Arti memimpin adalah bagaimana bisa
menggerakkan orang menuju tujuan organisasi. Dengan ada pemimpin diharapkan
bawahan mau melaksanakan tugas dengan loyal dan penuh dedikasi sehingga
program-program yang sudah ditetapkan bisa dilaksanakan dengan lancar.
Pentingnya pemimpin sudah tidak diragukan lagi kebutuhannya. Bila ada pemimpin
birokrasi yang berhalangan entah karena sakit, cuti, tugas luar dalam jangka
waktu lama atau bahkan berhalangan tetap misalnya meninggal, dihukum maka akan
secepatnya dicarikan pengganti walau berupa plh (pelaksana harian) masih
sementara dan beberapa waktu kemudian diganti yang definitif, pgs (pelaksana
tugas biasanya masa jabatan diperpanjang hingga menunggu yang definitif) atau
dipilih langsung pemimpin yang definitif. Bahkan bila bepergian sejumlah tiga
orang saja disarankan memilih salah satu yang menjadi kepala rombongan.
Begitulah pentingnya adanya pemimpin. Jadi secara syar’i dan sosial adanya
pemimpin sangat penting untuk keberlangsungan suatu lembaga, komunitas,
masyarakat, bangsa dan negara.
Memimpin adalah seni. Banyak orang yang berkata
seperti itu. Dan banyak definisi berkaitan dengan itu. Sehingga teori tentang
kepemimpinan banyak sekali. Tinggal memilih yang mana. Hanya saja disini akan
dikemukakan tiga alat pendekatan dalam memimpin yang bisa ditemui dalam
keseharian kita.
Uang sebagai alat tukar banyak sekali
fungsinya. Diantaranya untuk membeli barang kebutuhan. Juga bisa digunakan
untuk membeli kekuasaan dan jabatan. Tidak lama dalam ingatan kita ketika
pilkades, pilkada, pemilu begitu juga ketika ada rotasi pejabat. Sayub-sayup
terdengar adanya politik uang. Memang benar dengan uang bisa memiliki segala
sesuatu. Sehingga ada anekdot uanglah yang berkuasa. Strategi apapun bisa buyar
bila uang sudah berbicara. Namun uang sifatnya temporer. Dalam arti jangka
waktunya tidak lama. Memang ada orang yang loyal selama masih ada uang. Begitu
juga jumlahnya. Semakin jumlahnya ditambahi maka semakin loyal. Begitu juga
sebaliknya. Jadi kepemimpinan atau jabatan berhasil karena uang tidak bisa
bertahan lama. Dan semakin butuh banyak modal pada periode berikutnya. Ada
pengakuan dari salah satu anggota DPR RI, Eva Kusuma Sundari. Ia asli dari
Nganjuk. Ketika mencalonkan diri pada tahun 2004 hanya butuh modal sekitar 250
juta. Namun pada pemilu keduanya tahun 2009 katanya butuh injeksi uang sebesar
1 miliar. Tentu saja penggunaannya beragam mulai iuran partai, penggalangan
massa, spanduk dll. Belum lagi pemilihan-pemilihan yang lain.
Lalu untuk mengikat bawahan dengan peraturan,
tata tertib, kode etik, undang-undang dan semacamnya. Dengan semua itu
diharapkan semua pegawai patuh pada peraturan yang ada dan bisa bekerja dengan
semestinya. Hanya saja pegawai mau saja melaksanakan itu semua namun terkadang
hanya setengah hati saja. Sebatas melaksanakan tugas selesai. Toh, gaji atau
upah diterima dengan lancar. Tidak usah neko-neko.
Ada pilihan lain yakni memimpin dengan hati. Pemimpin
dalam menjalankan tugasnya disamping terikat dengan aturan birokrasi yang ada
tetap bisa mencurahkan kasih sayang kepada anak buahnya, menjalin persaudaraan,
melapangkan hatinya, diberi penghargaan, ditempatkan pada posisi terhormat
sehingga bisa berkarya dengan maksimal, bila sudah waktunya naik pangkat dipermudah
tentu saja sesuai dengan peraturan, bila ada kesulitan empati untuk bisa
membantu memecahkan. Suasana seperti ini sangat kondusif untuk berkembang.
Pemimpin memposisikan diri di garda depan bila menghadapi resiko dan paling
belakang bila mendapati keuntungan dan materi.
Pemimpin seperti ini tidak akan lekang oleh
waktu dan segala kondisi. Dan dibutuhkan dalam segala zaman. Tergolong sebagai
tipe penggerak organisasi. Dalam situasi dan kondisi apapun bisa membawa
organisasi menuju kemajuannya. Karena sudah terbukti dan teruji bisa membawa
kebesaran dan produktivitas di UIN Maulana Malik Ibrahim Malang. Dan tentu saja
bisa dipraktekkan di lembaga pendidikan yang lain seperti madrasah dan sekolah.
Hanya saja untuk mencari pemimpin tipe terakhir
ini yang bisa dibilang sulit. Ada 1000 pemimpin, yang bertipe seperti ini
mungkin satu atau bahkan tidak ada. Namun tidak berarti tidak ada. Karena kalau
melihat jumlah penduduk di negeri kita yang berlimpah pastilah banyak yang
ingin memajukan lembaga pendidikan kita. Apalagi secara kualitas SDM banyak
sekali generasi muda yang sudah menyiapkan diri untuk hal tersebut. Wallahu
a’lam bi al shawab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar