Dalam pendidikan formal di negara
kita di kenal namanya sekolah dan madrasah. Keduanya berbeda sekilas. Namun
sebenarnya pada dasarnya sama. Sama dalam mencerdaskan anak bangsa. Berbedanya
ada beberapa yang bisa saya sebutkan. Dalam pengelolaan, sekolah dibawah
naungan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, dana lebih diperhatikan karena
kementeriannya fokus hanya bidang pendidikan. Porsi pelajaran agama hanya 2 jam
perminggu. Sedang madrasah dikelola oleh Kementerian Agama. Budget khusus
dibidang pendidikan relatif lebih sedikit karena anggaran di kementerian ini
bermacam-macam karena payungnya ‘agama’. Jadi anggarannya dibagi-bagi. Mengenai
porsi pelajarannya 100% sama dengan pelajaran sekolah plus pelajaran agama.
Yang secara kuantitatif lebih banyak.
Jadi pada dasarnya sekarang ini,
sekolah dan madrasah sudah setara. Ini dimulai sejak menteri agama di jabat
oleh Tarmizi Taher pada tahun 1993. Implikasinya lumayan banyak bagi madrasah.
Diantaranya tidak begitu menguasai “ilmu umum” seperti sekolah juga dibidang
agama belum setara dengan santri pondok pesantren. Inilah masalah yang menjadi
PR lama dan senantiasa menjadi permasalahan pelik yang harus segera dicari solusinya.
Pelan namun pasti, kementerian
agama terus berbenah dalam bidang pendidikan. Terakhir yang menduduki pos
Dirjen Pendidikan Islam adalah orang kampus yakni Prof. Dr. Nur Syam, M.Si.
mantan rektor IAIN Sunan Ampel Surabaya. Beliau dikenal mempunyai visi dan misi
yang kuat untuk memajukan pendidikan Islam. Diantaranya yang kelihatan adalah merubah
sarana prasarana IAIN Surabaya agar sejajar dengan PTN lain dengan menggandeng
IDB dengan membangun twin tower berlantai 9. Dan juga keinginan konversi IAIN
Sunan Ampel menjadi UIN Sunan Ampel Surabaya. Harapan ini awal dari keinginan
dari stakeholder pendidikan Islam agar Pak Dirjen terus mengawal keinginan
grassroot.
Madrasah secara kelembagaan
sekarang sudah relatif mapan. Banyak guru PNS yang bekerja di madrasah. Bahkan
banyak pula madrasah swasta yang kebagian guru DPK. Walau belum sebanding dengan
jumlah madrasah swasta. Bila dulu madrasah dibanjiri alumni dari IAIN atau
lulusan agama. Sekarang ini banyak alumni dari pendidikan umum dan ini menjadi
aset tersendiri. Bahkan banyak juga sekarang yang menduduki jabatan sebagai
kepala madrasah.
Karier pegawai negeri tidak boleh
stagnan. Kalau dilihat mempunyai kapabilitas yang mumpuni mengapa tidak untuk
dipromosikan. Hal ini akan membawa kemajuan madrasah.
Ada sedikit kegundahan masyarakat
terkait dengan kualitas siswa tepatnya pembiasaan ibadah. Walau madrasah
terkadang pembinaan ibadah atau keagamaan terasa kurang. Beda dengan jaman
dahulu. Dan ini seharusnya memang harus disikapi secepatnya.
Selama ini terlihat pembinaan
keagamaan di madrasah diserahkan kepada salah seorang guru biasanya yang mengajar
fak PAI. Posisinya dalam struktur madrasah di bawah salah seorang wakil kepala
tepatnya seksi keagamaan. Pada posisi ini kelihatan tidak efektif dalam
menjalankan program. Karena terkadang program yang lama sudah disusun ditengah
jalan ada program baru yang menggusur program lama. Seksi keagamaan kelihatan
tidak punya peran yang signifikan. Karena diatasnya masih banyak meja yang
harus dilalui. Juga karena setingkat seksi keberadaannya masih dipandang
sebelah mata oleh guru dan siswa. Pokoknya asal ada. Padahal bila dilihat dari
visi dan misi madrasah program keagamaan menjadi prioritas utama yakni
menyiapkan lulusan yang beriman dan bertakwa.
Berdasar asumsi di atas dan
berdasar pengalaman dari beberapa sekolah Islam Unggulan dan madrasah unggulan
ternyata pembinaan keagamaan langsung dihandle oleh struktur setingkat wakil
kepala. Contohnya di madrasah unggulan seperti MAN Insan Cendikia Serpong ada
namanya wakil kepala Bidang Keasramaan dan Pembinaan Imtak, lalu MAN 1 Bandung
ada waka bidang keagamaan. Lalu di SMA Darul ‘Ulum 2 Unggulan BPPT RSBI Jombang
ada 7 orang wakil kepala salah satunya adalah waka akhlakul karimah. Wakil kepala
Bidang Keagamaan atau apapun namanya yang sejenis dikandung maksud bahwa
masalah pembiasaan ibadah siswa adalah hal
yang urgen dan menjadi perhatian utama madrasah agar tidak hilang ciri
khasnya. Apalagi madrasah yang berbasis pesantren. Di sisi lain bila hal ini diaplikasikan
akan menambah nilai syiar/promosi madrasah di masyarakat. Semakin madrasah
memberi nilai kepuasan bagi pengguna maka semakin masyarakat akan antusias
memasukkan putra-putrinya ke madrasah tersebut.
Dari pengamatan penulis dengan
adanya struktur waka yang mengurusi keagamaan maka pembinaan siswa dalam hal
ibadah akan semakin terencana, terorganisir, sehingga parameter keberhasilan
akan bisa diukur. Outputnya jelas akan lebih terasa dan terasah hasilnya.
Bila dirasa masih memberatkan
bisa saja strukturnya dicangkokkan salah satu wakil kepala. Tentu saja yang
bersangkutan memiliki kepedulian dengan bidang tugasnya. Misalnya selama ini
ada empat wakil kepala: waka kurikulum, waka kesiswaan, waka sarana prasarana
dan waka humas. Maka bisa saja waka keagamaan dijadikan satu dengan salah satu
waka contoh waka humas dan keagamaan. Bila struktur sejajar maka diharapkan
pembinaan keagamaan semakin intens pelaksanaannya dan terukur hasilnya. Asumsi
bahwa dengan banyak guru PAI maka pembinaan keagamaan siswa akan semakin baik
ternyata belum tentu. Memang ada korelasi positif namun akan lebih baik lagi
ada struktur khusus yang membidangi masalah ini. Wallahu a’lam bi al shawab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar