Persaingan
dunia pendidikan semakin kompetitip. Setiap lembaga berusaha memberikan sesuatu
yang terbaik. Sehingga konsumen tinggal memilih mana yang dianggap terbaik.
Kalau dulu lembaga pendidikan dipandang dan dicari yang berbiaya rendah namun
sekarang terjadi perubahan paradigma. Banyak lembaga yang memasang tarif
tinggi. Bahkan lebih tinggi dari daerah sekitar. Namun nyatanya masyarakat mau
menerima bahkan berebut. Ini fenomena apa?
Adanya
program RSBI, fullday school, sekolah terpadu, sekolah plus, sekolah favorit,
sekolah unggulan, RMBI, sekolah akselerasi, sekolah berprestasi dan sejenisnya
menjadi bukti nyata fenomena di atas. Biaya mahal alias tinggi dianggap hal
yang lumrah kalau menginginkan kualitas. Jadi kata kuncinya sekarang kualitas.
Sehingga tidak heran bila lembaga pendidikan yang baru berdiripun juga langsung
berani memasang tarif di atas rata-rata yang ada. Baik itu tempat kursus,
sekolah, akademi, dan sejenisnya. Dengan sedikit sentuhan pemasaran, visi misi
yang spesifik dan beda dengan lembaga sejenis lalu jalan. Akhirnya juga mendapat
peserta didik. Lalu bagaimana dengan lembaga pendidikan yang sudah lama dan
tidak beranjak dari perkembangan dan kemajuan?
Ini yang
menjadi PR bagi para menejer pendidikan. Berarti ini berada di tangan kepala
sekolah. Bagaimana merubah cara berpikir mengubah yang biasa menjadi luar biasa
(meminjam salah satu iklan di TV). Bila ingin lembaganya tidak ketinggalan dan
bisa bersaing dengan sekolah yang sudah punya nama sekalipun maka harus ada
yang namanya perubahan. Walau pasti resistensi atau halangan/ancaman pasti ada
namun jangan lantas surut untuk berpacu berlomba-lomba dalam kebaikan.
Meningkatkan kualitas lembaga pendidikan masing-masing. Bukankah lembaga
pendidikan adalah pelayanan jasa pendidikan. Maka customer atau pelanggan harus
merasa puas dengan pelayanan yang kita berikan. Maka juga menjadi program
mendesak mendatang yang perlu dikerjakan adalah Total Quality Assurance
(penjaminan kualitas) atas apa yang sudah dilakukan. Baik dari internal bahkan
ke depan sangat perlu audit eksternal. Atau yang lebih dikenal dengan ISO.
Dengan memperoleh sertifikat ISO maka pelayanan yang kita berikan akan
terstandar internasional. Lalu mimpi itu kapan bisa terwujud?
Ada
beberapa hal yang perlu diperhatikan untuk meningkatkan kualitas
sekolah/madrasah:
1.
Menekan jam kosong. Kegiatan
pembelajaran tidak bisa dilepaskan dari peran guru di kelas. Walau memang
pembelajaran tidak harus dilakukan di ruang bersekat seperti kelas. Kelas bisa
dimakani lebih luas. Di halaman, di kebun, di sawah, di minimarket, di pasar,
di masjid dan lainnya. Namun adanya guru dalam
pembelajaran juga penting. Sebagai mediator, motivator pembelajaran agar
sesuai dengan arah yang diinginkan. Hal-hal yang menyebabkan jam kosong harus
dicari dan dicarikan solusinya. Bila ini dilakukan peserta didik akan tenang
belajar dan mendapat nilai tambah ilmu setiap harinya.
2.
Pemaksimalan ruang labolatorium
dan perpustakaan. Pendidikan diharapkan menelurkan para saintis-saintis baru
masa depan. Sebagai embrionya madrasah/sekolah perlu mengenalkan dan meletakkan
dasar-dasar saint dengan mengajak peserta didik di labolatorium. Kebanyakan
madrasah sudah mempunyai labolatorium yang memadai. Hanya saja terkadang alat
dan tenaga yang kurang dimaksimalkan. Apalagi masih ada anggapan fungsi lab
belum begitu penting. Oleh karena itu masih biasa digunakan sebagai ruang kelas
darurat. Bila mendapat peserta didik berlebih. Sebaiknya hal ini perlu
diakhiri. Ruang, alat dan tenaga yang ada perlu dimaksimalkan agar generasi
muda sudah mulai dikenalkan tentang pentingnya riset ilmu pengetahuan. Dan
semoga generasi yang akan datang akan lebih baik lagi.
3.
Program Pembentukan Karakter.
Pembentukan kepribadian adalah hal yang urgen. Menengok ke belakang adanya
pondok pesantren bisa melahirkan para ulama besar. Bila melihat pondok
pesantrennya waktu belajar ternyata hanya sederhana saja. Namun mengapa bisa
menciptakan para pemimpin bangsa. Jawabannya diantaranya pembentukan karakter
yang konsisten di pondok pesantren. Adanya kewajiban sholat berjamaah, dan
tauladan 24 jam dari pengasuh pesantren yang menyebabkan hal tersebut. Maka ada
beberapa program yang mengarah kesana agar peserta didik terbiasa berbuat baik.
Misalnya ketika memasuki gerbang sekolah peserta didik turun dari
kendaraan/sepeda, sebelum masuk kelas peserta didik berbaris, berdoa dan masuk
kelas dengan bersalaman dengan guru. Begitu juga ketika pulang yang sebelumnya
diawali dengan membaca surat al-asr bersama-sama. Bisa disisipkan pada 10 menit
pertama tadarus al-Qur’an bersama. Lalu ada program sholat dhuha dan sholat
dhuhur berjamaah seluruh civitas madrasah/sekolah. Belum lagi PHBI misalnya
Maulidan, Rajabiyah, Pondok Ramadhan, Syawalan, Qurbanan, khataman Qur’an,
riyadhah kubra dan semacamnya. Ini sebagai upaya penanaman karakter warga
madrasah/sekolah.
Pertanyaannya
mengapa kantin kejujuran yang digagas beberapa pihak belum berhasil? Karena
kelihatannya penanamna nilai/karakter kejujuran masih bias. Satu sisi peserta
didik diharuskan untuk berlaku jujur namun disekelilingnya dan yang menjadi
panutan belum berlaku serupa. Sehingga terlihat masih miskin keteladanan.
Semua
yang dilakukan adalah ikhtiar dan semoga dari hal yang kecil akan membuahkan
hasil. Wallahu a’lam bi al shawab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar