Untuk memahami orang lain kelihatannya lebih mudah. Bagaimana perilakunya, kebiasaannya, tinggal di mana, berapa kekayaannya, keluasan pengetahuannya, kecerdasannya dan sebagainya. Namun rasanya jauh lebih sulit untuk memahami siapa sebenarnya saya?untungnya ada alat yang namanya cermin. Dengan alat yang terbuat dari kaca ini minimal akan bisa mengetahui secara fisik siapa saya. Apakah sudah tampan, cantik, atau apanya yang perlu dipermak sehingga pantas untuk dipandang.
Untuk mengetahui kecerdasan seseorang ada alat
ukur tersendiri. Seperti tes yang digunakan untuk mengukur tingkat kecerdasan.
Dari beberapa hasil penelitian dirumuskan alat tes itu lalu menjadi terstandar
dan bisa digunakan untuk ukuran sedunia. Untuk menggunakan alat ukur ini
dibutuhkan namanya psikolog. Standar nilainya pada kisaran 130 sudah dianggap
anak yang cerdas. Biasanya kelas akselerasi menggunakan alat ukur ini untuk
menyaring input siswa.
Bila menginginkan mengukur seberapa luas
pengetahuan seseorang juga ada alat ukur sendiri. Dibuatkanlah serangkaian alat
tes. Tentu saja menyesuaikan dengan jenjang usia dan tingkat pendidikan. Tidak
sama anak usia SD diberi soal dengan materi anak perguruan tinggi. Namun secara
gampang seseorang bisa dinilai penguasaan keilmuan dilihat dari dengan siapa
dia bergaul dan bacaan apa yang biasa dibaca. Dua item ini sudah bisa digunakan
untuk melihat keluasan wawasan seseorang.
Begitu juga untuk melihat bakat, perilaku dan
sikap seseorang ada alat tersendiri untuk mengukurnya. Lagi-lagi kita butuh orang
lain untuk itu. Diantaranya juga psikolog. Bahkan ada suatu seperangkat
komputer yang bisa mendeteksi bakat seseorang dari telapak tangan saja. Lalu
dianalisa yang sudah ada rumusnya. Lain lagi mengenai kecenderungan berpikir
seseorang apakah rasionalis, terlalu saklek atau moderat bisa dilihat dari
bentuk tanda tangannya saja. Keduanya berasal dari hasil penelitian di
Australia. Kesemuanya itu membutuhkan orang lain. Lha, bagaimana melihat siapa
saya pastilah membutuhkan orang lain juga.
Seiring dengan perkembangan teknologi di
labolatorium ada alat yang dibutuhkan untuk menyibak misteri alam ini. Dan
dengan hasil penelitian itu terkuaklah semuanya. Namun belum ada teknologi
tersendiri untuk memahami diri sendiri.
Sebegitu mudahnya orang lain memahami diri
seseorang. Namun nyatanya kita enggan untuk bertanya kepada orang lain. Karena
sikap ke-aku-an kita. Dan orang lainpun tidak mau begitu saja membeberkan siapa
sebenarnya kita karena takut tersinggung, dianggap rendah, akan terbuka
kekurangan dan kesalahan kita. Sudah menjadi sifat manusia hanya ingin dipuji
dan disebutkan kelebihan kita saja. Dan tidak mau mendengar kekurangan diri.
Sebenarnya dalam ajaran agama kita tepatnya di
Surat al-Baqarah diterangkan ada tiga jenis manusia. Yakni mukminin, kafirin
dan ditengah dari kedua-duanya yakni munafikin. Maka diterangkan juga di surat
tersebut protes malaikat akan diciptakannya manusia. Karena manusia tempatnya
salah dan lupa. Akan menumpahkan darah. Diberikannya alam semesta ini untuk
kebahagian manusia.
Bumi seisinya diserahkan kepada manusia untuk
dikelola dan dimanfaatkan. Dan manusia diperintah pula menjadi pemimpinnya.
Kalau kita melihat orang lain ternyata sangat
mudah. Seperti yang disinggung dimuka. Tentu saja hal yang bersifat fisik:
kekayaan, rupa. Begitu juga bila melihat negara lain. Apakah sudah sukses atau
belum. Parameter yang digunakan biasanya kekayaan, teknologi dan kekuatan
militer. Hal ini selaras dengan peribahasa kita “rumput tetangga lebih hijau”.
Sebenarnya kita mempunyai tolok ukur sendiri
mengenai keberhasilan dan kebahagiaan seseorang itu. Yakni seberepa jauh
tingkat keimanan, amal sholeh dan akhlak. Dari sini kita bisa mengaca dan
mengukur diri sendiri kita. Tolok ukur itu sebenarnya lebih mulia tidak sebatas
dari segi materi dan fisik saja. Tetapi benar-benar bisa menyelamatkan dan
membawa kebahagiaan hidup di dunia hingga setelahnya. Bahkan membawa salamah
semua makhluk dan jagat raya ini.
Sudah pada tingkatan mana dari ketiga hal itu?
Posisi kita dimana? Dan kita setelah mengetahui lantas berbuat apa lagi?
Jangan-jangan kita tidak menyadari hal tersebut.
Kita menjalani kehidupan tanpa tujuan. Dan tidak bisa mengevaluasi diri
sendiri. Atau oleh karena kita kurang bersyukur sehingga tidak mengenali itu
semua padahal kita mempunyai potensi luar biasa yang bisa kita gali dan
dikembangkan maksimal. Memang diakui bahwa kemampuan untuk bersyukur dan
mengenali diri sendiri adalah hal yang sanga sulit. Wallahu a’lam bi al shawab.
·
Bahan diskusi Latihan Kepemimpinan
Mahasiswa STAI Miftahul ‘Ula Nglawak Nganjuk tanggal 24 Desember 2011.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar