Seorang muslim memaknai kehidupan
di dunia ini sebagai ladang amal saleh. Atau ladang untuk beribadah kepada
Tuhan. Dengan sendirinya berusaha memaksimalkan waktu yang ada untuk beribadah.
Dalam beribadah sendiri membutuhkan perangkat untuk kesempurnaan yang namanya
sah. Seperti penutup aurot yang terdiri atas sarung bagi laki-laki dan mukena
untuk perempuan.
Untuk mendapatkan perangkat
sholat tersebut membutuhkan alat tukar yang namanya uang. Dan uang sendiri di
dapat diantaranya dengan jalan bekerja. Jadi orang setiap hari bekerja dari
pagi hingga siang atau sore atau sebaliknya digunakan untuk mendapatkan rizki.
Yang akan digunakan untuk mememuhi kehidupan di dunia ini.
Bekerja bisa bermakna
macam-macam. Tinggal dilihat dari sudut mana dan siapa yang berbicara. Ada
makna yang sederhana dari Kiai Ghozali Pandanasri allahu yarham. Pada suatu
ketika dalam pengajian rutin. Bekerja itu pokoknya keluar rumah. Bahkan
dicontohkan bisa saja seseorang memindahkan batu bata dari samping kanan rumah
ke samping kiri rumah. Itu sudah dikatakan bekerja. Lalu demi melihat ada orang
bekerja bisa saja para tetangga membawakan makanan, minuman dan tenaga juga.
Contoh mudah lain sebenarnya apa yang dilakukan para pemangku pondok pesantren.
Beliau mengajar santri dari pagi hingga malam. Waktu hanya fokus untuk mendidik
santri. Oleh karena sudah berkhitmah untuk agama dan menyebarkan ilmu untuk
generasi masa depan Gusti Allah sudah mempunyai rencana sendiri. Nyatanya para
pengasuh pondok bisa menghidupi keluarga dengan cukup. Bahkan ada beberapa
santri yang ikut dalam tanggungan keluarga ndalem. Caranya wallahu a’lam.
Bila melihat pegawai memang
dirasa ada peningkatan kesejahteraan dari tahun ke tahun. Sehingga banyak orang
yang ingin menjadi pegawai. Padahal jumlah rekrutmen terbatas setiap tahun. Mau
tidak mau para lulusan perguruan tinggi harus berani menciptakan lapangan
pekerjaan baru. Untuk bisa digunakan untuk beraktivitas bagi dirinya dan
teman-temannya. Hal itu juga yang dialami oleh lulusan perguruan tinggi Islam.
Hitungan kasar menunjukkan lulusan IAIN/UIN yang berjumlah 20 buah rata-rata
pertahun meluluskan 1000 sarjana. Berarti 20 ribu. Padahal bisa lebih dari itu.
Begitu juga dari 33 STAIN taruhlah bisa meluluskan 500 orang bahkan ada beberapa STAIN yang
mahasiswanya lebih dari itu. Belum lagi PTAIS yang berjumlah ribuan. Bisa jadi
lulusan perguruan tinggi Islam tiap tahun meluluskan 100an ribu sarjana. Lalu
mau dikemanakan mereka? Maka para pengambil kebijakan harus bisa arif dalam
menyikapi permasalahan ini. Jangan hanya idealis untuk tafaqquh fid din. Lalu
tidak diterima dalam lapangan pekerjaan. Bisa saja ada logika tidak ada sarjana
agama yang nganggur dengan parameter mereka bisa bekerja di jalur dakwah
mengembangkan masjid dan mushola. Ya benar. Namun masak semuanya harus bekerja
sosial semua. Maka ada alternatif lain untuk menyiasati ini diantaranya seperti
yang terjadi di Lamongan. Ada 800 Madrasah ibtidaiyah swasta begitu juga
madrasah tsanawiyahnya. Ini secara tidak langsung akan menyerap lapangan
pekerjaan yang banyak. Belum lagi bila mau membuka Taman Pendidikan Al-Qur’an,
madrasah diniyah, PAUD dan TK. Lalu bagaimana dengan gedungnya? Bisa disiasati
dengan menggunakan masjid dan mushola yang tersebar di setiap desa. Bahkan ada
satu desa yang lebih dari satu masjid dan musholanya bisa berjumlah puluhan.
Hal ini bisa diberdayakan. Wallahu a’lam bi al shawab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar