Senin, 12 Maret 2012

Hutang Sehat


Manusia dipilih oleh Allah sebagai khalifah fil ardh. Sebagai penguasa di muka bumi. Alangkah mulia dan besar tanggungjawabnya. Mengapa tidak memilih malaikat, jin dan makhluk yang lain tetapi malah manusia yang bisa menumpahkan darah? Manusia terpilih karena diciptakan dalam bentuk yang sempurna. Fi ahsani taqwim. Dianugerahi bentuk rupa yang menawan, dilengkapi panca indera, akal untuk berfikir dan nafsu untuk menggapai keinginan yang ada dalam pikiran.
Karena menjadi pemimpin di muka bumi dengan hamparan alam semesta yang luas dan sangat kaya lalu berfikir ini mau diapakan dan bagaimana cara pemanfaatannya? Dengan ilmu pengetahuan yang dipunyai manusia bisa mengelola, mendayagunakan dan memetik hasil untuk keberlangsungan hidup. Berbagai alat diciptakan untuk memudahkan hidup.
Hidup bisa terus berlangsung karena kebutuhan bisa terpenuhi. Kebutuhan primer sebagai kebutuhan pokok bisa dipenuhi dengan layak. Kebutuhan ini diantaranya sandang, pangan, papan, kesehatan dan pendidikan. Kebutuhan pakaian seluruh anggota keluarga bisa disediakan. Dan cukup layak walau tidak bisa membeli di supermarket tiap bulan. Namun masih pantas pakai. Lalu kebutuhan pangan berupa makanan sehari-hari masih layak dan bisa dipenuhi. Walau tidak sama dengan orang yang tinggal di villa dan di komplek perumahan mewah. Namun kebutuhan gizi lumayan cukup untuk pertumbuhan dan perkembangan anak. Apalagi yang profesi kepala rumah tangga sebagai pegawai negeri lumayan mendapat jatah makan setiap bulan. Cukup untuk memenuhi kebutuhan pangan walau terbilang cukup.
Lalu papan, kebutuhan tempat tinggal ini juga sangat penting. Mengapa penting? Karena rumah sebagai tempat berlabuh, tempat kembali dari bekerja dan aktivitas. Bagaimana rasanya keluar bekerja namun tidak mempunyai tempat untuk pulang? Sangat menyedihkan. Sehingga walau rumah sepetak, manusia pastilah ingin ada tempat untuk berteduh. Apalagi sudah mempunyai anak isteri. Kebutuhan akan rumah menjadi tidak terelakkan. Maka sangat logis bila orang jaman dahulu bahkan harus bertempat di gua. Sebagai tempat tinggal. Oleh karena sekarang harga tanah dan rumah lipat berkali-kali dengan penghasilan maka orang berfikir bagaimana bisa mencari rumah sesuai dengan kemampuan. Maka ada opsi kontrak, kost, atau 5M. Istilah ini saya dapatkan dari tetangga rumah waktu saya masih menjadi keluarga muda. Lalu saya tanya apa maksudnya 5M itu? Ternyata ini sebenarnya sindirian. Yang maksudnya “madep, mantep, mangan melu maratua”. Maksudnya keluarga yang menggantungkan hidup dari mertua. Baik papan, makan bahkan kebutuhan sehari-hari masih ikut orang tua. Orang tua semacam ini wah sangat baik sekali. Menyadari kalau anak dan menantunya belum siap untuk hidup sendiri. Pada masa ini, orang tua memaklumi dan memberi kesempatan bagi keluarga baru untuk berlatih hidup. Menyiapkan hidup sambil dilepas kepalanya dan dipegang ekornya. Namun bagi orang tua yang sadar biasanya membatasi jangka waktu ini. Bisa setahun maksimal dua tahun. Dan selanjutnya anak harus pisah dari orang tua. Tokh, orang tua sudah tidak punya kewajiban membiayai lagi.
Oleh karena rumah urgen bagi sebuah keluarga maka sejak menikah sudah seharusnya memikirkan “gubug”nya mau dimana. Karena bila tidak berfikir kearah sana dan menikmati penghasilan yang ada untuk hal yang bukan primer misalnya kebutuhan konsumtif bisa saja nanti sampai usia tidak produktif belum punya rumah. Padahal sudah mempunyai cucu. Ini bisa saja terjadi. Karena terlalu lama tinggal di rumah mertua, dikost, hanya kontrak atau bahkan di rumah dinas. Namun ada juga teman yang mencoba memprioritaskan pendidikan dulu. Selagi masih muda, keluarga juga mendukung meneruskan ke jenjang pendidikan lebih lanjut. Beberapa tahun kemudian studinya selesai. Baru memikirkan membuat rumah. Ini hanya soal pilihan saja.
Mengenai kebutuhan akan pendidikan tidak terelakkan. Ini juga kebutuhan dasar. Karena dengan ilmu pengetahuanlah manusia akan mempunyai derajat kemanusiaan. Manusia akan bisa bermanfaat dan bisa mengelola alam hanya dengan ilmu. Maka banyak orang tua yang menanam modal atau investasi pendidikan kepada anak-anaknya dari pada meninggalkan harta banyak namun miskin akan ketrampilan dan ilmu. Memang yang lebih baik meninggalkan harta dan ilmu serta akhlak kepada anak. Agar nantinya menjadi generasi muslim yang kuat dan tangguh. Dari pada meninggalkan generasi yang lemah segala-galanya. Baik ilmu, harta, akhlak dan sebagainya.
Kebutuhan dasar yang lain adalah kesehatan. Manusia bisa melakukan aktivitas bila badannya sehat. Sehat secara jasmani menjadi kebutuhan. Alangkah tidak nyamannya bila bekerja sedang badan dalam kondisi tidak fit. Jadinya tidak maksimal hasilnya. Maka untuk mendapatkan tubuh yang sehat harus mau dan dipaksa dengan berolahraga. Ada contoh yang baik dari Dahlan Iskan. Oleh karena sudah cangkok hati maka sangat menjaga kesehatannya. Tiap jam 5 pagi dan jam 5 sore pasti minum obat. Yang mengingatkan juga banyak. Terutama isterinya. Bila tidak aktivitas bersama maka pasti menelepon untuk mengingatkan. Ternyata obat itu bukan obat untuk mengobati namun obat untuk menyambungkan atau biar connect antar organ tubuh dengan anggota organ tubuh yang baru. Karena organ tubuh yang dicangkok itu milik orang lain. Dengan perkembangan ilmu pengetahuan maka ditemukanlah obat seperti itu. Dan juga setiap pagi masih sempat lari pagi di sekitar monas. Padahal kalau melihat aktivitasnya sebagai seorang menteri sebenarnya luar biasa padat. Namun ada kemauan yang keras dari dirinya bahwa bonus usia pasca pencangkokan hati harus digunakan semaksimal mungkin untuk kegiatan yang bermanfaat. Maka aktivitas yang berjibun itu tetap saja dilalui dengan penuh tanggungjawab sambil menjaga kesehatan tubuh dengan istikomah berolahraga.
Kalau pejabat, pegawai, karyawan biasanya ada fasilitas asuransi kesehatan. Sehingga bila sakit ada asuransi yang membiayai. Lalu bagaimana untuk saudara kita yang kurang mampu bagaimana mengatasinya? Ada memang fasilitas jamkesmas atau jamkesda. Namun masih ada yang belum mendapatkan. Bahkan salah alamat. Sehingga ada adegium orang miskin dilarang sakit. Padahal manusia galibnya bisa sakit. Lalu apa mungkin? Saya ingat ketika masih kecil dulu. Di sekolah bapak ibu guru menggambarkan bahwa tanah di negeri kita Indonesia itu loh jinawi. Batang yang ditancapkan ke tanah pasti berbuah. Belum lagi kekayaan alam yang melimpah ruah. Belum lagi yang wilayahnya sangat luas. Baik daratan maupun lautan. Bahkan perairan kita termasuk terluas di muka bumi ini. Cukup untuk kehidupan rakyatnya. Terkadang saya iri melihat Brunei Darussalam dan Maroko. Sebenarnya luasnya kecil. Namun bisa membebaskan rakyatnya di bidang kesehatan dan pendidikan hingga perguruan tinggi. Minimal pendidikanlah. Pertanyaannya kemudian lalu ada apa di negeri ini?
Kebutuhan selain lima di atas tergolong kebutuhan tambahan. Atau orang lain menamakan dengan kebutuhan tersier dan quarter. Bukan berarti kebutuahan ini tidak boleh dipenuhi, boleh. Hanya saja bila sudah ada dana untuk memenuhinya. Lha, bila tidak maka akan bisa “dedel duwel”. Ini istilah orang desa saya lho. Misalnya kebutuhan akan mobil yang baru. Sementara orang mengatakan bahwa mobil adalah kebutuhan. Karena bila kepala madrasah memang kayaknya wajib karena melihat mobilitasnya yang tinggi. Dan juga untuk menjaga kewibawaan. Apalagi pejabat. Guyonannya teman bila melihat pejabat tidak bawa mobil itu dikatakan sebagai “pejabat yang tidak pinter”. Lho, kok bisa begitu. Karena pejabat jenis seperti ini tidak doyan uang. Dan jumlahnya sedikit sekarang ini. Min jumlatil qalil.
Kalau melihat teori ilmu sosial bila seseorang naik status sosialnya maka akan mengerek kebutuhannya. Dengan kata lain berbanding tegak lurus antara status sosial dan kebutuhan. Maka secara tidak langsung pendapatannya juga harus naik. Karena bila tidak naik akan besar pasak daripada tiang. Dan kalau sudah seperti ini akan susah hidup. Minimal akan terus berpikir bagaimana mendapatkan uang, uang dan uang.
Di sisi yang lain sekarang ini seseorang dilihat dari sisi materi, finansial. Orang akan dilihat ini orang kaya atau bukan. Parameter yang mudah diantaranya orang ini naik apa? Naik mobil atau apa? Lalu mobilnya apa? Dan sebagainya. Bila tidak maka rasa hormatnya berkurang. Dan memang ada gejala orang juga ingin seperti ini. Ingin memiliki mobil dan barang-barang sejenis. Bila perlu harus berhutang. Jadilah hutangnya beranak-pinak.
Beberapa waktu yang lalu ada cerita seorang calon bupati yang terbelit hutang lalu menjadi gila. Apakah hutang tidak boleh untuk memenuhi kebutuhan. Boleh saja. Memang juga dalam salah satu riwayat Kanjeng Nabi juga pernah berhutang. Adanya masalah dalam kehidupan sebenarnya yang membuat adalah manusianya sendiri. Bila ingin menikmati hidup dengan berhutang boleh. Begitu pula boleh menikmati hidup tanpa hutang. Ini soal pilihan. Mau memilih yang mana? Terserah saja. Hanya tiap pilihan ada konsekwensinya.
Lalu seumpama kejadian sudah terlanjur. Pinjaman lumayan banyak. Pendapatan tidak cukup untuk menutupi angsuran lalu bagaimana? Ada solusi. Pasti ada. Hanya saja. Mau dan mampu tidak untuk menjalankannya. Karena hal ini berkaitan dengan rasa malu, harga diri, kehormatan keluarga dll. Namun bila menilik dari pakar manajemen perubahan Rhenald Kasali seberapun kesalahan dalam berjalan masih ada kesempatan untuk berubah. Maka disini perlu perubahan hidup. Dari menderita menjadi bahagia. Dan ini bagian juga dari ikhtiar. Daripada dikejar-kejar hutang.
Memang petugas bank akan selalu menawari untuk mengambil pinjaman dengan muka manis dan kata-kata yang melenakan. Hanya saja akan berbalik begitu kejam ketika terlambat membayar angsuran. Dan ini memang kehidupan nyata.
Ada pakar masalah ini namanya Burhan Thohir. Anak buahnya biasa memanggil dengan Abah. Ternyata beliau adalah alumni dari Pondok Pesantren Langitan Tuban. Nganggsu kawruh disana selama 12 tahun. Waktu yang cukup lama bagi seorang santri. Beliau juga mengisi pengajian di mana-mana diantaranya di masjid polda. Antara lain yang disampaikan beliau adalah masalah yang ada adalah akibat ulah manusia sendiri. Orang hutang itu memaksa dirinya. Sebenarnya tidak mampu dipaksa mampu. Akhirnya bingung. Karena namanya hutang harus dibayar. Bila tidak mampu ya ditagih oleh yang minjami. Untuk mengurangi resiko dan ini banting setir adalah menjual aset yang ada. Digunakan untuk menyelesaikan hutang-hutangnya. Mungkin tidak cukup minimal bisa mengurangi jumlah hutang. Berarti pula mengurangi tanggungan pikiran. Pikiran agak sedikit lega dan bisa bernafas lebih panjang.
Dampaknya mungkin menjadi bahan pembicaraan orang sekampung. Ya, dibiarkan saja. Memang orang lain punya mulut digunakan untuk berbicara. Dibiarkan saja. Tetap berbuat baik dengan mereka. Semuanya dipasrahkan kepada yang Kuasa sambil terus ikhtiar menata kehidupan, menggapai mimpi yang belum sampai. Apalagi mau lebih mendekat kepada yang menciptakan manusia dengan memperbaiki sholat, puasa, sholat malam dan memperbanyak istighfar. Mengapa kok istighfar? Karena istighfar adalah permintaan ampun atas kesalahan kepada Allah. Dengan terus menerus memohon ampun dan bila Allah berkenan memberi ampunan niscaya ada pertolongan yang akan diberikan untuk kelapangan jalan hidup. Lalu berusaha menekuni profesi yang ada. Mungkin profesi yang sudah dipegang adalah salah satu maisyah yang disediakan Tuhan. Penghasilan yang diterima disyukuri. Bila ini sudah dilakukan insya Allah Gusti Allah akan memberi nikmat yang berlipat.
Bila orang kaya banyak hutang ya itu bukan bualan. Memang seperti itu. Orang Tionghoa melakukan hutang karena untuk memperbesar usahanya. Sehingga ada sirkulasi keuangan yang maton dan mantap. Sehingga tidak ada kebingunan untuk membayar hutangnya. Inilah yang namanya hutang sehat. Hutang yang digunakan untuk kebutuhan produktif bukan konsumtif semata. Sehingga ada kemampuan untuk membayar dan tidak membebani dalam  hidup. Wallahu a’lam bi al shawab.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar