Rabu, 14 Desember 2011

Kursi Feodal dan Puntung Rokok


Apa hubungannya antara kursi dan puntung rokok? Kelihatannya tidak ada. Keduanya sendiri-sendiri. Kursi berbahan dari kayu dan sejenisnya sedangkan rokok dari tembakau. Dari sisi kegunaan juga beda. Kursi untuk duduk sedangkan rokok untuk dihisap. Katanya dengan menghisap nikotin dalam rokok bisa memacu kerja otak, bisa membawa ketenangan, dan pasangan dari makan. Bagi “ahlu hisap” merokok pasca makan adalah kebutuhan wajib. Bila tidak terasa makan tanpa bumbu, hambar.
Berkaitan dengan hal ini kursi bisa berarti kata benda dan juga bisa berarti majas, perumpamaan. Menduduki kursi tertentu pastilah orang tertentu pula. Misalnya kursi putar bagi karyawan di kantor apalagi harganya jutaan dikhususkan bagi kalangan tertentu. Tentu saja pimpinan. Bagi bawahan yang biasa saja. Kan juga namanya bawahan. Jadi ketika diruang kerja, kursi pimpinan tampak dengan kualitas terbaik di kantor itu. Bahkan di ruang rapatpun juga berbeda. Antara kursi pimpinan dan bawahan kualitas dan harganya lumayan selisih jauh. Katanya itu untuk menandakan kewibawaan. Semakin mahal maka otomatis akan semakin berwibawa. Sehingga untuk bisa duduk di kursi itu bisa ditempuh dengan segala cara. Sikut sini sikut situ. Bawa backing dari internal bahkan juga dari eksternal. Bahkan juga bisa membawa-bawa serikat pekerja untuk menduduki kursi ‘panas’ itu. Lalu dukunpun bisa ikut terbawa sebagai “pengawal”.
Merokok sudah menjadi konsumsi masyarakat kita. Karena dianggap hal yang mubah saja. Bahkan banyak sumbangan untuk pajak berasal dari cukai rokok. Belum lagi para pekerja yang jumlahnya ribuan. Bila lewat PT Gudang Garam Kediri alangkah besarnya jumlah karyawan yang dimiliki. Berarti ada puluhan ribu bahkan ratusan ribu bila dengan keluarganya menggantungkan hidup dari rokok. Ini belum para petani tembakau dan stakeholdernya. Bahkan ada seorang bupati dari Madura yang awalnya tidak merokok karena komoditas daerah dan sebagian warganya hidup dari tembakau jadi ikut-ikutan merokok. Bahkan menjadi perokok berat. Bukan ini untuk ‘style’, atau sok gaya. Namun merasa bahkan tembakaulah yang menjadi andalan rakyatnya. Rakyatnya menggantungkan hidup dari tembakau. Dengan kata lain, Pak Bupati ini sebagai “brand”. Mengingat denyut nadi perekonomian daerah dari sektor ini. Maka komoditas tembakau harus diamankan. Semua peraturan harus pro tembakau. Maka harus diperjuangkan.
Fanatik dengan tembakau tidak dilarang. Seperti yang dilakukan Ruhut Sitompul yang anggota DPR RI. Ketika ke kantor memakai Bentley yang harganya 6-7 milyar dan cerutunya perbatang seharga Rp 300.000,00. Itupun impor dari Kolombia. Ada juga koleganya  yang mempunyai hobi yang sama  yakni Pramono Anung. Mengingat hal ini saya teringat dengan Provinsi Gorontalo yang berusaha menaikkan kesejahteraan warganya dengan brand jagung. Dan berhasil. 
Namun hal tersebut di atas berbeda dengan yang dilakukan Dahlan Iskan, Menteri Negara BUMN. Ia berkeliling ke-100 lebih perusahaan-perusahaan pelat merah tanpa pemberitahuan sebelumnya. Pada awal masa jabatannya. Bahkan naik kereta ekonomipun dijalani. Katanya ini semua untuk melihat dari dekat suasana batin kinerja para pejabat dan anak buahnya. Yang disorot diantaranya adalah kursi pimpinan dan asbak (wadah puntung rokok). Sebenarnya ini sepele. Namun menurutnya sangat berpengaruh dengan kinerja suatu corporate. Bila kursi pimpinan lebih tinggi dan lebih bagus dengan karyawan di ruang rapat berarti bisa dipahami bahwa pimpinannya bergaya feodal. Masih seperti jaman penjajah dahulu. Pimpinan minta dilayani. Minta dihormati. Kebijakannya tidak mau dibantah dan harus dijalankan. Begitu juga bila di ruang pimpinan dengan fasilitas full AC namun juga asbak masih penuh dengan puntung rokok berarti juga pimpinan memberi contoh kepada anak buahnya untuk melanggar aturan. Karena biasanya kalau ruangan ber AC tidak boleh merokok. Mungkin maksud dari si pimpinan karena mentang-mentang duduk di kursi pimpinan tidak akan ada yang berani menegurnya. Maka dilanggar saja aturan itu.
Dari dua hal di atas, menurut Dahlan Iskan tidak sesuai dengan budaya corporate. Dimana dibutuhkan bekerja dengan efektif, efisien lalu fasilitas yang ada bisa meningkatkan kinerja dan performance perusahaan. Kursi rapat dibuat sama dan sepadan diharapkan tidak ada kesenjangan kedudukan dan diharapkan akan timbul ide-ide cerdas untuk meningkatkan kinerja perusahaan. Pimpinan memberi teladan sehingga menjadi ikon perubahan budaya sehingga akan ditiru anak buahnya. Bukan malah terbuai kursi surgawi sehingga lupa akan tanggungjawabnya. Pada akhirnya membawa kemerosotan dan kemunduran. Alangkah indahnya bila hal ini dipraktekkan di madrasah yang sedang getol-getolnya meningkatkan kualitas pendidikannya. Sehingga pada akhirnya menjadi rujukan utama masyarakat untuk menitipkan putra-putrinya dalam menuntut ilmu. Bagaimana pendapat anda? Wallahu a’lam bi al shawab.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar