Sabtu, 05 November 2011

Tahlilan di rumah Pak Sarimin


Seperti biasa tiap malam Jumat tepatnya tanggal 29 September 2011 Jam’iyyah Tahlil wa ta’lim Babussalam Pisang mengadakan tahlilan rutin. Tempatnya berpindah-pindah. Kebetulan tempatnya di rumah Pak Sarimin. Saya tulis nama lengkap karena ada juga jamaah yang namanya Pak Rimin. Pak Sarimin ini usianya lebih muda. Seingat saya ketika saya masih kecil beliaunya berdagang bakso keliling. Sekarang menekuni di pertanian. Sama dengan Pak Rimin. Tempatnya bergiliran dimaksudkan untuk bisa silaturahim dengan semua jamaah. Hanya bila malam Jumat Pon saja tempatnya di Masjid Baitul Atqiya’ Pisang. Dikandung maksud untuk nguri-nguri perjuangan dakwah Islam di desa Pisang yang dimulai dari berdirinya masjid.
Persyaratan menjadi anggota sangat mudah dan longgar bagi orang desa. Hanya membayar seribu perak tiap datang. Dan inipun baru saja dinaikkan iurannya. Karena sebelumnya hanya lima ratus perak saja. Lalu siapapun boleh bergabung. Baik tua maupun muda. Hanya saja selama ini baru laki-laki dewasa alias agak sepuh saja yang mengikuti. Saya sendiri yang kelihatan paling muda dari lima puluhan jamaahnya. He..he...
Usia jam’iyyah ini sudah lumayan lama. Sudah sekitar 12 tahun. Yang mengawali adalah Haji Saifuddin. Sekian lama ini bukan berarti tanpa kendala. Namun alhamdulillah bisa istikomah hingga sekarang. Mungkin menurut analisa kasar saya saja hanya pengurusnya tidak mempunyai kepentingan pribadi apalagi ditunggangi masalah politik. Dan pengurusnyapun digaji gratis. Mengharap ridha  Allah saja yang bisa membuat perkumpulan ini bisa tetap eksis. Berbeda dengan organisasi lain. Dimana ada tendensi pribadi, lalu ditunggangi muatan politis. Jadi tidak ada bedanya dengan partai politik. Lalu ada kesepakatan agar semua mau ditempati yakni tuan rumah hanya menyediakan air minum saja. Jika tuan rumah mau bersedekah konsumsi misalnya diberi makan dan jajan maka boleh saja. Masak mau bersedekah saja dihalangi. Sehingga banyak jamaah yang mau ditempati bahkan meminta ditempati. Yang ketempatan giliran mendapat bantuan tidak banyak. Hanya sekitar dua puluhan ribu perak. Sedikit untuk menyediakan “suguhnya”. Namun karena dirasa barokahnya yang tidak terhingga sehingga semuanya mau ditempati.
Latar belakang jamaah bermacam-macam. Kalau dilihat dari tingkat pendidikan mulai dari yang tidak pernah sekolah hingga ada yang sedang menempuh program doktor. Semuanya laki-laki dengan usia tigapuluhan hingga sekitar tujuhpuluhan. Sebenarnya tidak dibatasi usia hanya saja yang masih lajang kayaknya enggan untuk bergabung. Dari segi profesi juga beragam mulai dari buruh tani, petani, pedagang, pensiunan, guru, tukang becak, ada juga perangkat desa dan karyawan pabrik.
Susunan acara yang baku kelihatan sangat singkat. Mulai dari pembukaan lalu pengajian singkat dilanjutkan membaca tahlil untuk ahli kubur shohibul bait lalu doa dan penutup. Setelah itu hidangan keluar kalau ada dilanjutkan pengumuman setelah ini bertempat dimana. Yang menjadi pembagi acara biasanya ada petugas rutin. Namun bila berhalangan bisa diganti yang lain. Pada dasarnya petugas bergantian. Ini dikandung maksud bahwa jam’iyyah ini milik semua dan untuk semua. Jadi semua jamaah difungsikan. Lagi-lagi semuanya untuk kemaslahatan bersama.
Yang mengisi pengajian digilir. Ada beberapa tokoh agama yang diminta mengisi secara rutin. Sehingga proses saling menasehati dan mengingatkan terus berjalan. Waktu acara dilaksanakan sehabis sholat maghrib. Selesai sekitar jam 19.30 menit. Namun bila ada kegiatan masyarakat yang bersamaan waktunya bisa dipersingkat. Bila dilihat dari rumah jamaah hanya berasal dari dusun Pisang saja. Namun menyebar. Memang desa Pisang terdiri atas dua dusun yakni Pisang dan Senggung. Hanya saja Senggung letaknya jauh. Terpaut hampir 2 kilometer dari induk desa. Karena terpaut sawah. Sehingga jarang warganya bisa bertemu. Hanya butuh admininstrasi desa saja ke kantor Desa.
Kebetulan yang mengisi pengajian adalah Pak Isro’. Beliaunya berprofesi sebagai pedagang. Namun dirumahnya ada pengajian diniyah. Tempat mengajinya anak-anak. Dilihat dari latar belakang pendidikan adalah lulusan dari Pondok Pesantren Pandanasri Kertosono. Menerangkan tentang amal manusia yang terputus setelah meninggal kecuali tiga perkara. Yakni sadaqah jariyah. Sedekah dalam bahasa Jawa yakni memberikan sesuatu kepada orang atau pihak lain. Jumlahnya tidak ditentukan dari sebagian hartanya. Inilah harta yang kekal. Secara kuantitas memang berkurang namun sebenarnya bertambah. Dan bertambahnya tidak kelihatan dalam arti Allah mengganti dengan yang lain. Peruntukannya luas. Bisa diberikan ke masjid, madrasah, sekolah, pondok pesantren, perorangan untuk kemaslahatan bisa saja. Dan pahalanya akan terus mengalir kepada yang bersedekah. Kedua, ilmu yang bermanfaat. Ada hal yang saya ingat ketika masih ngaji di pondok. Yakni Pak Kiai dawuh untuk mengajarkan ilmu yang di dapat di pondok sebisanya. Bisa ngaji iqra’ ya diajarkan. Bisa ilmu sholat ya diajarkan. Bisa ke orang lain atau minimal kepada anaknya sendiri. Bahkan sampai bila terpaksa tidak ada murid bisa tetap diajarkan walau disaksikan tiang dan dinding rumah. Itulah istikomahnya santri dalam dakwah. Apalagi kalau dalam bahasa sekarang ilmunya ditulis lalu disebarkan. Banyak orang yang mendapatkan manfaatnya wah itu akan baik sekali. Misalnya memposting di web, diblog atau dicetak dalam bentuk buku maka jariyahnya akan terus mengalir. Wah, bila dihitung berapa banyak para ulama yang telah menulis kitab kuning atau buku-buku terdahulu dan sampai sekarang masih tetap dikaji. Ketiga, anak sholeh. Anak yang mau mendoakan orang tuanya. Untuk bisa membuat seperti ini tidak mudah. Anak yang mau mengirim hadiah tahlil kepada orang tuanya. Diceritakan bila di alam kubur disiksa akan diperingan siksanya bila mendapat kiriman doa dari anaknya. Maka anak perlu dikirim pondok atau madrasah diniyah. Tidak hanya disuruh sekolah formal saja. Karena tidak ada jaminan. Bila anak hanya disekolahkan saja maka jangan disalahkan anak bila tidak bisa berbuat baik kepada orang tuanya. Karena memang di sekolah tidak begitu diajarkan mengenai hal tersebut.
Banyak sekali manfaat yang didapat jamaah bila mengikuti rutinan ini. Misalnya terjaga silaturahim. Membuat hati tenang. Rasa kekeluargaan terjaga sehingga menjadi hidup yang guyub. Saling mengajak ngopeni ibadah untuk persiapan di hari depan. Enaknya lagi bila ada yang meninggal akan selalu dikirimi doa tahlil. Karena namanya tercatat sebagai anggota. Lalu semua jamaah akan ikut tahlilan mulai dari hari pertama hingga acara usai. Karena ikatan persaudaraan yang kental. Bila ada hajat maka semua juga diundang hadir. Suasana rukun, guyub, saling mengingatkan dalam kebenaran dan kesabaran lalu apalagi yang dicari di dunia ini? Wallahu a’lam bi al shawab.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar