Sabtu, 26 November 2011

Marah dan Kerusakan


Dalam pelajaran sejarah yang masih kita ingat adanya perang dunia I dan II. Itu adalah perang besar di abad XIX. Begitu juga beberapa perang di masa kerajaan-kerajaan. Diantara penyebabnya adalah aneksasi wilayah, rasa terhina, rasa dendam, perluasan wilayah kekuasaan, kesombongan dan marah.
Mengapa marah bisa menjadi penyebab perang diantaranya karena merasa dizalimi, dihina, terusik harga diri dan juga upaya menimbun kekayaan terusik. Sebagai bentuk pelampiasan kesombongan maka diumumkanlah ‘perang’. Ini terjadi karena emosi sudah di’ubun-ubun’. Tanpa berpikir panjang apa akibat dari semua itu. Bagaimana aset peradaban yang telah dibangun selama ratusan tahun, perkembangan ilmu pengetahuan yang begitu maju dan juga penderitaan rakyat yang tertimpa perang. Itu semua sudah hilang dari ingatan. Yang penting perang harus berlangsung dan menang. Mungkin itu yang ada dibenak para pemimpin.
Dalam lingkup yang lebih kecil misalnya di masyarakat, di kantor, bahkan di keluarga juga banyak terjadi kekisruhan karena diawali dari marah. Hingga tidak saling menyapa, tidak akur, bahkan bisa pertumpahan darah dan memutus hubungan silaturahim. Ini terkadang dari hal sepele, lalu tersinggung dan terus berlanjut. Akibatnya bisa ditebak. Banyak ketidakteraturan yang ditemui. Keguyuban warga, keluarga tercabik. Belum lagi adanya korban jiwa dan barang. Hal ini juga sebagai dampak ikutan.
Begitulah contoh kecil dari dampak sifat marah. Maka melihat begitu besar akibat yang ditimbulkan marah/ghadab termasuk sifat yang tercela. Dan sebagai muslim perlu hati-hati dan waspada. Hati-hati perlu dengan mempelajari bagaimana tanda-tandanya dan cara mensikapi agar tidak keterusan. Memang diakui sifat marah adalah manusiawi. Dan manusia pasti bisa marah karana dikaruniai Allah nafsu. Namun adanya napsu perlu dipergunakan dengan sebaik-baiknya. Marah karena Allah dan sabar karena Allah. Agama sendiri juga menganjurkan marah pada tempatnya. Misalnya orang tua bisa saja marah melihat putra-putrinya tidak mau melaksanakan sholat. Bahkan disuruh untuk memukul. Memukulnya tentu saja dengan tujuan tarbiyah, untuk pendidikan. Bukan untuk menyakiti. Lha, dalam contoh kasus ini ternyata perlu pembiasaan sholat dalam keluarga dan juga keteladanan dari orang tua.
Marah berasal dari kata ghadab (bahasa Arab). Adalah perasaan tidak senang. Karena disakiti, dizalimi, hak-haknya diabaikan, dihina. Perasaan ini bisa semua kalangan terjangkiti. Dan semua kelompok sosial. Bila marah maka darah mendidih. Seluruh saraf yang mengalirkan darah juga akan teraliri. Begitu juga saraf otak. Lalu menyebar ke wajah. Maka jadilah orang yang sedang marah wajahnya berubah menjadi merah padam.
Ciri-ciri lainnya adalah pandangan mata tajam tanpa kedip. Karena marah sorot mata begitu sangar kelihatan kejam dan tidak bisa berkedip. Lalu wajah menjadi ‘mendung’ atau cemberut bin murung. Dampak lanjutannya adalah susah diajak berbicara. Hanya menurutkan apa kata hatinya. Diam saja. Ini masih baik. Ada juga bila tidak terkendali akan mengeluarkan kata-kata kasar, pedas. Karena fikiran sudah tidak terkontrol. Lalu ada juga berbuat anarkis. Apa yang ada disekitarnya dirusak. Dan akhirnya akan mengumbar ancaman bagi siapa saja yang merasa menjadi lawannya.
Marah merugikan diri sendiri dan orang lain. Bagi diri pribadi akan berakibat tidak bisa berpikir tenang, akan timbul tekanan batin dan lebih-lebih susah dinasehati. Orang lain tidak bisa memberi arahan dan nasehat. Dampak bagi orang lain diantaranya adalah tidak bisa diajak komunikasi dan menimbulkan kekhawatiran. Oran yang cepat emosi akan naik pitam bila merasa ada yang mengganggunya. Padahal itu hal sepele. Bila sudah emosi maka bisa merusak apa saja  yang ada didekatnya.
Apakah marah bisa dihilangkan? Kayaknya sulit. Namun bisa dikurangi atau dikendalikan. Diantara caranya adalah menyadari bahwa setiap orang mempunyai kesalahan. Lupa dan salah adalah sifat abadi manusia. Namun bukan berarti manusia harus salah terus. Tidak. Namun berupaya meminimalisir kesalahan selanjutnya. Lalu menyadari pula kita juga mempunyai kesalahan kepada orang lain. Oleh karena kita tidak bisa hidup sendiri. Pastilah membutuhkan interaksi dengan orang banyak. Lha, dalam proses interaksi itu timbul atau terjadi kesalahan-kesalahan baik yang disengaja maupun tidak.
Begitu juga dengan marah tidak menyelesaikan masalah. Masalah bisa dicarikan solusinya bila dengan menggunakan kepala dingin. Bukan berarti kepalanya diberi ‘es’. Namun bisa juga setelah ada masalah cooling down dulu. Sambil menghela nafas lalu berfikir mencari solusinya. Disadari pula pemarah tidak disukai dalam pergaulan. Ada teman yang selalu marah atau angkat bicara bila ada hal  yang kurang berkenan dihatinya. Walau itu hal yang kecil dan sepele. Dan itu terus dilakukan walaupun sudah tergolong senior. Jadinya teman-teman yang lain sudah hafal dengan karakteristik teman satu ini. Bila marah atau di’omeli’ didengarkan saja. Lama-lama akan diam dengan sendirinya. Namun teman yang penakut enggan untuk bergaul dengan dia. Yang tetap berani bergaul hanya teman yang ‘berselera pemberani’ saja. Lalu yang terakhir berusaha bergaul dengan banyak orang. Bila pergualannya luas maka akan semakin terbuka wawasan tentang perilaku dan karakter banyak orang. Sehingga tidak terlalu shock bila menemui hal baru.
Memang diakui menghindari marah adalah hal yang sulit. Namun bila bisa maka akan banyak faedahnya. Diantaranya diberi kesehatan jiwa. Jauh dari penyakit. Maka benarlah bila Kanjeng Nabi Muhammad dawuh bahwa orang yang kuat bukanlah orang yang jago berkelahi namun yang namanya orang kuat adalah orang yang bisa menahan marah. Bila menyadari sedang marah cepat berwudhu. Bila dalam keadaan berdiri cepat-cepat duduk. Wallahu a’lam bi al shawab.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar