Sabtu, 26 November 2011

Hadiah kepada Guru


Memberi adalah perbuatan baik. Memberi diilustrasikan dengan tangan di atas. Sedang orang yang suka menerima digambarkan dengan tangan di bawah. Agama kita sendiri menganjurkan agar kita umat Islam memposisikan diri berada pada kelompok yang pertama, tangan di atas.
Untuk memposisikan tangan di atas tentunya harus punya materi. Apa seperti ini? Bisa ya bisa tidak. Karena itu relatif. Walaupun punya materi namun bila tidak ada keinginan memberi ya tidak akan terjadi. Namun walau tidak punya oleh karena ada keinginan maka bisa saja apa yang dimiliki untuk diberikan. Bisa nasehat, doa, solusi, bahkan bacaan kalimah tayyibah juga dianggap sebagai sedekah. Lalu tenaga, informasi, memberi kesempatan dan sebagainya.
Saya mengamati beberapa keluarga kiai yang bisa memposisikan hal tersebut. Keyakinan saya hanya berpaku bahwa beliau-beliau mempunyai ilmu agama yang tinggi. Sehingga tidak ada rasa takut dan khawatir dengan apa yang beliau berikan akan berpengaruh terhadap keluarga. Yang pertama Kiai Juwaini. Beliau kiai muda. Usia sekitar belum 40an. Memimpin pondok pesantren salafiah di Pandanasri Kertosono. Setiap hari mengajar mengaji santri putra dan putri. Jadi sebenarnya kiai itu adalah guru yang tanpa mengenal waktu dan usia selalu istikomah menyebarkan ilmu agama kepada generasi penerus untuk membebaskan umat dari kegelapan ilmu. Beliau mempunyai sawah dan ternak untuk kelangsungan hidup sehari-hari. Bila saya sowan kehidupan beliau berkecukupan dengan beberapa orang putra. Saya agak kaget juga ketika diberitahu bahwa jumlah santri yang ‘nderek’ sebutan bagi santri yang ikut makan pada keluarga ndalem berjumlah 16 santri putra-putri. Dari mana kok bisa menghidupi bagitu banyak santri? Terkadang juga terpikir tentang hal itu. Namun bila husnudzan kepada Allah. Allah sendiri akan mencukupinya. Ternyata betul. Ada saja setiap hari masyarakat dan santri yang mengirim makanan dan sayuran ke pondok. Dari hal itu salah satu jalannya. Belum lagi dari jalan lain.
Lalu Kiai Kharisudin Aqib. Kiai muda juga. Lulusan doktor UIN Sahid Jakarta. Sekarang menjadi dekan fakultas adab IAIN Sunan Ampel Surabaya. Mempunyai yayasan pondok pesantren yang mempunyai beberapa unit pendidikan formal seperti madin, SMP, SMK dan MA. Beliau juga menjadi mursyid thoriqah qadiriyah wanaqsabandiyah. Bila waktu mujahadah pada setiap kamis, lalu delapanan, terus setiap ahad pekan terakhir bulan selalu menyediakan makan sehabis sholat magrib. Padahal jumlah santri/murid yang hadir lumayan banyak hampir seratus orang. Makan bersama-sama dengan 1 baki untuk 4 orang. Ada buah lagi sebagai pencuci mulut. Ternyata beliau enjoy saja. Dan merasa tidak terbebani. Padahal dari murid tidak menyumbang apa-apa kepada kiai.
Ketiga, Kiai Imam. Beliau baru saja membangun pondok. Walau masih kecil namun sudah bisa digunakan untuk mengaji, sholat berjamaah dan sebagai asrama santri. Kehidupan beliau sederhana. Mengisi pengajian rutin dengan spesialisasi tafsir al-qur’an termasuk di masjid pisang sebulan dua kali. Memang beliau lulusan PTIQ Jakarta dan pondok lirboyo kediri. Menjadi juri bila ada even mtq, dan mempunyai sawah serta berdagang. Walau tidak setiap hari. Tentu saja menjadi guru. Guru di mts disebelah rumah beliau. Dengan mempunyai putra beberapa -ada yang sudah kuliah di IAIN- namun beliau sudah lama memelihara anak yatim dirumah beliau. Hingga sekarang sudah dibangku madrasah aliyah. Beliau dan Bu Nyai ringan tangan bila di’sambati’ orang. Tak segan-segan datang berkunjung walau di tengah malam. Satu lagi bila ditanya persoalan agama walau di sms akan segera dijawab. Bila dirasa tidak cukup akan menelepon langsung.
Keempat, Kiai Hidayat. Seorang dosen di sebuah perguruan tinggi swasta di Kediri. biasa diminta mengisi ceramah dimana-mana. Bu Nyai mempunyai toko yang menyediakan perlengkapan ATK. Mempunyai pondok pesantren menampung anak yatim piatu. Ada beberapa santri yang beliau asuh. Ternyata bisa hingga sekarang.
Kembali ke masalah semula. Santri ingin agar ilmu yang diperoleh dari kiai barokah. Barokah disini dikandung maksud bertambah-tambah kebaikannya, amal sholehnya, hidupnya bertambah baik dari hari kehari. Biasanya santri memberi hadiah kepada kiai. Hadiah apa saja yang dimiliki. Dan pantas untuk dihaturkan. Bisa materi, tenaga denga ikut mengabdi sebagai pengajar di pesantrennya, bisa fikiran bisa juga hadiah fatihah. Hadiah surah fatihah ditujukan kepada kiai diharapkan sama-sama punya sinyal. Ada ketersambungan ruhani. Dari sini ada keyakinan akan dapat ilmu dari kiai. Bisa ilmu hakekat, asrorul ilmi dan juga barokatul ilmi. Hadiah fatihah bisa diumpamakan sebagai bluetooth. Sehingga santri akan mudah mendownload ilmu dari kiai.
Makanya santri di pondok pesantren biasanya diajari hal tersebut. Washilah hadiah fatihah kepada guru tidak terlupa. Guru termasuk di sini kiai dan gurunya kiai ke atas. Biasanya ada juga ritual baca yasin tahlil ke makam kiai tiap kamis sore. Atau waktu-waktu tertentu. Bila sudah menjadi alumni kebiasaan ini masih tetap terjaga. Sehingga ketersambungan sanad ilmu dari kiai ke santri masih terjaga. Maka tidak heran bila banyak alumni yang kehidupannya bisa bermanfaat bagi lingkungan sekitarnya. Bagaimana anda? Wallahu a’lam bi al shawab.  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar