Hari-hari ini banyak dirayakan
memperingati hari Kartini. Salah seorang tokoh yang memberdayakan perempuan.
Dalam sejarah diceritakan beliau berdarah ningrat karena puteri Adipati. Dan
kelak juga menjadi isteri adipati pula. Namun ada keinginan dalam hatinya untuk
mengangkat derajat perempuan sesamanya. Pada waktu itu masih jaman Belanda.
Yang berhak menikmati pendidikan hanya golongan tertentu, tentu saja golongan
ningrat. Perempuan hanya sebatas kanca wingking, urusan domestik. Hanya lingkup
sumur, dapur dan kasur. Tidak lebih dari itu. Sekilas hanya pelengkap kehidupan
laki-laki. Bisa diibaratkan kalau laki-laki suaminya masuk neraka mungkin juga
si isteri akan ikut serta.
Melihat keadaan perempuan di
masanya maka timbul keinginannya untuk mengurangi kesenjangan pendidikan
perempuan. Maka dibuatlah semacam sekolah perempuan. Dengan pelajaran membaca
dan menulis serta ketrampilan perempuan. Ide-ide cerdasnya ini tertuang dalam
surat-surat yang ia kirimkan kepada temannya di Belanda. Hal inilah yang
menginspirasi para aktivis perempuan untuk menyuarakan hak-haknya. Kartini
dijadikan ikon pejuang perempuan. Dulu masih ingat Kartini dijadikan pejuang
emansipasi perempuan. Perempuan juga mempunyai hak sama dengan laki-laki.
Berhak menjadi pemimpin, berhak menjadi bupati, presiden, DPR dan sebagainya.
Namun terkadang yang terlupa perempuan juga perempuan. Sebagai ibu dari
anak-anak, isteri dari suami dan menjadi tiang negara. Bila perempuan baik maka
baiklah negara ini. Yang mendidik generasi penerus dengan kasih sayang.
Sehingga anak cucuk kita bisa tumbuh kembang dengan prestasi dan berkualitas
memadai. Berani berdiri sama tinggi dan duduk sama rendah dengan negara lain.
Yang juga mungkin terlupa dari
sosok Kartini adalah budaya religius dalam kehidupan. Diceritakan di Kadipaten
Rembang asalnya ada pengajian yang diberikan oleh seorang Kiai. Dan ini menjadi
kegiatan rutin bagi keluarga Adipati. Diantara yang dikaji adalah Tafsir
al-Qur’an berbahasa Jawa, al-Ibriz karya KH Bisri Mustofa Rembang. Kuat dugaan
saya adanya inspirasi Ibu Kartini tentang hak-hak perempuan karena terinspirasi
dari pemahaman ayat-ayat al-Qur’an yang diyakini kebenarannya.
Adanya pengaburan sejarah bahwa
kelihatan Ibu Kartini adalah sosok nasionalis yang tidak begitu berbau religius
mungkin saja karena penulis sejarah sengaja melakukan hal ini. Sama saja dengan
peristiwa pertempuran 10 Nopember 1945 di Surabaya yang heroik itu. Dalam
sejarah seusia saya tidak begitu mengerti peritiwa dibalik itu. Adanya resolusi
Jihad yang dikobarkan oleh KH Hasyim Asy’ari Jombang bahwasanya kaum muslim
yang berada dalam jangkauan sholat jama’ wajib berjuang dalam perang di
Surabaya itu juga sengaja dikaburkan dalam sejarah. Yang kelihatan hanya Bung
Tomo. Padahal sebelum perang Bung Tomo juga meminta restu kepada Kiai Hasyim.
Lalu juga jarang yang mengetahui bahwa yang menjadi penasehat perang Jenderal
Besar Sudirman ketika perang kemerdekaan adalah KH Wahid Hasyim, ayahanda Gus
Dur. Sehingga ketika perang kemerdekaan beliau sering berpindah-pindah tempat
menyesuaikan dengan kebutuhan dan strategi perang. Dan tentu saja sangat jarang
di rumah. Hal-hal inilah yang perlu juga diketahui oleh para generasi penerus
bangsa ini. Bukankah bangsa yang besar adalah bangsa yang bisa menghargai jasa
para pahlawannya.
Berkaitan dengan posisi perempuan
sebenarnya dari dulu hingga sekarang posisinya masih tetap saja. Tetap
dimuliakan. Dalam hadith Nabi dijelaskan bahwa surga di bawah telapak kaki ibu.
Ini menunjukkan betapa mulianya posisi seorang ibu, seorang perempuan. Hal yang
mudah sebagai bukti adalah bagaimana perilaku anak. Anak yang baik merupakan
hasil didikan ibu di rumah. Begitu juga sebaliknya.
Suatu hari saya bertemu dengan
salah seorang mahasiswa saya. Alumni S1 Tarbiyah di sebuah PTAIS. Dia bangga
dengan hasil yang diperolehnya sekarang ini. Bukan mengajar yang menjadi
aktivitasnya sehari-hari namun berwirausaha, beternak itik. Bila ditilik dari
ceritanya memang lumayan sukses bila dilihat dari teman seangkatannya. Sudah
menikah enam tahun ini. Anaknya dua. Punya rumah dua. Masih ada beberapa anak yang dipondokkan
dibeberapa tempat. Untuk biaya pendidikan anak asuh ini sekitar satu juta
rupiah perbulan. Itiknya lumayan banyak. Ada 17 ribu ekor. Sehingga tidak heran
bila penghasilannya berkisar 10 juta rupiah/bulan. Karyawannya ada beberapa,
dan ada jiwa berbagi. Itik-itiknya ditempatkan pada orang-orang yang membutuhkan.
Maksudnya ingin berbagi hasilnya dengan orang lain sekaligus mengurangi
pengangguran. Dengan jumlah itik sebanyak itu ditaksir omsetnya sudah mencapai
350 juta rupiah.
Dia lalu bercerita. Awalnya ia
bermodal dengkul saja. Maklum memang anak petani desa yang tidak punya apa-apa.
Studi di Aliyah sambil mondok. Bahkan ketika kuliah saja orang tuanya tidak
tahu, tahu-tahu sudah diundang wisuda sarjana. Selesai kuliah sawah yang
dimiliki orang tuanya bertambah luas. Bertambah satu hektar. Padahal ketika ia
berangkat mondok hanya 100 ru saja. Sekarang ini ia bisa membelikan sawah
tahunan untuk orang tuanya. Yang hasilnya diberikan kepada orang tuanya. Ada
obsesinya yang lain yakni memberangkatkan haji kedua orang tuanya.
Lalu ia bercerita lagi. Semua
prestasi yang dicapai ini berkat doa dari orang tuanya. Tiap kamis malam ia
sungkem kepada ibunya. Memohon maaf dan menyampaikan keluh kesahnya. Agar
ibunya ridha dan mendoakan kesuksesan si anak. Bahkan tak jarang ibunya juga
ikut menangis. Saya lihat ekspresi wajahnya, kelihatan ia bercerita sambil
menangis. Terasa haru mendengarnya. Hal ini ia lakukan dari cerita temannya
dari Jawa Tengah yang juga sukses sebagai pengusaha. Bahkan omsetnya sudah
mencapai milyaran rupiah. Lalu ia juga bercerita untuk berbagi dengan orang
lain. Menyantuni anak yatim. Syukur-syukur mau mengasuh di rumah seperti anak
sendiri. Seperti yang dicontohkan Kanjeng Nabi Muhammad.
Ternyata kedudukan ibu memang tinggi
dan mulia. Terlepas siapa ibu kita. Yang jelas Gusti Allah dan rasulNya sudah
menyampaikan seperti itu. Lalu siapa yang ingin menyusul kesuksesan hidup
seperti cerita di atas dengan melaksanakan tips-tips yang diberikannya? Wallahu
a’lam bi al shawab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar