Seperti biasa tiap malam Jumat
tepatnya tanggal 29 September 2011 Jam’iyyah Tahlil wa ta’lim Babussalam Pisang
mengadakan tahlilan rutin. Tempatnya berpindah-pindah. Kebetulan tempatnya di
rumah Pak Sarimin. Saya tulis nama lengkap karena ada juga jamaah yang namanya
Pak Rimin. Pak Sarimin ini usianya lebih muda. Seingat saya ketika saya masih
kecil beliaunya berdagang bakso keliling. Sekarang menekuni di pertanian. Sama
dengan Pak Rimin. Tempatnya bergiliran dimaksudkan untuk bisa silaturahim
dengan semua jamaah. Hanya bila malam Jumat Pon saja tempatnya di Masjid Baitul
Atqiya’ Pisang. Dikandung maksud untuk nguri-nguri perjuangan dakwah Islam di
desa Pisang yang dimulai dari berdirinya masjid.
Persyaratan menjadi anggota
sangat mudah dan longgar bagi orang desa. Hanya membayar seribu perak tiap
datang. Dan inipun baru saja dinaikkan iurannya. Karena sebelumnya hanya lima
ratus perak saja. Lalu siapapun boleh bergabung. Baik tua maupun muda. Hanya
saja selama ini baru laki-laki dewasa alias agak sepuh saja yang mengikuti.
Saya sendiri yang kelihatan paling muda dari lima puluhan jamaahnya. He..he...
Usia jam’iyyah ini sudah lumayan
lama. Sudah sekitar 12 tahun. Yang mengawali adalah Haji Saifuddin. Sekian lama
ini bukan berarti tanpa kendala. Namun alhamdulillah bisa istikomah hingga
sekarang. Mungkin menurut analisa kasar saya saja hanya pengurusnya tidak
mempunyai kepentingan pribadi apalagi ditunggangi masalah politik. Dan
pengurusnyapun digaji gratis. Mengharap ridha Allah saja yang bisa membuat perkumpulan ini
bisa tetap eksis. Berbeda dengan organisasi lain. Dimana ada tendensi pribadi,
lalu ditunggangi muatan politis. Jadi tidak ada bedanya dengan partai politik.
Lalu ada kesepakatan agar semua mau ditempati yakni tuan rumah hanya
menyediakan air minum saja. Jika tuan rumah mau bersedekah konsumsi misalnya
diberi makan dan jajan maka boleh saja. Masak mau bersedekah saja dihalangi.
Sehingga banyak jamaah yang mau ditempati bahkan meminta ditempati. Yang
ketempatan giliran mendapat bantuan tidak banyak. Hanya sekitar dua puluhan
ribu perak. Sedikit untuk menyediakan “suguhnya”. Namun karena dirasa
barokahnya yang tidak terhingga sehingga semuanya mau ditempati.
Latar belakang jamaah
bermacam-macam. Kalau dilihat dari tingkat pendidikan mulai dari yang tidak
pernah sekolah hingga ada yang sedang menempuh program doktor. Semuanya
laki-laki dengan usia tigapuluhan hingga sekitar tujuhpuluhan. Sebenarnya tidak
dibatasi usia hanya saja yang masih lajang kayaknya enggan untuk bergabung.
Dari segi profesi juga beragam mulai dari buruh tani, petani, pedagang,
pensiunan, guru, tukang becak, ada juga perangkat desa dan karyawan pabrik.
Susunan acara yang baku kelihatan
sangat singkat. Mulai dari pembukaan lalu pengajian singkat dilanjutkan membaca
tahlil untuk ahli kubur shohibul bait lalu doa dan penutup. Setelah itu
hidangan keluar kalau ada dilanjutkan pengumuman setelah ini bertempat dimana.
Yang menjadi pembagi acara biasanya ada petugas rutin. Namun bila berhalangan
bisa diganti yang lain. Pada dasarnya petugas bergantian. Ini dikandung maksud
bahwa jam’iyyah ini milik semua dan untuk semua. Jadi semua jamaah difungsikan.
Lagi-lagi semuanya untuk kemaslahatan bersama.
Yang mengisi pengajian digilir.
Ada beberapa tokoh agama yang diminta mengisi secara rutin. Sehingga proses
saling menasehati dan mengingatkan terus berjalan. Waktu acara dilaksanakan
sehabis sholat maghrib. Selesai sekitar jam 19.30 menit. Namun bila ada
kegiatan masyarakat yang bersamaan waktunya bisa dipersingkat. Bila dilihat
dari rumah jamaah hanya berasal dari dusun Pisang saja. Namun menyebar. Memang
desa Pisang terdiri atas dua dusun yakni Pisang dan Senggung. Hanya saja
Senggung letaknya jauh. Terpaut hampir 2 kilometer dari induk desa. Karena
terpaut sawah. Sehingga jarang warganya bisa bertemu. Hanya butuh admininstrasi
desa saja ke kantor Desa.
Kebetulan yang mengisi pengajian
adalah Pak Isro’. Beliaunya berprofesi sebagai pedagang. Namun dirumahnya ada
pengajian diniyah. Tempat mengajinya anak-anak. Dilihat dari latar belakang
pendidikan adalah lulusan dari Pondok Pesantren Pandanasri Kertosono.
Menerangkan tentang amal manusia yang terputus setelah meninggal kecuali tiga
perkara. Yakni sadaqah jariyah. Sedekah dalam bahasa Jawa yakni memberikan
sesuatu kepada orang atau pihak lain. Jumlahnya tidak ditentukan dari sebagian
hartanya. Inilah harta yang kekal. Secara kuantitas memang berkurang namun
sebenarnya bertambah. Dan bertambahnya tidak kelihatan dalam arti Allah
mengganti dengan yang lain. Peruntukannya luas. Bisa diberikan ke masjid,
madrasah, sekolah, pondok pesantren, perorangan untuk kemaslahatan bisa saja.
Dan pahalanya akan terus mengalir kepada yang bersedekah. Kedua, ilmu yang
bermanfaat. Ada hal yang saya ingat ketika masih ngaji di pondok. Yakni Pak
Kiai dawuh untuk mengajarkan ilmu yang di dapat di pondok sebisanya. Bisa ngaji
iqra’ ya diajarkan. Bisa ilmu sholat ya diajarkan. Bisa ke orang lain atau
minimal kepada anaknya sendiri. Bahkan sampai bila terpaksa tidak ada murid
bisa tetap diajarkan walau disaksikan tiang dan dinding rumah. Itulah
istikomahnya santri dalam dakwah. Apalagi kalau dalam bahasa sekarang ilmunya
ditulis lalu disebarkan. Banyak orang yang mendapatkan manfaatnya wah itu akan
baik sekali. Misalnya memposting di web, diblog atau dicetak dalam bentuk buku
maka jariyahnya akan terus mengalir. Wah, bila dihitung berapa banyak para
ulama yang telah menulis kitab kuning atau buku-buku terdahulu dan sampai
sekarang masih tetap dikaji. Ketiga, anak sholeh. Anak yang mau mendoakan orang
tuanya. Untuk bisa membuat seperti ini tidak mudah. Anak yang mau mengirim
hadiah tahlil kepada orang tuanya. Diceritakan bila di alam kubur disiksa akan
diperingan siksanya bila mendapat kiriman doa dari anaknya. Maka anak perlu
dikirim pondok atau madrasah diniyah. Tidak hanya disuruh sekolah formal saja.
Karena tidak ada jaminan. Bila anak hanya disekolahkan saja maka jangan
disalahkan anak bila tidak bisa berbuat baik kepada orang tuanya. Karena memang
di sekolah tidak begitu diajarkan mengenai hal tersebut.
Banyak sekali manfaat yang didapat jamaah bila
mengikuti rutinan ini. Misalnya terjaga silaturahim. Membuat hati tenang. Rasa
kekeluargaan terjaga sehingga menjadi hidup yang guyub. Saling mengajak ngopeni
ibadah untuk persiapan di hari depan. Enaknya lagi bila ada yang meninggal akan
selalu dikirimi doa tahlil. Karena namanya tercatat sebagai anggota. Lalu semua
jamaah akan ikut tahlilan mulai dari hari pertama hingga acara usai. Karena
ikatan persaudaraan yang kental. Bila ada hajat maka semua juga diundang hadir.
Suasana rukun, guyub, saling mengingatkan dalam kebenaran dan kesabaran lalu
apalagi yang dicari di dunia ini? Wallahu a’lam bi al shawab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar