Apa hubungannya antara kursi dan
puntung rokok? Kelihatannya tidak ada. Keduanya sendiri-sendiri. Kursi berbahan
dari kayu dan sejenisnya sedangkan rokok dari tembakau. Dari sisi kegunaan juga
beda. Kursi untuk duduk sedangkan rokok untuk dihisap. Katanya dengan menghisap
nikotin dalam rokok bisa memacu kerja otak, bisa membawa ketenangan, dan
pasangan dari makan. Bagi “ahlu hisap” merokok pasca makan adalah kebutuhan
wajib. Bila tidak terasa makan tanpa bumbu, hambar.
Berkaitan dengan hal ini kursi
bisa berarti kata benda dan juga bisa berarti majas, perumpamaan. Menduduki
kursi tertentu pastilah orang tertentu pula. Misalnya kursi putar bagi karyawan
di kantor apalagi harganya jutaan dikhususkan bagi kalangan tertentu. Tentu
saja pimpinan. Bagi bawahan yang biasa saja. Kan juga namanya bawahan. Jadi
ketika diruang kerja, kursi pimpinan tampak dengan kualitas terbaik di kantor
itu. Bahkan di ruang rapatpun juga berbeda. Antara kursi pimpinan dan bawahan
kualitas dan harganya lumayan selisih jauh. Katanya itu untuk menandakan
kewibawaan. Semakin mahal maka otomatis akan semakin berwibawa. Sehingga untuk
bisa duduk di kursi itu bisa ditempuh dengan segala cara. Sikut sini sikut
situ. Bawa backing dari internal bahkan juga dari eksternal. Bahkan juga bisa
membawa-bawa serikat pekerja untuk menduduki kursi ‘panas’ itu. Lalu dukunpun
bisa ikut terbawa sebagai “pengawal”.
Merokok sudah menjadi konsumsi
masyarakat kita. Karena dianggap hal yang mubah saja. Bahkan banyak sumbangan
untuk pajak berasal dari cukai rokok. Belum lagi para pekerja yang jumlahnya
ribuan. Bila lewat PT Gudang Garam Kediri alangkah besarnya jumlah karyawan
yang dimiliki. Berarti ada puluhan ribu bahkan ratusan ribu bila dengan
keluarganya menggantungkan hidup dari rokok. Ini belum para petani tembakau dan
stakeholdernya. Bahkan ada seorang bupati dari Madura yang awalnya tidak
merokok karena komoditas daerah dan sebagian warganya hidup dari tembakau jadi
ikut-ikutan merokok. Bahkan menjadi perokok berat. Bukan ini untuk ‘style’,
atau sok gaya. Namun merasa bahkan tembakaulah yang menjadi andalan rakyatnya.
Rakyatnya menggantungkan hidup dari tembakau. Dengan kata lain, Pak Bupati ini
sebagai “brand”. Mengingat denyut nadi perekonomian daerah dari sektor ini.
Maka komoditas tembakau harus diamankan. Semua peraturan harus pro tembakau.
Maka harus diperjuangkan.
Fanatik dengan tembakau tidak
dilarang. Seperti yang dilakukan Ruhut Sitompul yang anggota DPR RI. Ketika ke
kantor memakai Bentley yang harganya 6-7 milyar dan cerutunya perbatang seharga
Rp 300.000,00. Itupun impor dari Kolombia. Ada juga koleganya yang mempunyai hobi yang sama yakni Pramono Anung. Mengingat hal ini saya
teringat dengan Provinsi Gorontalo yang berusaha menaikkan kesejahteraan
warganya dengan brand jagung. Dan berhasil.
Namun hal tersebut di atas
berbeda dengan yang dilakukan Dahlan Iskan, Menteri Negara BUMN. Ia berkeliling
ke-100 lebih perusahaan-perusahaan pelat merah tanpa pemberitahuan sebelumnya. Pada
awal masa jabatannya. Bahkan naik kereta ekonomipun dijalani. Katanya ini semua
untuk melihat dari dekat suasana batin kinerja para pejabat dan anak buahnya.
Yang disorot diantaranya adalah kursi pimpinan dan asbak (wadah puntung rokok).
Sebenarnya ini sepele. Namun menurutnya sangat berpengaruh dengan kinerja suatu
corporate. Bila kursi pimpinan lebih tinggi dan lebih bagus dengan karyawan di
ruang rapat berarti bisa dipahami bahwa pimpinannya bergaya feodal. Masih
seperti jaman penjajah dahulu. Pimpinan minta dilayani. Minta dihormati.
Kebijakannya tidak mau dibantah dan harus dijalankan. Begitu juga bila di ruang
pimpinan dengan fasilitas full AC namun juga asbak masih penuh dengan puntung
rokok berarti juga pimpinan memberi contoh kepada anak buahnya untuk melanggar
aturan. Karena biasanya kalau ruangan ber AC tidak boleh merokok. Mungkin maksud
dari si pimpinan karena mentang-mentang duduk di kursi pimpinan tidak akan ada
yang berani menegurnya. Maka dilanggar saja aturan itu.
Dari dua hal di atas, menurut
Dahlan Iskan tidak sesuai dengan budaya corporate. Dimana dibutuhkan bekerja
dengan efektif, efisien lalu fasilitas yang ada bisa meningkatkan kinerja dan
performance perusahaan. Kursi rapat dibuat sama dan sepadan diharapkan tidak
ada kesenjangan kedudukan dan diharapkan akan timbul ide-ide cerdas untuk
meningkatkan kinerja perusahaan. Pimpinan memberi teladan sehingga menjadi ikon
perubahan budaya sehingga akan ditiru anak buahnya. Bukan malah terbuai kursi
surgawi sehingga lupa akan tanggungjawabnya. Pada akhirnya membawa kemerosotan
dan kemunduran. Alangkah indahnya bila hal ini dipraktekkan di madrasah yang
sedang getol-getolnya meningkatkan kualitas pendidikannya. Sehingga pada
akhirnya menjadi rujukan utama masyarakat untuk menitipkan putra-putrinya dalam
menuntut ilmu. Bagaimana pendapat anda? Wallahu a’lam bi al shawab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar