Dalam kehidupan memang misteri.
Sama juga kita tidak tahu nanti kita mempunyai jumlah anak berapa. Berkaitan dengan
ini ada orang yang sudah mengatur jarak kelahiran anaknya bahkan ikut program
KB namun kersane pengeran lahir lagi anak. Anak memang karunai Tuhan. Bagi
pasangan yang belum punya momongan sangat berharap sekali si buah hati. Segala
macam cara ditempuh, bahkan ada yang mengadopsi anak yatim, membeli bayi di
rumah sakit dan sebagainya. Sebagai bentuk perwujudan melengkapi isi rumah
tangga dengan kehadiran anak.
Kehidupan ada harmoni. Ada senang
susah, bahagia sedih, tertawa menangis. Ya, itulah ritme kehidupan. Sama juga
halnya berputarnya roda pedati. Kadang di atas, di tengah dan dibawah. Selalu
berputar mengikuti arah pemiliknya pergi. Begitu juga kehidupan manusia. Untuk
bisa senang, bahagia, tertawa itu pilihan. Begitu juga untuk hidup susah, sedih
dan menangis. Beda –dalam hal ini adegan film, sinetron, ludruk, ketoprak. Para
pemainnya memang disetting untuk bisa beradegan apa saja sesuai skenario dan
arahan sutradara.
Lalu sutradara kehidupan kita itu
siapa? Kita sendiri atau orang lain atau bahkan pihak lain? Menjawab ini
sebenarnya juga pilihan. Bisa dibuat sulit dan dibuat mudah. Tinggal pilih yang
mana. Namun bila ditelusuri lebih lanjut semuanya dikembalikan lagi kepada
manusia sebagai pelaku dan yang bertanggungjawab atas diri pribadinya.
Manusia diberi akal, dengan akal
manusia bisa memilih baik dan buruk, memilih peluang atau kesulitan, memilih
kebahagian atau kesedihan. Ketika dilanda kebahagiaan sudah seharusnya manusia
bersyukur. Tidak sembarang makhluk yang diberi anugerah seperti dia. Lalu
mendayagunakan potensi dan anugerah yang diterima di jalan kebenaran. Bukan
lantas melupakan yang memberi. Tidak lalu melampiaskan dengan hingar bingar
lalu lupa diri siapa dirinya. Sama halnya anak SMA setelah kelulusan lalu
mencoret-coret bajunya baik laki-laki maupun perempuan lalu berkeliling kota
dengan suara knalpot yang memekakkan telinga.
Bila dirundung duka apa lantas
tidak mau beraktivitas? Hanya diam, merenung, menyesali nasib, menyalahkan
hidup, menyalahkan orang lain bahkan menyalahkan Tuhan? Tidak tinggal yakni
selalu mengeluh. Mengeluh atas yang terjadi pada dirinya. Menangis
sejadi-jadinya, melampiaskan kemarahan dengan memecahkan dan membanting apa
saja yang bisa diraih. Namun apa setelah itu permasalahan lalu selesai? Ada
solusi? Bukan malah semuanya serba berantakan.
Bila hal itu terus menerus
terjadi bukan penyelesaian yang terjadi namun malah kesengsaraan yang
menjadi-jadi. Hidup tidak teratur bin semrawut. Lalu apa yang harus dilakukan?
Ada berbagai macam cara yang
dilakukan. Namun yang perlu digaris bawahi bahwa pada dasarnya manusia hidup
adalah berproses. Berproses menjadi manusia. Insan kamil adalah sebuah bentuk
harapan. Manusia sempurna. Hanya saja yang juga perlu disadari bahwa untuk
mengarah kearah itu tidak serta merta jadi. Seperti bayi yang lahir apa
langsung bisa membaca, berdiri dan berlari. Manusia sama pada awal kejadiannya.
Orang yang sekarang duduk sebagai presiden, menteri, gubernur, cendikiawan,
guru, alim, pengusaha, pejabat dan lainnya pada waktu lahir sama dalam keadaan
telanjang, tidak membawa bekal apa-apa. Hanya proses waktu, pendidikan,
perawatan orang tua, dan didikan orang tua serta lingkungan yang membentuk
pertumbuhan seseorang yang akan membentuk hasil akhir.
Seseorang dalam menyikapi
persoalan juga berbeda-beda. Ada dengan tenang, dengan sadar, dengan pesimis
dan bisa juga optimis. Terserah memilih
yang mana?
Yang terpenting adalah berusaha
husnudzan, berbaik sangka kepada Allah. Allah pastilah mempunyai rencana
terbaik bagi kehidupan kita. Hanya kita menyadarinya atau tidak. Bukankah Gusti
Allah akan menguji keimanan seseorang? Untuk melihat seberapa jauh tingkat
keimanannya. Ada ujian pangkat, kekayaan, kekurangan air, makanaan,
buah-buahan. Bahkan anakpun menjadi ujian. Lho, kok bisa. Bisa saja. Karena
anak adalah amanah. Terkadang orang tua over protective, sangat menjaga
perilaku anaknya. Tanpa disadari anak seperti robot. Begini tidak boleh begitu
tidak boleh. Namun membebaskan anak sebebas-bebasnya juga tidak benar. Yang
terbaik adalah menjadi sahabat. Namun juga tidak mudah. Diarahkan menuju
kebaikan sesuai tuntunan agama hanya disesuaikan dengan perkembagan akal dan
jiwanya.
Saya teringat dengan kisah
Syaikhona Kholil Bangkalan. Sebagaimana biasa beliau sering mendapat tamu. Oleh
karena ulama yang disegani tamunya juga berbagai lapisan masyarakat. Bahkan
pejabat penjajah Belandapun juga datang untuk meminta doa barokah, juga orang
Tionghoa non muslim. Apalagi orang pribumi sendiri. Banyak sekali dan persoalan
yang dihaturkan juga bermacam-macam. Suatu ketika ada tiga orang tamu.
Masing-masing mempunyai persoalan sendiri. Satunya belum punya keturunan,
keduanya usaha bisnisnya tersendat-sendat bahkan merugi yang ketiga banyak
hutangnya. Setelah selesai satu-persatu menyampaikan hajatnya Syaikhona Kholil
memberi jawaban yang sama yakni disuruh memperbanyak membaca istighfar. Banyak
memohon ampunan atas kesalahan dan dosa yang telah dilakukan. Bila Allah sudah
memberi ampunan maka tidak ada lagi penghalang atau hijab atas doa dan ikhtiar
yang kita lakukan. Maka akan diijabahi permohonan kita. Seperti itu pula Kiai
Ghozali Kholil Pandanasri memberi wejangan kepada para santri di Pondok
Pandanasri Kertosono. Untuk memperbanyak istighfar setiap hari.
Lha, Kanjeng Nabi sendiri yang
sudah dijamin masuk surga saja minimal sehari membaca istighfar sebanyak 70
kali. Apalagi kita manusia biasa yang bergelimang dosa. Seharusnya dan sebaiknya juga memperbanyak
bacaan istighfar dengan memahami apa maksudnya.
Menghadapi persoalan memang
shock. Apalagi permasalahan yang tidak mengenakkan. Namun ada orang yang
melaluinya dengan sabar dan tenang. Persoalan dihadapi dengan sabar. Fastainu
bisshobri was sholat. Dihadapi dengan sabar dan tetap menjalankan sholat. Yang
jelas persoalan harus dihadapi. Kalau lari persoalan tidak akan selesai. Yang
diperlukan solusi. Tindak lanjutnya bagaimana, apa yang perlu dikerjakan, apa
yang mesti dilakukan. Aksi apa yang perlu diperbanyak, apa yang dikurangi, apa
yang seharusnya dikerjakan untuk mendapatkan solusi dan sebagainya. Bisa saja
meminta saran dan pendapat dari teman dekat, guru, kiai kita atau juga jasa
konsultan. Atau langsung bisa mengeluh kepada dzat yang menguasai alam semesta.
Hanya mengadukan segala persoalan kepadaNya.
Yang jelas bahwa Gusti Allah
menurut persangkaan hambaNya. Inda dzanni abdi bi. Maka perlu sangat disadari
oleh kita bahwa semuanya memang Allah yang mengatur. Hanya saja kita harus
berusaha husnudzan berbaik sangka kepada Allah. Pastilah Allah mempunyai tujuan
dan pilihan terbaik kepada kita. Tinggal kita berdoa dan berikhtiar untuk
segera menyelesaikan yang membelit. Hanya kepada Allah kita berserah dan
kepadaNya pula kita memohon pertolongan. Wallahu a’lam bi al shawab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar