Memberi adalah perbuatan baik. Memberi diilustrasikan dengan tangan di atas. Sedang orang yang suka menerima digambarkan dengan tangan di bawah. Agama kita sendiri menganjurkan agar kita umat Islam memposisikan diri berada pada kelompok yang pertama, tangan di atas.
Untuk
memposisikan tangan di atas tentunya harus punya materi. Apa seperti ini? Bisa
ya bisa tidak. Karena itu relatif. Walaupun punya materi namun bila tidak ada
keinginan memberi ya tidak akan terjadi. Namun walau tidak punya oleh karena
ada keinginan maka bisa saja apa yang dimiliki untuk diberikan. Bisa nasehat,
doa, solusi, bahkan bacaan kalimah tayyibah juga dianggap sebagai sedekah. Lalu
tenaga, informasi, memberi kesempatan dan sebagainya.
Saya
mengamati beberapa keluarga kiai yang bisa memposisikan hal tersebut. Keyakinan
saya hanya berpaku bahwa beliau-beliau mempunyai ilmu agama yang tinggi.
Sehingga tidak ada rasa takut dan khawatir dengan apa yang beliau berikan akan
berpengaruh terhadap keluarga. Yang pertama Kiai Juwaini. Beliau kiai muda.
Usia sekitar belum 40an. Memimpin pondok pesantren salafiah di Pandanasri
Kertosono. Setiap hari mengajar mengaji santri putra dan putri. Jadi sebenarnya
kiai itu adalah guru yang tanpa mengenal waktu dan usia selalu istikomah
menyebarkan ilmu agama kepada generasi penerus untuk membebaskan umat dari
kegelapan ilmu. Beliau mempunyai sawah dan ternak untuk kelangsungan hidup
sehari-hari. Bila saya sowan kehidupan beliau berkecukupan dengan beberapa
orang putra. Saya agak kaget juga ketika diberitahu bahwa jumlah santri yang
‘nderek’ sebutan bagi santri yang ikut makan pada keluarga ndalem berjumlah 16
santri putra-putri. Dari mana kok bisa menghidupi bagitu banyak santri?
Terkadang juga terpikir tentang hal itu. Namun bila husnudzan kepada Allah. Allah
sendiri akan mencukupinya. Ternyata betul. Ada saja setiap hari masyarakat dan
santri yang mengirim makanan dan sayuran ke pondok. Dari hal itu salah satu
jalannya. Belum lagi dari jalan lain.
Lalu
Kiai Kharisudin Aqib. Kiai muda juga. Lulusan doktor UIN Sahid Jakarta.
Sekarang menjadi dekan fakultas adab IAIN Sunan Ampel Surabaya. Mempunyai
yayasan pondok pesantren yang mempunyai beberapa unit pendidikan formal seperti
madin, SMP, SMK dan MA. Beliau juga menjadi mursyid thoriqah qadiriyah
wanaqsabandiyah. Bila waktu mujahadah pada setiap kamis, lalu delapanan, terus
setiap ahad pekan terakhir bulan selalu menyediakan makan sehabis sholat
magrib. Padahal jumlah santri/murid yang hadir lumayan banyak hampir seratus
orang. Makan bersama-sama dengan 1 baki untuk 4 orang. Ada buah lagi sebagai
pencuci mulut. Ternyata beliau enjoy saja. Dan merasa tidak terbebani. Padahal
dari murid tidak menyumbang apa-apa kepada kiai.
Ketiga,
Kiai Imam. Beliau baru saja membangun pondok. Walau masih kecil namun sudah
bisa digunakan untuk mengaji, sholat berjamaah dan sebagai asrama santri.
Kehidupan beliau sederhana. Mengisi pengajian rutin dengan spesialisasi tafsir
al-qur’an termasuk di masjid pisang sebulan dua kali. Memang beliau lulusan
PTIQ Jakarta dan pondok lirboyo kediri. Menjadi juri bila ada even mtq, dan
mempunyai sawah serta berdagang. Walau tidak setiap hari. Tentu saja menjadi
guru. Guru di mts disebelah rumah beliau. Dengan mempunyai putra beberapa -ada
yang sudah kuliah di IAIN- namun beliau sudah lama memelihara anak yatim
dirumah beliau. Hingga sekarang sudah dibangku madrasah aliyah. Beliau dan Bu
Nyai ringan tangan bila di’sambati’ orang. Tak segan-segan datang berkunjung
walau di tengah malam. Satu lagi bila ditanya persoalan agama walau di sms akan
segera dijawab. Bila dirasa tidak cukup akan menelepon langsung.
Keempat,
Kiai Hidayat. Seorang dosen di sebuah perguruan tinggi swasta di Kediri. biasa
diminta mengisi ceramah dimana-mana. Bu Nyai mempunyai toko yang menyediakan
perlengkapan ATK. Mempunyai pondok pesantren menampung anak yatim piatu. Ada
beberapa santri yang beliau asuh. Ternyata bisa hingga sekarang.
Kembali
ke masalah semula. Santri ingin agar ilmu yang diperoleh dari kiai barokah.
Barokah disini dikandung maksud bertambah-tambah kebaikannya, amal sholehnya,
hidupnya bertambah baik dari hari kehari. Biasanya santri memberi hadiah kepada
kiai. Hadiah apa saja yang dimiliki. Dan pantas untuk dihaturkan. Bisa materi,
tenaga denga ikut mengabdi sebagai pengajar di pesantrennya, bisa fikiran bisa
juga hadiah fatihah. Hadiah surah fatihah ditujukan kepada kiai diharapkan
sama-sama punya sinyal. Ada ketersambungan ruhani. Dari sini ada keyakinan akan
dapat ilmu dari kiai. Bisa ilmu hakekat, asrorul ilmi dan juga barokatul ilmi.
Hadiah fatihah bisa diumpamakan sebagai bluetooth. Sehingga santri akan mudah
mendownload ilmu dari kiai.
Makanya
santri di pondok pesantren biasanya diajari hal tersebut. Washilah hadiah
fatihah kepada guru tidak terlupa. Guru termasuk di sini kiai dan gurunya kiai
ke atas. Biasanya ada juga ritual baca yasin tahlil ke makam kiai tiap kamis
sore. Atau waktu-waktu tertentu. Bila sudah menjadi alumni kebiasaan ini masih
tetap terjaga. Sehingga ketersambungan sanad ilmu dari kiai ke santri masih
terjaga. Maka tidak heran bila banyak alumni yang kehidupannya bisa bermanfaat
bagi lingkungan sekitarnya. Bagaimana anda? Wallahu a’lam bi al shawab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar