Dalam pelajaran sejarah yang masih kita ingat adanya perang dunia I dan II. Itu adalah perang besar di abad XIX. Begitu juga beberapa perang di masa kerajaan-kerajaan. Diantara penyebabnya adalah aneksasi wilayah, rasa terhina, rasa dendam, perluasan wilayah kekuasaan, kesombongan dan marah.
Mengapa marah bisa menjadi
penyebab perang diantaranya karena merasa dizalimi, dihina, terusik harga diri
dan juga upaya menimbun kekayaan terusik. Sebagai bentuk pelampiasan
kesombongan maka diumumkanlah ‘perang’. Ini terjadi karena emosi sudah
di’ubun-ubun’. Tanpa berpikir panjang apa akibat dari semua itu. Bagaimana aset
peradaban yang telah dibangun selama ratusan tahun, perkembangan ilmu
pengetahuan yang begitu maju dan juga penderitaan rakyat yang tertimpa perang.
Itu semua sudah hilang dari ingatan. Yang penting perang harus berlangsung dan
menang. Mungkin itu yang ada dibenak para pemimpin.
Dalam lingkup yang lebih kecil
misalnya di masyarakat, di kantor, bahkan di keluarga juga banyak terjadi
kekisruhan karena diawali dari marah. Hingga tidak saling menyapa, tidak akur,
bahkan bisa pertumpahan darah dan memutus hubungan silaturahim. Ini terkadang
dari hal sepele, lalu tersinggung dan terus berlanjut. Akibatnya bisa ditebak.
Banyak ketidakteraturan yang ditemui. Keguyuban warga, keluarga tercabik. Belum
lagi adanya korban jiwa dan barang. Hal ini juga sebagai dampak ikutan.
Begitulah contoh kecil dari
dampak sifat marah. Maka melihat begitu besar akibat yang ditimbulkan
marah/ghadab termasuk sifat yang tercela. Dan sebagai muslim perlu hati-hati
dan waspada. Hati-hati perlu dengan mempelajari bagaimana tanda-tandanya dan
cara mensikapi agar tidak keterusan. Memang diakui sifat marah adalah
manusiawi. Dan manusia pasti bisa marah karana dikaruniai Allah nafsu. Namun
adanya napsu perlu dipergunakan dengan sebaik-baiknya. Marah karena Allah dan
sabar karena Allah. Agama sendiri juga menganjurkan marah pada tempatnya.
Misalnya orang tua bisa saja marah melihat putra-putrinya tidak mau
melaksanakan sholat. Bahkan disuruh untuk memukul. Memukulnya tentu saja dengan
tujuan tarbiyah, untuk pendidikan. Bukan untuk menyakiti. Lha, dalam contoh
kasus ini ternyata perlu pembiasaan sholat dalam keluarga dan juga keteladanan
dari orang tua.
Marah berasal dari kata ghadab
(bahasa Arab). Adalah perasaan tidak senang. Karena disakiti, dizalimi,
hak-haknya diabaikan, dihina. Perasaan ini bisa semua kalangan terjangkiti. Dan
semua kelompok sosial. Bila marah maka darah mendidih. Seluruh saraf yang
mengalirkan darah juga akan teraliri. Begitu juga saraf otak. Lalu menyebar ke
wajah. Maka jadilah orang yang sedang marah wajahnya berubah menjadi merah
padam.
Ciri-ciri lainnya adalah
pandangan mata tajam tanpa kedip. Karena marah sorot mata begitu sangar
kelihatan kejam dan tidak bisa berkedip. Lalu wajah menjadi ‘mendung’ atau
cemberut bin murung. Dampak lanjutannya adalah susah diajak berbicara. Hanya
menurutkan apa kata hatinya. Diam saja. Ini masih baik. Ada juga bila tidak
terkendali akan mengeluarkan kata-kata kasar, pedas. Karena fikiran sudah tidak
terkontrol. Lalu ada juga berbuat anarkis. Apa yang ada disekitarnya dirusak.
Dan akhirnya akan mengumbar ancaman bagi siapa saja yang merasa menjadi
lawannya.
Marah merugikan diri sendiri dan
orang lain. Bagi diri pribadi akan berakibat tidak bisa berpikir tenang, akan
timbul tekanan batin dan lebih-lebih susah dinasehati. Orang lain tidak bisa
memberi arahan dan nasehat. Dampak bagi orang lain diantaranya adalah tidak
bisa diajak komunikasi dan menimbulkan kekhawatiran. Oran yang cepat emosi akan
naik pitam bila merasa ada yang mengganggunya. Padahal itu hal sepele. Bila
sudah emosi maka bisa merusak apa saja
yang ada didekatnya.
Apakah marah bisa dihilangkan?
Kayaknya sulit. Namun bisa dikurangi atau dikendalikan. Diantara caranya adalah
menyadari bahwa setiap orang mempunyai kesalahan. Lupa dan salah adalah sifat
abadi manusia. Namun bukan berarti manusia harus salah terus. Tidak. Namun
berupaya meminimalisir kesalahan selanjutnya. Lalu menyadari pula kita juga
mempunyai kesalahan kepada orang lain. Oleh karena kita tidak bisa hidup
sendiri. Pastilah membutuhkan interaksi dengan orang banyak. Lha, dalam proses
interaksi itu timbul atau terjadi kesalahan-kesalahan baik yang disengaja
maupun tidak.
Begitu juga dengan marah tidak
menyelesaikan masalah. Masalah bisa dicarikan solusinya bila dengan menggunakan
kepala dingin. Bukan berarti kepalanya diberi ‘es’. Namun bisa juga setelah ada
masalah cooling down dulu. Sambil menghela nafas lalu berfikir mencari
solusinya. Disadari pula pemarah tidak disukai dalam pergaulan. Ada teman yang
selalu marah atau angkat bicara bila ada hal
yang kurang berkenan dihatinya. Walau itu hal yang kecil dan sepele. Dan
itu terus dilakukan walaupun sudah tergolong senior. Jadinya teman-teman yang
lain sudah hafal dengan karakteristik teman satu ini. Bila marah atau di’omeli’
didengarkan saja. Lama-lama akan diam dengan sendirinya. Namun teman yang
penakut enggan untuk bergaul dengan dia. Yang tetap berani bergaul hanya teman
yang ‘berselera pemberani’ saja. Lalu yang terakhir berusaha bergaul dengan
banyak orang. Bila pergualannya luas maka akan semakin terbuka wawasan tentang
perilaku dan karakter banyak orang. Sehingga tidak terlalu shock bila menemui
hal baru.
Memang diakui menghindari marah
adalah hal yang sulit. Namun bila bisa maka akan banyak faedahnya. Diantaranya
diberi kesehatan jiwa. Jauh dari penyakit. Maka benarlah bila Kanjeng Nabi
Muhammad dawuh bahwa orang yang kuat bukanlah orang yang jago berkelahi namun
yang namanya orang kuat adalah orang yang bisa menahan marah. Bila menyadari
sedang marah cepat berwudhu. Bila dalam keadaan berdiri cepat-cepat duduk.
Wallahu a’lam bi al shawab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar