Senin, 27 Februari 2012

Kebutuhan dan Keinginan


Dalam jeda mengajar di ruang guru sambil refreshing, saya bercakap-cakap dengan pengurus yayasan pendidikan. Kebetulan dia sebagai sekretaris yayasan pendidikan yang lumayan besar. Menaungi lembaga pendidikan formal dan informal. Diantaranya smp islam, smk islam, madrasah aliyah, madrasah diniyah. Disamping itu ada koperasi pesantren, radio, dan beberapa yang lain. Dengan seabreg kegiatan memungkinkan ia berhubungan dengan banyak orang.
Suatu ketika ia bertemu dengan pengusaha toko buku yang sukses. Awalnya sebuah toko kecil. Berisi buku atau kitab kebutuhan pesantren. Lama-kelamaan bisa membeli tanah di seberang jalan dan sekarang dibangun toko buku dan kitab dua lantai. Juga menyediakan kebutuhan jajanan haji, kebutuhan ibadah sholat juga merambah ke pakaian. Karena sebegitu luas sehingga pekerjanya ada beberapa orang. Dilihat dari kesehariannya sekilas sederhana saja. Sehingga orang yang tidak tahu menganggap mungkin hanya orang biasa saja. Melihat hal tersebut teman saya tadi lantas bertanya bagaimana bisa seperti ini. Dari pertanyaan tadi lantas menjawab hal yang sederhana saja. Yakni disuruh membedakan antara kebutuhan dan keinginan.
Kalau dilihat sekilas dua kata tadi selintas mirip dan tidak berbeda. Karena sama-sama ingin dipenuhi. Namun bila lebih dicerna lagi ada bedanya. Kebutuhan bisa diartikan sesuatu yang harus dipenuhi. Bila tidak dipenuhi bisa menimbulkan kematian atau setidak-tidaknya madharatnya lebih banyak. Contoh yang mudah. Diantaranya kebutuhan makan. Suatu ketika saya pernah bertanya pada seorang dokter. Menurutnya walau seseorang bekerja berat sekalipun sebenarnya cukup dengan sebungkus nasi pecel seharga Rp 2.500,00 sekarang. Itu sudah cukup. Jadi bila dikalikan tiga kali makan plus teh mungkin sebesar Rp 9.000,00/hari. Hanya saja jangan sampai telat.itu sudah lumayan memenuhi kebutuhan gizi. Tidak perlu jaim, jaga imej. Maksudnya oleh karena naik mobil untuk memenuhi kebutuhan makan  harus di restoran. Sehingga sekali makan bisa menghabiskan ratusan ribu rupiah.
Kalau dilihat dari segi bisnis kalau waktunya membayar angsuran bank ya digunakan untuk mengangsur bukan lantas digunakan untuk mengambil mobil model sekarang. Sedang keinginan dari kata ingin. Mendapat tambahan ke-an. Keinginan adalah sesuatu yang ingin dipenuhi diatas kebutuhan. Dalam arti bukan hal pokok yang harus dipenuhi terlebih dahulu. Bisa saja ini adalah kebutuhan tingkatan sunah atau bahkan mubah. Dalam hal ini ada contoh menarik. Ada seorang dekan di sebuah perguruan tinggi negeri yang kemana-mana hanya membawa hp yang fiturnya sederhana saja. Minimal ada fasilitas sms dan telpon saja. Padahal komunitasnya para pejabat yang performancenya mentereng dan serba gemerlap. Memang disadari keinginan dan kebutuhan menyesuikan dengan pendapatan, status sosial dan gaya hidup. Hanya saja semuanya bisa diatur sesuai dengan pribadi masing-masing.
Memang dalam ajaran agama manusia tidak boleh boros dan pelit. Boros dengan menghambur-hamburkan harta yang tidak ada manfaatnya. Sedangkan pelit juga tidak boleh. Misalnya ada uang untuk membeli pakaian agar tidak menimbulkan belas kasihan orang lain maka harus membeli saja. Karena ada orang yang kemana-mana selalu membawa uang ratusan ribu dibalik kopyahnya. Sedang kopyah yang selalu dipakai ketika di sawah dan bepergian hingga tidak ada warnanya enggan membeli yang baru. Ada juga kecukupan harta namun untuk memeriksakan diri berobat ke dokter karena sakit masih pikir-pikir. Takut hartanya berkurang.
Memang dalam hidup kita dituntut untuk tawasut, tengah-tengah. Baik dalam hal berpikir, membelanjakan harta, dan bertingkah laku. Inilah bagian dari kearifan. Dalam berfikir tidak terlalu kiri sehingga dicap liberal juga tidak terlalu miring kekanan sehingga dicap fundamentalis hingga teroris. Namun tengah-tengah seperti para Kiai NU dalam bersikap jelasnya konsep ahlussunnah waljamaah an-Nahdliyah. Begitu juga dalam membelajankan harta dan bertingkah laku. Wallahu a’lam bi al shawab.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar