Rabu, 14 Desember 2011

Merawat Madrasah

Merawat berasal dari kata dasar rawat. Kata “rawat”  berarti di “diopeni” (bahasa Jawa). Bisa juga bermakna dijaga, diuri-uri agar tetap terjaga tetap lestari. Kata rawat ini biasa digunakan di rumah sakit. Disini ada istilah rawat inap dan rawat jalan. Rawat inap lebih pada pelayanan pasien yang harus menginap di rumah sakit lalu diobati di rumah sakit hingga sembuh. Sedangkan rawat jalan lebih pada konsultasi dan pengobatan dari rumah sakit lalu diteruskan di rumah pasien sendiri.
Sedang kata merawat lalu dihubungkan dengan madrasah berarti ada sesuatu yang perlu dijaga dengan madrasah. Sebagaimana diketahui madrasah adalah bentuk lain dari bagian pondok pesantren. Pondok pesantren sendiri adalah lembaga pendidikan tertua di negeri ini. Bahkan jauh sebelum negeri ini merdeka dari penjajahan. Pondok sendiri diperkirakan sudah ada sejak zaman wali songo. Para penyebar Islam di tanah Jawa. Sedang adanya pondok dimulai pada zaman Sunan Ampel di daerah Ampel Surabaya. Lalu para santri membuat pondok sendiri-sendiri di daerahnya. Hingga sekarang hampir seluruh tanah Jawa ada pondok pesantren. Begitu juga di daerah luar Jawa. Hingga jumlahnya ada puluhan ribu.
Kalau dulu hanya sistem bandongan, wetonan, sorogan saja. Lalu ada pembaharuan dimulai daari Pondok Tebuireng dengan sistem klasikal. Lalu disesuaikan dengan perkembangan kebutuhan menjadi sistem madrasah. Lambat laun ada proses penegerian dan ada juga yang masih status dikelola sendiri. Sistem madrasah yang otonom dan masih eksis hingga sekarang bahkan santrinya berjumlah ribuan misalnya Madrasah Hidayatul Mubatadiin Lirboyo Kediri. Belum lagi madrash-madrasah lain yang sejenis. Hal ini menunjukkan keberadaannya masih dibutuhkan oleh masyarakat dan tentu saja manejemennya diatur dengan baik. Sehingga banyak masyarakat yang mengirim putra-putrinya ngangsu kawruh ke madrasah pondok pesantren.
Madrasah yang dinegerikan tentu harusnya masih menjaga nilai-nilai pondok pesantren. Diantaranya nilai religuitas, pergaulan, kemandirian, kesederhanaan. Hal ini memang ditopang oleh sekolah yang berciri khas Islam. Jadi nilai-nilai keislaman harus tetap kentara. Dengan jumlah pelajaran akidah akhlak, fiqh, sejarah kebudayaan Islam, qur’an hadith, dan ada juga bahasa Arab. Ini diharapkan agar peserta didik lebih memahami ajaran agamanya. Dengan kualitatif seharusnya lebih “ngerti” peserta didiknya dibanding sekolah. Dan sekarang ini semua madrasah mulai ke tahap “pinter” dengan meningkatkan kualitas pendidikan agar juga sejajar dengan sekolah. Kedepan agar madrasah bisa mencetak generasi “pinter” dan “ngerti”.
Dalam tahap proses semua civitas akedemik madrasah berusaha menjaga nilai-nilai madrasahnya. Kegiatan PHBI harus tetap dilaksanakan, pembiasaan keagamaan juga perlu dijaga juga. Misalnya kalau guru laki-laki tetap bersongkok ketika mengajar di kelas, guru perempuan memakai rok panjang bukan celana panjang, sholat dhuha berjamaah, begitu juga sholat fardhu berjamaah. Belum lagi misalnya kemampuan baca al-Qur’an anak dan kemampuan bacaan sholat juga perlu terus dibina dan dikembangkan. Pada daerah tertentu kebiasaan “local wisdom” juga perlu dikenalkan kepada anak. Misalnya membaca kitab kuning, khataman qur’an dan membaca tahlil dan istighosah. Ini dikandung maksud agar nantinya anak tidak terasing dengan lingkungan sekitarnya. Bukankan ini juga bagian dari pendidikan. Dan juga pelestarian nilai-nilai budaya serta bernilai ibadah juga.
Ini semua akan bisa terlaksana bila ada kebersamaan dari semua pihak. Baik dari pimpinan madrasah, guru dan pegawai. Semoga bila ini terlaksana akan membawa kebaikan dan kemajuan madrasah di masa yang akan datang. Serta identitas madrasah akan tetap terawat dengan baik. Wallahu a’lam bi al shawab.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar