Allah menciptakan segala sesuatu
serba berpasangan. Ada siang-malam, jantan-betina, laki-laki perempuan, benang
sari-putik, bahagia-sedih, kaya-miskin, susah-senang, luas-sempit, sehat-sakit,
tua-muda, mukmin-kafir, surga neraka dan masih banyak lagi yang lain. Kiranya
itu semua tidak kebetulan namun sudah by design Allah. Dan sebagaimana
dijelaskan bahwa alam semesta ini diciptakan untuk manusia sebagai khalifah fil
ardh. Manusia menjadi pemimpin, mengelola, memanfaatkan untuk kesejahteraannya.
Lalu sebagai manusia ada ada dua sisi yang perlu dipilih. Misalnya ada
keadaan berilmu atau sebaliknya bodoh. Kalau ingin menjadi manusia yang berguna
haruslah menuntut ilmu. Atau memilih menjadi sampah masyarakat ya tidak usah
bersusah payah mencari ilmu. Sebenarnya dengan berilmu banyak sekali manfaat
yang bisa diraih tentu saja akhir dari muara itu untuk mendapat ridha Allah
akhirnya memperoleh kebahagiaan di kehidupan selanjutnya.
Manusiawi juga bila suatu saat
diberi anugerah sakit. Sakit ada yang mengatakan sebagai cobaan ada juga yang
memaknai sebagai anugerah. Cobaan karena memang keadaan sakit tidak
mengenakkan. Mau beraktivitas terganggu, mau bergaul tidak bisa bebas seperti
ketika masih sehat, belum lagi merasakan sakit. Bila dirasakan pokoknya tidak
enak dan sekali tidak enak. Karena sakit maka harus berobat. Berobat berarti
mengeluarkan uang. Masih enak kalau mempunyai simpanan uang, atau punya
asuransi kesehatan bila tidak wah bagaimana berobatnya. Bagaimana lagi kalau
saudara kita yang tidak punya sakit? Pastilah sangat bingung pikirannya.
Inginnya cepat sembuh namun apa daya tidak ada sarana untuk berobat. Makanya
ada guyonan orang miskin dilarang sakit. Karena bila sakit kemampuan untuk
berobat sangatlah berat. Apalagi jenis penyakitnya aneh dan membutuhkan biaya
yang tidak sedikit.
Ada yang memaknai anugerah bila
bisa menyadari bahwa Gusti Allah masih mencoba hambanya yang disayang dengan
sakit. Apakah masih bisa bersyukur apa tidak. Banyak bukti dalam sejarah
tentang hal ini. Nabi Ayub AS diberi cobaan sakit yang tidak sebentar tapi
bertahun-tahun. Awalnya dalam keadaan kaya, sehat namun seiring dengan sakitnya
kekayaan yang ada digunakan untuk berobah hingga habis. Bahkan diceritakan
sampai harus memotong rambut untuk dijual agar bisa makan. Belum lagi
penderitaan isteri dan putra-putranya. Namun Sang Nabi masih bisa
mensyukurinya. Buktinya beribadahnya makin intensif. Hingga pada akhirnya
diberi kesembuhan juga. Tepat di tanggal 10 Muharram.
Penyebab sakit adalah perut.
Maksudnya isi dalam perut. Bila bisa menahan dan selektif apa yang boleh dan
tidak dimasukkan insya Allah bisa sehat. Buktinya Kanjeng Nabi sangat jarang
sakit. Menerima sakit ketika beliau menjelang wafat. Kuncinya makan sebelum
lapar dan berhenti sebelum kenyang. Dan untuk bisa seperti ini memang perlu
proses dan istikomah. Ada orang yang terindikasi tekanan darah tinggi dan
diabetes sehingga harus kontrol tiap bulan. Namun oleh karena kesibukan lupa
dan pola makannya tidak teratur. Ketika bertamu makan daging kambing dan sehari
sebelumnya makan sayur daun singkong langsung saja kambuh akhirnya masuk rumah
sakit. Bila bisa mengontrol makanan yang dimakan maka hasilnya luar biasa. Ada
teman yang bisa melaksanakan seperti itu dan alhamdulillah lebih sehat
dibanding dengan teman seusianya. Teman-temannya terkena stroke, kencing manis,
darah tinggi, dan sejenisnya. Alhamdulillah beliaunya ini wajahnya kelihatan masih
muda dan bila sakit ya sakit ringan saja misalnya flu dan batuk. Jadi apa yang
dicontohkan Kanjeng Nabi sejak 1400 tahun yang lalu masih pas untuk
dilaksanakan bagi kita umatnya.
Bila difikir sakit ternyata
memang merepotkan. Merepotkan anggota keluarga karena harus mondar-mandir ke
rumah sakit belum lagi masing-masing anggota keluarga harus tetap beraktivitas.
Apalagi bila jarak rumah sakit dan rumah lumayan jauh menjadi beban tersendiri.
Namun juga ada sisi merekatkan keluarga dan persaudaraan. Anggota keluarga
datang berkunjung sebagai bentuk perhatian, dan mendoakan. Selanjutnya tinggal
memilih makna sakit yang mana? Lalu menyesuaikan dilihat dari sudut pandang
mana? Wallahu a’lam bi al shawab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar