Merawat berasal dari kata dasar
rawat. Kata “rawat” berarti di “diopeni”
(bahasa Jawa). Bisa juga bermakna dijaga, diuri-uri agar tetap terjaga tetap
lestari. Kata rawat ini biasa digunakan di rumah sakit. Disini ada istilah
rawat inap dan rawat jalan. Rawat inap lebih pada pelayanan pasien yang harus
menginap di rumah sakit lalu diobati di rumah sakit hingga sembuh. Sedangkan
rawat jalan lebih pada konsultasi dan pengobatan dari rumah sakit lalu
diteruskan di rumah pasien sendiri.
Sedang kata merawat lalu
dihubungkan dengan madrasah berarti ada sesuatu yang perlu dijaga dengan
madrasah. Sebagaimana diketahui madrasah adalah bentuk lain dari bagian pondok
pesantren. Pondok pesantren sendiri adalah lembaga pendidikan tertua di negeri
ini. Bahkan jauh sebelum negeri ini merdeka dari penjajahan. Pondok sendiri
diperkirakan sudah ada sejak zaman wali songo. Para penyebar Islam di tanah
Jawa. Sedang adanya pondok dimulai pada zaman Sunan Ampel di daerah Ampel
Surabaya. Lalu para santri membuat pondok sendiri-sendiri di daerahnya. Hingga
sekarang hampir seluruh tanah Jawa ada pondok pesantren. Begitu juga di daerah
luar Jawa. Hingga jumlahnya ada puluhan ribu.
Kalau dulu hanya sistem
bandongan, wetonan, sorogan saja. Lalu ada pembaharuan dimulai daari Pondok
Tebuireng dengan sistem klasikal. Lalu disesuaikan dengan perkembangan
kebutuhan menjadi sistem madrasah. Lambat laun ada proses penegerian dan ada
juga yang masih status dikelola sendiri. Sistem madrasah yang otonom dan masih
eksis hingga sekarang bahkan santrinya berjumlah ribuan misalnya Madrasah
Hidayatul Mubatadiin Lirboyo Kediri. Belum lagi madrash-madrasah lain yang
sejenis. Hal ini menunjukkan keberadaannya masih dibutuhkan oleh masyarakat dan
tentu saja manejemennya diatur dengan baik. Sehingga banyak masyarakat yang
mengirim putra-putrinya ngangsu kawruh ke madrasah pondok pesantren.
Madrasah yang dinegerikan tentu
harusnya masih menjaga nilai-nilai pondok pesantren. Diantaranya nilai
religuitas, pergaulan, kemandirian, kesederhanaan. Hal ini memang ditopang oleh
sekolah yang berciri khas Islam. Jadi nilai-nilai keislaman harus tetap
kentara. Dengan jumlah pelajaran akidah akhlak, fiqh, sejarah kebudayaan Islam,
qur’an hadith, dan ada juga bahasa Arab. Ini diharapkan agar peserta didik
lebih memahami ajaran agamanya. Dengan kualitatif seharusnya lebih “ngerti”
peserta didiknya dibanding sekolah. Dan sekarang ini semua madrasah mulai ke
tahap “pinter” dengan meningkatkan kualitas pendidikan agar juga sejajar dengan
sekolah. Kedepan agar madrasah bisa mencetak generasi “pinter” dan “ngerti”.
Dalam tahap proses semua civitas
akedemik madrasah berusaha menjaga nilai-nilai madrasahnya. Kegiatan PHBI harus
tetap dilaksanakan, pembiasaan keagamaan juga perlu dijaga juga. Misalnya kalau
guru laki-laki tetap bersongkok ketika mengajar di kelas, guru perempuan
memakai rok panjang bukan celana panjang, sholat dhuha berjamaah, begitu juga
sholat fardhu berjamaah. Belum lagi misalnya kemampuan baca al-Qur’an anak dan
kemampuan bacaan sholat juga perlu terus dibina dan dikembangkan. Pada daerah
tertentu kebiasaan “local wisdom” juga perlu dikenalkan kepada anak. Misalnya
membaca kitab kuning, khataman qur’an dan membaca tahlil dan istighosah. Ini
dikandung maksud agar nantinya anak tidak terasing dengan lingkungan
sekitarnya. Bukankan ini juga bagian dari pendidikan. Dan juga pelestarian
nilai-nilai budaya serta bernilai ibadah juga.
Ini semua akan bisa terlaksana
bila ada kebersamaan dari semua pihak. Baik dari pimpinan madrasah, guru dan
pegawai. Semoga bila ini terlaksana akan membawa kebaikan dan kemajuan madrasah
di masa yang akan datang. Serta identitas madrasah akan tetap terawat dengan
baik. Wallahu a’lam bi al shawab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar