikan studi masternya. Lha, mengenai hal ini lalu bagaimana padahal menulis seharusnya menjadi tuntutan dari sikap profesioanal sebagai seorang pendidik?
Alasan memang beragam. Mulai dari tidak ada waktu, tidak punya bakat, tidak ada sarana, menulis tidak penting dalam karir karena yang menentukan adalah pendekatan (katanya). Sehingga semakin jauh sosok guru untuk bisa menuangkan ide-ide yang beragam tiap hari untuk ditulis. Memang kayaknya sederhana misalnya pengalaman atau permasalahan dikelas sebenarnya bisa saja dijadikan sumber tulisan. Namun lagi-lagi tidak ditulis. Apa mungkin karena malas, ah mungkin tidak. Terlalu tinggi bahasanya bila guru dikatakan malas untuk menulis. Mungkin yang lebih pas adalah belum terbiasa menulis. Tapi jangan-jangan oleh karena dulunya ketika kuliah tidak terbiasa menulis. Mungkin ini juga masalahnya. Kurikulum belum menyentuh aspek kebiasaan untuk menulis. Memang menulis belum menjadi kewajiban sejak dulu. Hal ini saya alami sendiri ketika sekolah hingga menempuh pendidikan hingga sekarang. Yang ada hanya kesadaran dari diri pribadi saja.
Permasalahan karena tidak terbiasa menulis menjadi diagnose awal. Oleh karena itu ada kegiatan yang saya lakukan ketika mengajar di kelas. Siswa saya beri tugas untuk menulis jurnal pelajaran. Ya, sekitar setengah halaman kertas. Apa yang diajarkan selama dua jam di kelas di tulis yang diingat. Bias berasal dari peta konsep yang saya tulis di depan lalu dijabarkan atau dari pertanyaan dan umpan balik yang diberikan oleh siswa. Atau juga ungkapan rasa kesal, ngantuk, tidak mood ketika kegiatan belajar mengajar.
Dari sekian eksperimen dilakukan ada hal yang menggembirakan. Siswa yang rajin dan tanggap atas tugas yang diberikan belajar menulis. Dan tulisannyapun lumayan bagus. Bagus untuk seukuran siswa. Walau bahasanya campuran terkadang juga dicampur antara bahasa Indonesia dan bahasa jawa plus bahasa gaul namun cukup membesarkan hati yang mengajar. Saya sampaikan menulis semudah menulis sms. Semudah menulis diary. Jadi enjoy saja. Jangan takut salah, jelek, menjemukan. Takut dicemooh oleh teman, takut dianggap bloon karena tulisannya sederhana. Saya anggap hal itu hanya belenggu semata. Dan bila ingin berubah, bila ingin sukses mau gak mau harus menghilangkan belenggu tadi.
Bahkan agak ekstrem saya memberi motivasi bila sulit untuk menulis balasan sms dari teman agar ditulis saja agar isi tulisannya banyak. Atau juga tulisannya dibuat besar-besar ukurannya. Bila hal ini dikerjakan maka akan cepat penuh tulisan sehalaman.
Syukur, Alhamdulillah. Dari sekian siswa ada yang bias menulis tiga halaman sekali menulis. Isinya tidak hanya melulu pelajaran. Tapi juga pengalaman dan aktivitas sehari-hari. Menurut saya hal ini tidak menjadi persoalan. Karena target saya adalah membiasakan siswa untuk menulis setiap hari. Syukur-syukur bias digunakan untuk karya. Ya,karyanya kelak. Bila ini terus menerus dibiasakan hingga ia menjalani kuliah maka tak ayal lagi bias jadi ia menjadi penulis professional. Ini adalah harapan.
Santri menulis masih samar-samar terdengar. Namun ada juga . dan saya senang bila ada santri yang gemar menulis dan mempunyai karya yang monumental. Sebenarnya para kiai kita sudah memberi contoh dan keteladanan betapa menulis dan mempunyai karya bias lebih abadi. Bahkan menjadi jariyah bagi penulisnya walau beliaunya sudah wafat. Sebagaimana Imam Ghozali menulis Ihya’ ulumuddin, begitu juga Imam Syafi’I karyanya yang termasuk qaul qadim dan qaul jaded. Yang masih dijadikan rujukan hokum hingga sekarang. Belum lagi kiai dari daerah sekitar. Ada Syeh Ihsan Jampes Kediri, lalu Syeh Mahfudz Termas Pacitan, Syeh Nawawi Banten lalu Kiai Bisri Mustofa karya-karya beliau masih di baca hingga sekrang. Suatu karya yang luar biasa.
Melihat sudah diberi contoh seperti itu seyogyanya kita berusaha meniru beliau-beliau. Walau mungkin hanya goresan satu halaman atau juga setengah halaman tiap hari. Semoga semua itu ada manfaatnya kelak.
Meningkat pada tingkatan mahasiswa kemampuan menulis sederhana juga masih saya rasakan masih rendah. Untuk memancing mereka saya juga memberi tugas menulis jurnal kuliah minimal satu halaman. Lalu diposting di blog masing-masing. Setelah satu tahap ini dilakukan walau sederhana ada hasil. Mahasiswa dengan sendirinya belajar menulis walau terkadang yang diposting adalah makalah presentasinya sendiri. Namun saya lihat ini ada kemajuan. Mahasiswa belajar membuat blog, belajar menulis atau mengetik dan lebih melek dengan dunia maya. Waktu penilaian saya ambil dari seberapa banyak tulisan yang diposting di blog masing-masing.
Ini ikhtiar sederhana sebagai usaha untuk membiasakan siswa madrasah untuk belajar menulis. Menjadikan menulis bagian dari hidup apapun nanti profesinya kelak. Karena tulisan ada manfaatnya. Bias juga digunakan untuk menumpahkan isi hati biar plong. Ternyata juga bias sebagai obat dari sakit. Seperti ini dilakukan oleh Dahlan Iskan. Ketika operasi cangkok hati malah menulis kronologisnya ia dioperasi. Malah dapat hasil. Bias share pengalamannya, bias dijadikan buku dan lain sebagainya. Begitu juga pengalaman BJ Habibi. Karena masih trauma ditinggal Bu Ainun maka terapi yang dianjurkan para koleganya adalah menulis. Jadilah buku Habibi dan Ainun dan bahkan diangkat menjadi film layar lebar. Wallahu a’lam bi al shawab.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar