Kamis, 22 Maret 2012

Taking Economy dan Redeem


Di pagi hari sambil melaksanakan tugas ngawasi anak-anak ujian saya berkesempatan membaca tulisannya Rhenal Kasali. Seperti judul di atas. Dan ini kelihatan mirip dengan pengalaman selama ini yang saya punyai. Waktu masih menempuh studi di madrasah saya punya dua teman. Zainal dan Anam namanya.
Bila Zainal suka bicara. Sedang Anam banyak mendengar. Dalam kehidupan, Zainal banyak masalah. Keluarga broken. Bercerai padahal sudah punya anak satu. Pekerjaan tidak jelas. Bahkan pernah terlihat berjualan di bus. Banyak dikejar-kejar debitur. Sudah seperti itu terdengar kabar berpisah dengan isteri karena tergoda perempuan lain. Bila bertemu sering menghindar. Dalam bergaul terlihat dalam benaknya dengan berteman saya dapat apa dengan dia. Ada agenda tersembunyi. Di sana bertemu dengan siapa.
Sedang teman satunya, Anam. Sejak di bangku sekolah lebih banyak mendengar. Dibesarkan dari orang tua yang lama mengenyam pendidikan pesantren. Dalam bergaul juga tidak dibatasi. Tidak pilih-pilih teman. Suka berorganisasi. Supel, suka jokes,  sehingga bila bertemu hati terasa damai. Tidak ada sekat yang membedakan status dan nasab. Siapapun teman yang bertemu terasa seperti saudara lama yang tidak bertemu. Suka memberi baik kepada teman bahkan kepada orang yang tidak suka sekalipun. Filosofinya banyak memberi dan tidak usah memanen. Karena pasti akan datang sendiri. Sekarang kehidupannya terlihat harmonis. Dikaruniai dua momongan sambil tetap mengajar dan usaha di pertanian serta memangku masjid jami’ di desanya.
Apa yang membedakan keduanya. Zainal terpaku dengan budaya transaksional. Sedang Rhenal Kasali menyebutnya dengan taking economy. Saya membantu, berkawan, bergaul nanti dapat apa. Mungkin hal ini terbawa dari tradisi keluarga, ajaran orang tua bisa juga karena lingkungan yang membentuk. Sedang  Anam dalam bermuamalah atau berhubungan dengan orang lain lebih dengan filosofi ikhlas, suka menolong, ajer (bahasa jawa) dalam bergaul bisa memposisikan diri, lebih banyak mendengar. Tampak juga kecerdasan emosinya lebih diasah dan terasah dalam kehidupan. Sehingga banyak teman, jaringan, tidak punya lawan, lebih bisa menikmati kehidupan. Dan bahkan dengan usaha dibidang pendidikan dan pertanian masih sempat meluangkan waktu untuk aktif di masjid.
Mengenai hal ini lalu saya teringat dengan cerita Kanjeng Nabi Muhammad SAW. Dalam berdakwah beliau menerima hinaan, cercaan, bahkan gangguan fisik. Seperti dijerat lehernya dengan tali, dilempari batu, dilempari kotoran unta dan sebagainya. Namun beliau tidak mau membalas. Ketika Syuraqah yang akan membunuhnya berhasil ditundukkan namun beliau juga tidak melakukannya. Ada hal lain lagi. Kanjeng Nabi dikenal juga suka berbelanja di pasar untuk membeli kebutuhan keluarga. Di Pasar ada seorang Yahudi tua buta yang selalu mengolok-olok dan mengejek Nabi. Diantara kata-katanya, “Jangan percaya Muhammad. Ia tukang sihir. Ia pembohong. Jangan ikuti ajarannya”. Padahal dia itu belum pernah bertemu dengan Nabi. Karena ocehannya itu dia dilempari uang oleh orang yang lewat. Ada orang yang kasihan melihat pak tua ini. Tiap hari ia menyuapi orang tua ini dengan lembut laksana orang tuanya sendiri. Waktu terus berjalan. Beberapa hari dia tidak menerima suapan makanan. Lalu ada yang menyuapi. Karena ada yang ganjil dengan biasanya lalu ia berkata, “kamu pastilah bukan orang yang biasa menyuapi aku. Karena sebelum ia menyuapi yang dilakukannya terlebih dahulu adalah membelai rambutku. Siapa kau sebenarnya?”. Lalu yang menyuapi ini berkata,”Aku Abu Bakar. Dan ketahuilah bahwasanya yang biasa menyuapimu sebelumnya adalah Nabi Muhammad SAW”. Insaflah ia akan kesalahannya. Ternyata orang yang setiap hari ia fitnah malah menyuapinya tanpa pamrih. Karena kehalusan akhlak Kanjeng Nabi akhirnya ia meminta sahabat Abu Bakar untuk menuntunnya membaca dua kalimah syahadat. Jadilah Yahudi ini masuk Islam.
Yang bisa dipetik dari cerita di atas bahwa Kanjeng Nabi memberi teladan konsep memberi. Memberi kepada siapa saja yang membutuhkan. Bahkan kepada siapapun termasuk kepada lawan atau musuh sekalipun. Dan tidak ada agenda tersembunyi tentang apa yang dilakukannya. Pokoknya memberi titik. Dan ternyata juga tidak perlu meminta balasan. Karena Gusti Allah pasti tidak akan menyalahi janjiNya. Artinya pasti di balas Allah. Dengan istilah sekarang redeem.
Lalu sebaiknya kita mencontoh yang model mana: Zainal atau Anam. Terserah anda. Wallahu a’lam bi al shawab.





Tidak ada komentar:

Posting Komentar