Manusia dipilih oleh Allah sebagai khalifah fil ardh. Sebagai penguasa di muka bumi. Alangkah mulia dan besar tanggungjawabnya. Mengapa tidak memilih malaikat, jin dan makhluk yang lain tetapi malah manusia yang bisa menumpahkan darah? Manusia terpilih karena diciptakan dalam bentuk yang sempurna. Fi ahsani taqwim. Dianugerahi bentuk rupa yang menawan, dilengkapi panca indera, akal untuk berfikir dan nafsu untuk menggapai keinginan yang ada dalam pikiran.
Karena menjadi pemimpin di muka
bumi dengan hamparan alam semesta yang luas dan sangat kaya lalu berfikir ini
mau diapakan dan bagaimana cara pemanfaatannya? Dengan ilmu pengetahuan yang
dipunyai manusia bisa mengelola, mendayagunakan dan memetik hasil untuk
keberlangsungan hidup. Berbagai alat diciptakan untuk memudahkan hidup.
Hidup bisa terus berlangsung
karena kebutuhan bisa terpenuhi. Kebutuhan primer sebagai kebutuhan pokok bisa
dipenuhi dengan layak. Kebutuhan ini diantaranya sandang, pangan, papan,
kesehatan dan pendidikan. Kebutuhan pakaian seluruh anggota keluarga bisa
disediakan. Dan cukup layak walau tidak bisa membeli di supermarket tiap bulan.
Namun masih pantas pakai. Lalu kebutuhan pangan berupa makanan sehari-hari
masih layak dan bisa dipenuhi. Walau tidak sama dengan orang yang tinggal di
villa dan di komplek perumahan mewah. Namun kebutuhan gizi lumayan cukup untuk
pertumbuhan dan perkembangan anak. Apalagi yang profesi kepala rumah tangga
sebagai pegawai negeri lumayan mendapat jatah makan setiap bulan. Cukup untuk
memenuhi kebutuhan pangan walau terbilang cukup.
Lalu papan, kebutuhan tempat
tinggal ini juga sangat penting. Mengapa penting? Karena rumah sebagai tempat
berlabuh, tempat kembali dari bekerja dan aktivitas. Bagaimana rasanya keluar
bekerja namun tidak mempunyai tempat untuk pulang? Sangat menyedihkan. Sehingga
walau rumah sepetak, manusia pastilah ingin ada tempat untuk berteduh. Apalagi
sudah mempunyai anak isteri. Kebutuhan akan rumah menjadi tidak terelakkan.
Maka sangat logis bila orang jaman dahulu bahkan harus bertempat di gua. Sebagai
tempat tinggal. Oleh karena sekarang harga tanah dan rumah lipat berkali-kali
dengan penghasilan maka orang berfikir bagaimana bisa mencari rumah sesuai
dengan kemampuan. Maka ada opsi kontrak, kost, atau 5M. Istilah ini saya
dapatkan dari tetangga rumah waktu saya masih menjadi keluarga muda. Lalu saya
tanya apa maksudnya 5M itu? Ternyata ini sebenarnya sindirian. Yang maksudnya
“madep, mantep, mangan melu maratua”. Maksudnya keluarga yang menggantungkan
hidup dari mertua. Baik papan, makan bahkan kebutuhan sehari-hari masih ikut
orang tua. Orang tua semacam ini wah sangat baik sekali. Menyadari kalau anak
dan menantunya belum siap untuk hidup sendiri. Pada masa ini, orang tua
memaklumi dan memberi kesempatan bagi keluarga baru untuk berlatih hidup. Menyiapkan
hidup sambil dilepas kepalanya dan dipegang ekornya. Namun bagi orang tua yang
sadar biasanya membatasi jangka waktu ini. Bisa setahun maksimal dua tahun. Dan
selanjutnya anak harus pisah dari orang tua. Tokh, orang tua sudah tidak punya
kewajiban membiayai lagi.
Oleh karena rumah urgen bagi
sebuah keluarga maka sejak menikah sudah seharusnya memikirkan “gubug”nya mau
dimana. Karena bila tidak berfikir kearah sana dan menikmati penghasilan yang
ada untuk hal yang bukan primer misalnya kebutuhan konsumtif bisa saja nanti
sampai usia tidak produktif belum punya rumah. Padahal sudah mempunyai cucu.
Ini bisa saja terjadi. Karena terlalu lama tinggal di rumah mertua, dikost,
hanya kontrak atau bahkan di rumah dinas. Namun ada juga teman yang mencoba memprioritaskan
pendidikan dulu. Selagi masih muda, keluarga juga mendukung meneruskan ke
jenjang pendidikan lebih lanjut. Beberapa tahun kemudian studinya selesai. Baru
memikirkan membuat rumah. Ini hanya soal pilihan saja.
Mengenai kebutuhan akan pendidikan
tidak terelakkan. Ini juga kebutuhan dasar. Karena dengan ilmu pengetahuanlah
manusia akan mempunyai derajat kemanusiaan. Manusia akan bisa bermanfaat dan
bisa mengelola alam hanya dengan ilmu. Maka banyak orang tua yang menanam modal
atau investasi pendidikan kepada anak-anaknya dari pada meninggalkan harta
banyak namun miskin akan ketrampilan dan ilmu. Memang yang lebih baik
meninggalkan harta dan ilmu serta akhlak kepada anak. Agar nantinya menjadi
generasi muslim yang kuat dan tangguh. Dari pada meninggalkan generasi yang
lemah segala-galanya. Baik ilmu, harta, akhlak dan sebagainya.
Kebutuhan dasar yang lain adalah
kesehatan. Manusia bisa melakukan aktivitas bila badannya sehat. Sehat secara
jasmani menjadi kebutuhan. Alangkah tidak nyamannya bila bekerja sedang badan
dalam kondisi tidak fit. Jadinya tidak maksimal hasilnya. Maka untuk
mendapatkan tubuh yang sehat harus mau dan dipaksa dengan berolahraga. Ada
contoh yang baik dari Dahlan Iskan. Oleh karena sudah cangkok hati maka sangat
menjaga kesehatannya. Tiap jam 5 pagi dan jam 5 sore pasti minum obat. Yang
mengingatkan juga banyak. Terutama isterinya. Bila tidak aktivitas bersama maka
pasti menelepon untuk mengingatkan. Ternyata obat itu bukan obat untuk
mengobati namun obat untuk menyambungkan atau biar connect antar organ tubuh
dengan anggota organ tubuh yang baru. Karena organ tubuh yang dicangkok itu
milik orang lain. Dengan perkembangan ilmu pengetahuan maka ditemukanlah obat
seperti itu. Dan juga setiap pagi masih sempat lari pagi di sekitar monas.
Padahal kalau melihat aktivitasnya sebagai seorang menteri sebenarnya luar
biasa padat. Namun ada kemauan yang keras dari dirinya bahwa bonus usia pasca
pencangkokan hati harus digunakan semaksimal mungkin untuk kegiatan yang
bermanfaat. Maka aktivitas yang berjibun itu tetap saja dilalui dengan penuh
tanggungjawab sambil menjaga kesehatan tubuh dengan istikomah berolahraga.
Kalau pejabat, pegawai, karyawan
biasanya ada fasilitas asuransi kesehatan. Sehingga bila sakit ada asuransi
yang membiayai. Lalu bagaimana untuk saudara kita yang kurang mampu bagaimana
mengatasinya? Ada memang fasilitas jamkesmas atau jamkesda. Namun masih ada
yang belum mendapatkan. Bahkan salah alamat. Sehingga ada adegium orang miskin
dilarang sakit. Padahal manusia galibnya bisa sakit. Lalu apa mungkin? Saya
ingat ketika masih kecil dulu. Di sekolah bapak ibu guru menggambarkan bahwa
tanah di negeri kita Indonesia itu loh jinawi. Batang yang ditancapkan ke tanah
pasti berbuah. Belum lagi kekayaan alam yang melimpah ruah. Belum lagi yang
wilayahnya sangat luas. Baik daratan maupun lautan. Bahkan perairan kita
termasuk terluas di muka bumi ini. Cukup untuk kehidupan rakyatnya. Terkadang
saya iri melihat Brunei Darussalam dan Maroko. Sebenarnya luasnya kecil. Namun
bisa membebaskan rakyatnya di bidang kesehatan dan pendidikan hingga perguruan
tinggi. Minimal pendidikanlah. Pertanyaannya kemudian lalu ada apa di negeri
ini?
Kebutuhan selain lima di atas
tergolong kebutuhan tambahan. Atau orang lain menamakan dengan kebutuhan tersier
dan quarter. Bukan berarti kebutuahan ini tidak boleh dipenuhi, boleh. Hanya
saja bila sudah ada dana untuk memenuhinya. Lha, bila tidak maka akan bisa
“dedel duwel”. Ini istilah orang desa saya lho. Misalnya kebutuhan akan mobil
yang baru. Sementara orang mengatakan bahwa mobil adalah kebutuhan. Karena bila
kepala madrasah memang kayaknya wajib karena melihat mobilitasnya yang tinggi.
Dan juga untuk menjaga kewibawaan. Apalagi pejabat. Guyonannya teman bila
melihat pejabat tidak bawa mobil itu dikatakan sebagai “pejabat yang tidak
pinter”. Lho, kok bisa begitu. Karena pejabat jenis seperti ini tidak doyan
uang. Dan jumlahnya sedikit sekarang ini. Min jumlatil qalil.
Kalau melihat teori ilmu sosial
bila seseorang naik status sosialnya maka akan mengerek kebutuhannya. Dengan
kata lain berbanding tegak lurus antara status sosial dan kebutuhan. Maka
secara tidak langsung pendapatannya juga harus naik. Karena bila tidak naik
akan besar pasak daripada tiang. Dan kalau sudah seperti ini akan susah hidup.
Minimal akan terus berpikir bagaimana mendapatkan uang, uang dan uang.
Di sisi yang lain sekarang ini
seseorang dilihat dari sisi materi, finansial. Orang akan dilihat ini orang
kaya atau bukan. Parameter yang mudah diantaranya orang ini naik apa? Naik
mobil atau apa? Lalu mobilnya apa? Dan sebagainya. Bila tidak maka rasa
hormatnya berkurang. Dan memang ada gejala orang juga ingin seperti ini. Ingin
memiliki mobil dan barang-barang sejenis. Bila perlu harus berhutang. Jadilah
hutangnya beranak-pinak.
Beberapa waktu yang lalu ada
cerita seorang calon bupati yang terbelit hutang lalu menjadi gila. Apakah
hutang tidak boleh untuk memenuhi kebutuhan. Boleh saja. Memang juga dalam
salah satu riwayat Kanjeng Nabi juga pernah berhutang. Adanya masalah dalam
kehidupan sebenarnya yang membuat adalah manusianya sendiri. Bila ingin
menikmati hidup dengan berhutang boleh. Begitu pula boleh menikmati hidup tanpa
hutang. Ini soal pilihan. Mau memilih yang mana? Terserah saja. Hanya tiap
pilihan ada konsekwensinya.
Lalu seumpama kejadian sudah
terlanjur. Pinjaman lumayan banyak. Pendapatan tidak cukup untuk menutupi
angsuran lalu bagaimana? Ada solusi. Pasti ada. Hanya saja. Mau dan mampu tidak
untuk menjalankannya. Karena hal ini berkaitan dengan rasa malu, harga diri,
kehormatan keluarga dll. Namun bila menilik dari pakar manajemen perubahan
Rhenald Kasali seberapun kesalahan dalam berjalan masih ada kesempatan untuk
berubah. Maka disini perlu perubahan hidup. Dari menderita menjadi bahagia. Dan
ini bagian juga dari ikhtiar. Daripada dikejar-kejar hutang.
Memang petugas bank akan selalu
menawari untuk mengambil pinjaman dengan muka manis dan kata-kata yang
melenakan. Hanya saja akan berbalik begitu kejam ketika terlambat membayar
angsuran. Dan ini memang kehidupan nyata.
Ada pakar masalah ini namanya
Burhan Thohir. Anak buahnya biasa memanggil dengan Abah. Ternyata beliau adalah
alumni dari Pondok Pesantren Langitan Tuban. Nganggsu kawruh disana selama 12
tahun. Waktu yang cukup lama bagi seorang santri. Beliau juga mengisi pengajian
di mana-mana diantaranya di masjid polda. Antara lain yang disampaikan beliau
adalah masalah yang ada adalah akibat ulah manusia sendiri. Orang hutang itu
memaksa dirinya. Sebenarnya tidak mampu dipaksa mampu. Akhirnya bingung. Karena
namanya hutang harus dibayar. Bila tidak mampu ya ditagih oleh yang minjami.
Untuk mengurangi resiko dan ini banting setir adalah menjual aset yang ada.
Digunakan untuk menyelesaikan hutang-hutangnya. Mungkin tidak cukup minimal
bisa mengurangi jumlah hutang. Berarti pula mengurangi tanggungan pikiran.
Pikiran agak sedikit lega dan bisa bernafas lebih panjang.
Dampaknya mungkin menjadi bahan
pembicaraan orang sekampung. Ya, dibiarkan saja. Memang orang lain punya mulut
digunakan untuk berbicara. Dibiarkan saja. Tetap berbuat baik dengan mereka.
Semuanya dipasrahkan kepada yang Kuasa sambil terus ikhtiar menata kehidupan,
menggapai mimpi yang belum sampai. Apalagi mau lebih mendekat kepada yang
menciptakan manusia dengan memperbaiki sholat, puasa, sholat malam dan
memperbanyak istighfar. Mengapa kok istighfar? Karena istighfar adalah
permintaan ampun atas kesalahan kepada Allah. Dengan terus menerus memohon
ampun dan bila Allah berkenan memberi ampunan niscaya ada pertolongan yang akan
diberikan untuk kelapangan jalan hidup. Lalu berusaha menekuni profesi yang
ada. Mungkin profesi yang sudah dipegang adalah salah satu maisyah yang
disediakan Tuhan. Penghasilan yang diterima disyukuri. Bila ini sudah dilakukan
insya Allah Gusti Allah akan memberi nikmat yang berlipat.
Bila orang kaya banyak hutang ya
itu bukan bualan. Memang seperti itu. Orang Tionghoa melakukan hutang karena
untuk memperbesar usahanya. Sehingga ada sirkulasi keuangan yang maton dan
mantap. Sehingga tidak ada kebingunan untuk membayar hutangnya. Inilah yang
namanya hutang sehat. Hutang yang digunakan untuk kebutuhan produktif bukan
konsumtif semata. Sehingga ada kemampuan untuk membayar dan tidak membebani
dalam hidup. Wallahu a’lam bi al shawab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar