Rabu, 22 Februari 2012

Makna Bekerja

Seorang muslim memaknai kehidupan di dunia ini sebagai ladang amal saleh. Atau ladang untuk beribadah kepada Tuhan. Dengan sendirinya berusaha memaksimalkan waktu yang ada untuk beribadah. Dalam beribadah sendiri membutuhkan perangkat untuk kesempurnaan yang namanya sah. Seperti penutup aurot yang terdiri atas sarung bagi laki-laki dan mukena untuk perempuan.
Untuk mendapatkan perangkat sholat tersebut membutuhkan alat tukar yang namanya uang. Dan uang sendiri di dapat diantaranya dengan jalan bekerja. Jadi orang setiap hari bekerja dari pagi hingga siang atau sore atau sebaliknya digunakan untuk mendapatkan rizki. Yang akan digunakan untuk mememuhi kehidupan di dunia ini.
Bekerja bisa bermakna macam-macam. Tinggal dilihat dari sudut mana dan siapa yang berbicara. Ada makna yang sederhana dari Kiai Ghozali Pandanasri allahu yarham. Pada suatu ketika dalam pengajian rutin. Bekerja itu pokoknya keluar rumah. Bahkan dicontohkan bisa saja seseorang memindahkan batu bata dari samping kanan rumah ke samping kiri rumah. Itu sudah dikatakan bekerja. Lalu demi melihat ada orang bekerja bisa saja para tetangga membawakan makanan, minuman dan tenaga juga. Contoh mudah lain sebenarnya apa yang dilakukan para pemangku pondok pesantren. Beliau mengajar santri dari pagi hingga malam. Waktu hanya fokus untuk mendidik santri. Oleh karena sudah berkhitmah untuk agama dan menyebarkan ilmu untuk generasi masa depan Gusti Allah sudah mempunyai rencana sendiri. Nyatanya para pengasuh pondok bisa menghidupi keluarga dengan cukup. Bahkan ada beberapa santri yang ikut dalam tanggungan keluarga ndalem. Caranya wallahu a’lam.
Bila melihat pegawai memang dirasa ada peningkatan kesejahteraan dari tahun ke tahun. Sehingga banyak orang yang ingin menjadi pegawai. Padahal jumlah rekrutmen terbatas setiap tahun. Mau tidak mau para lulusan perguruan tinggi harus berani menciptakan lapangan pekerjaan baru. Untuk bisa digunakan untuk beraktivitas bagi dirinya dan teman-temannya. Hal itu juga yang dialami oleh lulusan perguruan tinggi Islam. Hitungan kasar menunjukkan lulusan IAIN/UIN yang berjumlah 20 buah rata-rata pertahun meluluskan 1000 sarjana. Berarti 20 ribu. Padahal bisa lebih dari itu. Begitu juga dari 33 STAIN taruhlah bisa meluluskan  500 orang bahkan ada beberapa STAIN yang mahasiswanya lebih dari itu. Belum lagi PTAIS yang berjumlah ribuan. Bisa jadi lulusan perguruan tinggi Islam tiap tahun meluluskan 100an ribu sarjana. Lalu mau dikemanakan mereka? Maka para pengambil kebijakan harus bisa arif dalam menyikapi permasalahan ini. Jangan hanya idealis untuk tafaqquh fid din. Lalu tidak diterima dalam lapangan pekerjaan. Bisa saja ada logika tidak ada sarjana agama yang nganggur dengan parameter mereka bisa bekerja di jalur dakwah mengembangkan masjid dan mushola. Ya benar. Namun masak semuanya harus bekerja sosial semua. Maka ada alternatif lain untuk menyiasati ini diantaranya seperti yang terjadi di Lamongan. Ada 800 Madrasah ibtidaiyah swasta begitu juga madrasah tsanawiyahnya. Ini secara tidak langsung akan menyerap lapangan pekerjaan yang banyak. Belum lagi bila mau membuka Taman Pendidikan Al-Qur’an, madrasah diniyah, PAUD dan TK. Lalu bagaimana dengan gedungnya? Bisa disiasati dengan menggunakan masjid dan mushola yang tersebar di setiap desa. Bahkan ada satu desa yang lebih dari satu masjid dan musholanya bisa berjumlah puluhan. Hal ini bisa diberdayakan. Wallahu a’lam bi al shawab.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar