Di pagi hari sambil melaksanakan
tugas ngawasi anak-anak ujian saya berkesempatan membaca tulisannya Rhenal
Kasali. Seperti judul di atas. Dan ini kelihatan mirip dengan pengalaman selama
ini yang saya punyai. Waktu masih menempuh studi di madrasah saya punya dua
teman. Zainal dan Anam namanya.
Bila Zainal suka bicara. Sedang Anam
banyak mendengar. Dalam kehidupan, Zainal banyak masalah. Keluarga broken.
Bercerai padahal sudah punya anak satu. Pekerjaan tidak jelas. Bahkan pernah
terlihat berjualan di bus. Banyak dikejar-kejar debitur. Sudah seperti itu
terdengar kabar berpisah dengan isteri karena tergoda perempuan lain. Bila
bertemu sering menghindar. Dalam bergaul terlihat dalam benaknya dengan
berteman saya dapat apa dengan dia. Ada agenda tersembunyi. Di sana bertemu
dengan siapa.
Sedang teman satunya, Anam. Sejak
di bangku sekolah lebih banyak mendengar. Dibesarkan dari orang tua yang lama
mengenyam pendidikan pesantren. Dalam bergaul juga tidak dibatasi. Tidak
pilih-pilih teman. Suka berorganisasi. Supel, suka jokes, sehingga bila bertemu hati terasa damai.
Tidak ada sekat yang membedakan status dan nasab. Siapapun teman yang bertemu
terasa seperti saudara lama yang tidak bertemu. Suka memberi baik kepada teman
bahkan kepada orang yang tidak suka sekalipun. Filosofinya banyak memberi dan
tidak usah memanen. Karena pasti akan datang sendiri. Sekarang kehidupannya
terlihat harmonis. Dikaruniai dua momongan sambil tetap mengajar dan usaha di
pertanian serta memangku masjid jami’ di desanya.
Apa yang membedakan keduanya.
Zainal terpaku dengan budaya transaksional. Sedang Rhenal Kasali menyebutnya
dengan taking economy. Saya membantu, berkawan, bergaul nanti dapat apa.
Mungkin hal ini terbawa dari tradisi keluarga, ajaran orang tua bisa juga
karena lingkungan yang membentuk. Sedang
Anam dalam bermuamalah atau berhubungan dengan orang lain lebih dengan
filosofi ikhlas, suka menolong, ajer (bahasa jawa) dalam bergaul bisa
memposisikan diri, lebih banyak mendengar. Tampak juga kecerdasan emosinya
lebih diasah dan terasah dalam kehidupan. Sehingga banyak teman, jaringan,
tidak punya lawan, lebih bisa menikmati kehidupan. Dan bahkan dengan usaha
dibidang pendidikan dan pertanian masih sempat meluangkan waktu untuk aktif di
masjid.
Mengenai hal ini lalu saya teringat
dengan cerita Kanjeng Nabi Muhammad SAW. Dalam berdakwah beliau menerima
hinaan, cercaan, bahkan gangguan fisik. Seperti dijerat lehernya dengan tali,
dilempari batu, dilempari kotoran unta dan sebagainya. Namun beliau tidak mau
membalas. Ketika Syuraqah yang akan membunuhnya berhasil ditundukkan namun
beliau juga tidak melakukannya. Ada hal lain lagi. Kanjeng Nabi dikenal juga
suka berbelanja di pasar untuk membeli kebutuhan keluarga. Di Pasar ada seorang
Yahudi tua buta yang selalu mengolok-olok dan mengejek Nabi. Diantara
kata-katanya, “Jangan percaya Muhammad. Ia tukang sihir. Ia pembohong. Jangan
ikuti ajarannya”. Padahal dia itu belum pernah bertemu dengan Nabi. Karena
ocehannya itu dia dilempari uang oleh orang yang lewat. Ada orang yang kasihan
melihat pak tua ini. Tiap hari ia menyuapi orang tua ini dengan lembut laksana orang
tuanya sendiri. Waktu terus berjalan. Beberapa hari dia tidak menerima suapan
makanan. Lalu ada yang menyuapi. Karena ada yang ganjil dengan biasanya lalu ia
berkata, “kamu pastilah bukan orang yang biasa menyuapi aku. Karena sebelum ia
menyuapi yang dilakukannya terlebih dahulu adalah membelai rambutku. Siapa kau
sebenarnya?”. Lalu yang menyuapi ini berkata,”Aku Abu Bakar. Dan ketahuilah
bahwasanya yang biasa menyuapimu sebelumnya adalah Nabi Muhammad SAW”. Insaflah
ia akan kesalahannya. Ternyata orang yang setiap hari ia fitnah malah menyuapinya
tanpa pamrih. Karena kehalusan akhlak Kanjeng Nabi akhirnya ia meminta sahabat
Abu Bakar untuk menuntunnya membaca dua kalimah syahadat. Jadilah Yahudi ini
masuk Islam.
Yang bisa dipetik dari cerita di
atas bahwa Kanjeng Nabi memberi teladan konsep memberi. Memberi kepada siapa
saja yang membutuhkan. Bahkan kepada siapapun termasuk kepada lawan atau musuh
sekalipun. Dan tidak ada agenda tersembunyi tentang apa yang dilakukannya.
Pokoknya memberi titik. Dan ternyata juga tidak perlu meminta balasan. Karena
Gusti Allah pasti tidak akan menyalahi janjiNya. Artinya pasti di balas Allah.
Dengan istilah sekarang redeem.
Lalu sebaiknya kita mencontoh
yang model mana: Zainal atau Anam. Terserah anda. Wallahu a’lam bi al shawab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar