Istilah di atas sebenarnya sudah
sangat familier di dengar. Bahkan anak-anak pun sudah banyak yang pernah
mendengar. Ternyata itu khasanah ilmu dan juga hikmah. Bila kita mau meresapi,
lalu mengamalkan niscaya akan ada tuahnya, ada hasilnya.
Bersungguh-sungguh maka berhasil
adalah arti man jadda wa jada. Mengenai arti ini sesungguhnya banyak tinggal
siapa yang mengartikan. Karena padanannya banyak sekali. Seperti juga siapa
yang menanam pasti memanen, siapa yang bersungguh-sungguh akan mendapatkan
impiannya, siapa yang bekerja maka akan mendapatkan upah dan sebagainya.
Ungkapan ini memang perlu kita
tularkan juga pada anak didik kita. Memang dalam kehidupan tidak seindah
seperti yang dibayangkan. Dalam tayangan televisi yang sering terlihat adalah
sejak kecil hidup enak, serba ada, ada fasilitas cukup, kebutuhan terpenuhi,
ingin rekreasi bisa ke luar negeri, mendapatkan pendidikan yang terbaik, ketika
sudah dewasa mendapatkan harta yang berlimpah seperti sinetron. Apa pasti
seperti itu? Sepertinya ada ya dan ada yang tidak. Namun yang perlu digaris
bawahi bahwa kehidupan seperti roda pedati. Kadang di atas kadang di bawah.
Kalau sejak kecil anak sudah dan selalu di manja maka akan mendapatkan generasi
yang cengeng, selalu mengeluh dengan keadaan yang ada, akibatnya akan
mendapatkan generasi yang cepat cemas, cepat frustasi, depresi dan tentu saja
tidak bisa diandalkan untuk menghadapi tantangan dan persaingan hidup yang
semakin kompetitif.
Maka sangat penting arti
pendidikan. Dari pendidikan itu akan didapatkan hal yang baru untuk melatih
ketrampilan dan menambah ilmu sebagai bekal hidup. Dan ini bisa di dapatkan di
lembaga pendidikan manapun. Bisa lembaga pendidikan yang mewah, cukup dan
biasa-biasa saja. Memang kalau menilik dari sarana prasarana yang cukup diharapkan
bisa menghasilkan out put pendidikan yang kredibel yang mumpuni. Namun ternyata
untuk menjadi out come tidak hanya variabel itu saja. Ada faktor x yang juga
berperan.
Ada cerita seorang guru. Mulai
MI, MTs, MA hingga kuliah S2 semuanya diperoleh dari lembaga swasta. Ketika
sudah menjadi pegawai negeri ternyata kariernya lancar saja. Bahkan menjadi
kepala madrasah negeri masih berusia muda hingga dipromosikan menjadi kepala
madrasah di tingkatan lebih atas. Mengalahkan teman sejawatnya yang out put lembaga
pendidikan negeri. Jadi ada variabel lain yang turut menentukan nasib orang.
Mungkin karena etos kerjanya, mungkin karena empatinya, pandai bergaul, punya
integritas, punya inovasi. Memang semuanya adalah variabel bebas yang juga
turut menentukan karier.
Maka tidak jaminan seorang yang
pandai secara akademis pasti sukses hidupnya. Terkadang oleh karena merasa
pandai menjadi sombong, tidak bisa bekerja sama, tidak menghargai orang lain. Atau
juga kurangnya rasa trust, kepercayaan. Memang diakui bahwa kepercayaan
sekarang ini termasuk barang langka. Dan sebenarnya ini sudah dicontohkan oleh
Kanjeng Nabi Muhammad pada masa sebelum menerima risalah ilahi. Yakni dipercaya
untuk menyelesaikan penempatan hajar aswad di Pojok Ka’bah. Padahal ada
beberapa kabilah yang paling merasa berhak untuk melaksanakannya. Dengan Nabi
bisa menyelesaikan permasalahan ini sehingga beliau dijuluki al-amin, yang bisa
dipercaya. Berkaitan dengan hal ini lalu Golembiewski, Billingsley dan Yeager mengemukakan
teori
perubahan Alfa Beta dan Gamma. Diantara hal yang dikemukakannya adalah awal
dari perubahan organisasi adalah terbentuknya team building yang solid. Lalu
dilihat kemudian adalah sifat trust di dalam team itu. Terakhir diteropong
apakah perubahan yang terjadi disebabkan adanya team building, atau trust atau
mungkin ada variabel lain yang turut mempengaruhi.
Padahal sebagaimana yang
disampaikan oleh Dahlan Iskan orang pandai agar tidak tersingkir dalam
kehidupan harus melengkapi dirinya dengan kecerdasan emosi. Diantaranya kemampuan
mengenali siapa dirinya, mengenali diri orang lain, empati, dan mau
bekerjasama. Apa gunanya pandai dan sok bersih misalnya sehingga malah dijauhi
temannya. Bukannya tidak boleh bersih namun dalam kehidupan memang membutuhkan
bisa bekerjasama dengan orang lain. Karena pada dasarnya manusia tidak bisa
hidup sendiri. Bila ini terjadi maka ada harmoni kehidupan. Dan akan bisa
menikmati hidup kalau seperti ini.
Istilah man jadda wa jada sangat
sesuai dalam kehidupan. Orang sukses dan besar dimulai dari sifat tekun, kerja
keras, berani menghadapi cobaan, rintangan dan hambatan yang datang
bertubi-tubi. Lalu juga tidak terlena dengan kegagalan sementara atau kesuksesan
sementara. Seperti cerita Ibnu Hajar. Ketika menuntut ilmu di sebuah lembaga
pendidikan dirasakan sangat sulit masuknya ilmu ke dalam otak. Hingga merasa
tidak mampu. Lalu pulang. Di tengah perjalanan sambil melepas lelah dilihatnya
air menetes dari atas dan jatuh pada bebatuan besar. Dilihatnya batu yang
terkena tetesan selama bertahun-tahun itu ternyata cekung membentuk sebuah
lubang. Ada inspirasi dalam dirinya. Batu saja bisa tembus oleh tetesan air
berarti bila mau tekun menuntut ilmu, sabar menghadapi cobaan dan gangguan
dalam belajar pastilah sampai tujuan pula. Maka Ibnu Hajar tidak jadi pulang
padahal sudah pamit. Kembali lagi dan bergelora cita-citanya untuk melanjutkan
studinya. Akhirnya menjadi ulama yang terkenal dan mengarang beberapa kitab.
Yang perlu diwariskan dan
disampaikan kepada anak didik bahwa hidup ini bukan seperti sinetron di tv.
Yang kehidupannya serba enak. Ada perpaduan dua hal kadang bisa tertawa dan
menangis, gembira dan sedih. Sebagaimana ada siang dan malam. Pastilah dalam
mengarungi kehidupan ada rintangan yang menghadang. Rintangan ini perlu
dimaknai sebagai kegagalan sementara. Sehingga perlu lebih ditambah ikhtiarnya.
Walau demikian harus terus maju menggapai cita-cita kehidupan dengan penuh
semangat.
Ketika sudah hampir berhasil
jangan terlena. Ini masih kesuksesan sementara. Jangan lantas berbuat dan
bertindak sesuka hati. Nanti malah menggerogoti kesuksesan itu sendiri. Masih
perlu sabar dulu. Menyesuaikan antara keinginan dan kemampuan. Agar nanti tidak
berat sebelah. Dan bahkan tidak sampai pada tujuan semula.
Akhirnya man jadda wa jada akan
terbukti dalam kenyataan. Siapa yang menanam akan memanen. Begitu juga dalam
hal ibadah. Kalau ibadahnya ikhlas mengharap ridha Allah maka timbangan dan
perhitungan amal akan sesuai dengan yang dilakukan. Allah tidak akan mengurangi
dan pastilah akan berbuat adil seadil-adilnya. Semoga pertolongan Allah akan
senantiasa kita dapatkan di kala senang dan susah. Dan memberi petunjuk terbaik
dalam hidup kita. Amin. Wallahu a’lam bi al shawab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar