Sabtu, 24 Desember 2011

Memahami Diri


Untuk memahami orang lain kelihatannya lebih mudah. Bagaimana perilakunya, kebiasaannya, tinggal di mana, berapa kekayaannya, keluasan pengetahuannya, kecerdasannya dan sebagainya. Namun rasanya jauh lebih sulit untuk memahami siapa sebenarnya saya?untungnya ada alat yang namanya cermin. Dengan alat yang terbuat dari kaca ini minimal akan bisa mengetahui secara fisik siapa saya. Apakah sudah tampan, cantik, atau apanya yang perlu dipermak sehingga pantas untuk dipandang.
Untuk mengetahui kecerdasan seseorang ada alat ukur tersendiri. Seperti tes yang digunakan untuk mengukur tingkat kecerdasan. Dari beberapa hasil penelitian dirumuskan alat tes itu lalu menjadi terstandar dan bisa digunakan untuk ukuran sedunia. Untuk menggunakan alat ukur ini dibutuhkan namanya psikolog. Standar nilainya pada kisaran 130 sudah dianggap anak yang cerdas. Biasanya kelas akselerasi menggunakan alat ukur ini untuk menyaring input siswa.
Bila menginginkan mengukur seberapa luas pengetahuan seseorang juga ada alat ukur sendiri. Dibuatkanlah serangkaian alat tes. Tentu saja menyesuaikan dengan jenjang usia dan tingkat pendidikan. Tidak sama anak usia SD diberi soal dengan materi anak perguruan tinggi. Namun secara gampang seseorang bisa dinilai penguasaan keilmuan dilihat dari dengan siapa dia bergaul dan bacaan apa yang biasa dibaca. Dua item ini sudah bisa digunakan untuk melihat keluasan wawasan seseorang.
Begitu juga untuk melihat bakat, perilaku dan sikap seseorang ada alat tersendiri untuk mengukurnya. Lagi-lagi kita butuh orang lain untuk itu. Diantaranya juga psikolog. Bahkan ada suatu seperangkat komputer yang bisa mendeteksi bakat seseorang dari telapak tangan saja. Lalu dianalisa yang sudah ada rumusnya. Lain lagi mengenai kecenderungan berpikir seseorang apakah rasionalis, terlalu saklek atau moderat bisa dilihat dari bentuk tanda tangannya saja. Keduanya berasal dari hasil penelitian di Australia. Kesemuanya itu membutuhkan orang lain. Lha, bagaimana melihat siapa saya pastilah membutuhkan orang lain juga.
Seiring dengan perkembangan teknologi di labolatorium ada alat yang dibutuhkan untuk menyibak misteri alam ini. Dan dengan hasil penelitian itu terkuaklah semuanya. Namun belum ada teknologi tersendiri untuk memahami diri sendiri.
Sebegitu mudahnya orang lain memahami diri seseorang. Namun nyatanya kita enggan untuk bertanya kepada orang lain. Karena sikap ke-aku-an kita. Dan orang lainpun tidak mau begitu saja membeberkan siapa sebenarnya kita karena takut tersinggung, dianggap rendah, akan terbuka kekurangan dan kesalahan kita. Sudah menjadi sifat manusia hanya ingin dipuji dan disebutkan kelebihan kita saja. Dan tidak mau mendengar kekurangan diri.
Sebenarnya dalam ajaran agama kita tepatnya di Surat al-Baqarah diterangkan ada tiga jenis manusia. Yakni mukminin, kafirin dan ditengah dari kedua-duanya yakni munafikin. Maka diterangkan juga di surat tersebut protes malaikat akan diciptakannya manusia. Karena manusia tempatnya salah dan lupa. Akan menumpahkan darah. Diberikannya alam semesta ini untuk kebahagian manusia.
Bumi seisinya diserahkan kepada manusia untuk dikelola dan dimanfaatkan. Dan manusia diperintah pula menjadi pemimpinnya.
Kalau kita melihat orang lain ternyata sangat mudah. Seperti yang disinggung dimuka. Tentu saja hal yang bersifat fisik: kekayaan, rupa. Begitu juga bila melihat negara lain. Apakah sudah sukses atau belum. Parameter yang digunakan biasanya kekayaan, teknologi dan kekuatan militer. Hal ini selaras dengan peribahasa kita “rumput tetangga lebih hijau”.
Sebenarnya kita mempunyai tolok ukur sendiri mengenai keberhasilan dan kebahagiaan seseorang itu. Yakni seberepa jauh tingkat keimanan, amal sholeh dan akhlak. Dari sini kita bisa mengaca dan mengukur diri sendiri kita. Tolok ukur itu sebenarnya lebih mulia tidak sebatas dari segi materi dan fisik saja. Tetapi benar-benar bisa menyelamatkan dan membawa kebahagiaan hidup di dunia hingga setelahnya. Bahkan membawa salamah semua makhluk dan jagat raya ini.
Sudah pada tingkatan mana dari ketiga hal itu? Posisi kita dimana? Dan kita setelah mengetahui lantas berbuat apa lagi?
Jangan-jangan kita tidak menyadari hal tersebut. Kita menjalani kehidupan tanpa tujuan. Dan tidak bisa mengevaluasi diri sendiri. Atau oleh karena kita kurang bersyukur sehingga tidak mengenali itu semua padahal kita mempunyai potensi luar biasa yang bisa kita gali dan dikembangkan maksimal. Memang diakui bahwa kemampuan untuk bersyukur dan mengenali diri sendiri adalah hal yang sanga sulit. Wallahu a’lam bi al shawab.

·         Bahan diskusi Latihan Kepemimpinan Mahasiswa STAI Miftahul ‘Ula Nglawak Nganjuk tanggal 24 Desember 2011.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar