Senin, 30 April 2012

Wakil Kepala Bidang Keagamaan


Dalam pendidikan formal di negara kita di kenal namanya sekolah dan madrasah. Keduanya berbeda sekilas. Namun sebenarnya pada dasarnya sama. Sama dalam mencerdaskan anak bangsa. Berbedanya ada beberapa yang bisa saya sebutkan. Dalam pengelolaan, sekolah dibawah naungan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, dana lebih diperhatikan karena kementeriannya fokus hanya bidang pendidikan. Porsi pelajaran agama hanya 2 jam perminggu. Sedang madrasah dikelola oleh Kementerian Agama. Budget khusus dibidang pendidikan relatif lebih sedikit karena anggaran di kementerian ini bermacam-macam karena payungnya ‘agama’. Jadi anggarannya dibagi-bagi. Mengenai porsi pelajarannya 100% sama dengan pelajaran sekolah plus pelajaran agama. Yang secara kuantitatif lebih banyak.
Jadi pada dasarnya sekarang ini, sekolah dan madrasah sudah setara. Ini dimulai sejak menteri agama di jabat oleh Tarmizi Taher pada tahun 1993. Implikasinya lumayan banyak bagi madrasah. Diantaranya tidak begitu menguasai “ilmu umum” seperti sekolah juga dibidang agama belum setara dengan santri pondok pesantren. Inilah masalah yang menjadi PR lama dan senantiasa menjadi permasalahan pelik  yang harus segera dicari solusinya.
Pelan namun pasti, kementerian agama terus berbenah dalam bidang pendidikan. Terakhir yang menduduki pos Dirjen Pendidikan Islam adalah orang kampus yakni Prof. Dr. Nur Syam, M.Si. mantan rektor IAIN Sunan Ampel Surabaya. Beliau dikenal mempunyai visi dan misi yang kuat untuk memajukan pendidikan Islam. Diantaranya yang kelihatan adalah merubah sarana prasarana IAIN Surabaya agar sejajar dengan PTN lain dengan menggandeng IDB dengan membangun twin tower berlantai 9. Dan juga keinginan konversi IAIN Sunan Ampel menjadi UIN Sunan Ampel Surabaya. Harapan ini awal dari keinginan dari stakeholder pendidikan Islam agar Pak Dirjen terus mengawal keinginan grassroot.
Madrasah secara kelembagaan sekarang sudah relatif mapan. Banyak guru PNS yang bekerja di madrasah. Bahkan banyak pula madrasah swasta yang kebagian guru DPK. Walau belum sebanding dengan jumlah madrasah swasta. Bila dulu madrasah dibanjiri alumni dari IAIN atau lulusan agama. Sekarang ini banyak alumni dari pendidikan umum dan ini menjadi aset tersendiri. Bahkan banyak juga sekarang yang menduduki jabatan sebagai kepala madrasah.
Karier pegawai negeri tidak boleh stagnan. Kalau dilihat mempunyai kapabilitas yang mumpuni mengapa tidak untuk dipromosikan. Hal ini akan membawa kemajuan madrasah.
Ada sedikit kegundahan masyarakat terkait dengan kualitas siswa tepatnya pembiasaan ibadah. Walau madrasah terkadang pembinaan ibadah atau keagamaan terasa kurang. Beda dengan jaman dahulu. Dan ini seharusnya memang harus disikapi secepatnya.
Selama ini terlihat pembinaan keagamaan di madrasah diserahkan kepada salah seorang guru biasanya yang mengajar fak PAI. Posisinya dalam struktur madrasah di bawah salah seorang wakil kepala tepatnya seksi keagamaan. Pada posisi ini kelihatan tidak efektif dalam menjalankan program. Karena terkadang program yang lama sudah disusun ditengah jalan ada program baru yang menggusur program lama. Seksi keagamaan kelihatan tidak punya peran yang signifikan. Karena diatasnya masih banyak meja yang harus dilalui. Juga karena setingkat seksi keberadaannya masih dipandang sebelah mata oleh guru dan siswa. Pokoknya asal ada. Padahal bila dilihat dari visi dan misi madrasah program keagamaan menjadi prioritas utama yakni menyiapkan lulusan yang beriman dan bertakwa.
Berdasar asumsi di atas dan berdasar pengalaman dari beberapa sekolah Islam Unggulan dan madrasah unggulan ternyata pembinaan keagamaan langsung dihandle oleh struktur setingkat wakil kepala. Contohnya di madrasah unggulan seperti MAN Insan Cendikia Serpong ada namanya wakil kepala Bidang Keasramaan dan Pembinaan Imtak, lalu MAN 1 Bandung ada waka bidang keagamaan. Lalu di SMA Darul ‘Ulum 2 Unggulan BPPT RSBI Jombang ada 7 orang wakil kepala salah satunya adalah waka akhlakul karimah. Wakil kepala Bidang Keagamaan atau apapun namanya yang sejenis dikandung maksud bahwa masalah pembiasaan ibadah siswa adalah hal  yang urgen dan menjadi perhatian utama madrasah agar tidak hilang ciri khasnya. Apalagi madrasah yang berbasis pesantren. Di sisi lain bila hal ini diaplikasikan akan menambah nilai syiar/promosi madrasah di masyarakat. Semakin madrasah memberi nilai kepuasan bagi pengguna maka semakin masyarakat akan antusias memasukkan putra-putrinya ke madrasah tersebut.
Dari pengamatan penulis dengan adanya struktur waka yang mengurusi keagamaan maka pembinaan siswa dalam hal ibadah akan semakin terencana, terorganisir, sehingga parameter keberhasilan akan bisa diukur. Outputnya jelas akan lebih terasa dan terasah hasilnya.
Bila dirasa masih memberatkan bisa saja strukturnya dicangkokkan salah satu wakil kepala. Tentu saja yang bersangkutan memiliki kepedulian dengan bidang tugasnya. Misalnya selama ini ada empat wakil kepala: waka kurikulum, waka kesiswaan, waka sarana prasarana dan waka humas. Maka bisa saja waka keagamaan dijadikan satu dengan salah satu waka contoh waka humas dan keagamaan. Bila struktur sejajar maka diharapkan pembinaan keagamaan semakin intens pelaksanaannya dan terukur hasilnya. Asumsi bahwa dengan banyak guru PAI maka pembinaan keagamaan siswa akan semakin baik ternyata belum tentu. Memang ada korelasi positif namun akan lebih baik lagi ada struktur khusus yang membidangi masalah ini. Wallahu a’lam bi al shawab.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar