Lembaga
pendidikan biasa mengerjakan upacara bendera pada hari senin. Pada momen ini
diikuti oleh seluruh keluarga besar. Mulai dari kepala, wakil, guru dan staf
kantor. Hal ini memang aturannya dari peraturan yang sudah ditetapkan lama.
Hal ini
terbukti. Sejak saya masih di SD upacara ini tanpa jeda terus dilaksanakan.
Mulai kelas 1 sampai kelas 6. Bahkan ketika di SMP dilaksanakan pada hari Senin
dan hari Sabtu. Hari Sabtu karena pada waktu kelas 1 masuk sore. Karena ruangan
kelas kurang. Sehingga masuknya bergantian. Di hari Sabtu itu diadakan upacara
penurunan bendera pada jam terakhir. Namun sekarang ini sudah tidak ada lagi.
Karena diharuskan sekolah negeri harus masuk pagi. Sehingga dibuatlah ruang
kelas baru. Dengan memindahkan area parkir sepeda. Parkir sepeda harus diluar
komplek sekolah. Sehingga harus bayar. Ini konsekuensi yang dipikul. Karena
memang sekolah ini terkenal dengan sekolah favorit dan tertua. Favorit ini
sebenarnya relatif. Atau mungkin juga oleh karena usianya sudah tua sehingga
prestasinya sudah terkoleksi banyak. Sehingga masyarakat otomatis menganggap
sekolah ini terbaik.
Akhir-akhir
ini saya melihat bahwa yang mengikuti upacara bendera di sekolahku hanya
beberapa gelintir saja. Dulu pernah ketika bergulir wacana pegawai harus bekerja
selama 37,5 jam perminggu semuanya tanpa kecuali mengikuti upacara. Namun
perlahan dan pasti jumlahnya menurun. Seiring dengan berkurangnya contoh dari
pimpinan. Sekarang terlihat yang mengikuti upacara hanya beberapa orang saja.
Terutama hanya unsur pimpinan. Dan inipun tidak lengkap. Itu dari bapak-bapak
sedang dari ibu-ibu pegawai lumayan masih banyak. Walaupun jumlahnya belum
pernah di hitung. Namun lumayan banyak. Masih pantas jumlahnya bila dilihat
oleh peserta didik.
Mengenai
upacara ini, saya teringat pada upacara memperingati Proklamasi Kemerdekaan RI
pada tahun lalu dimana santri Pondok Pesantren Lirboyo Kediri mengadakan
upacara juga. Seluruh santri yang berjumlah ribuan berpakaian sebagaimana
santri pada umumnya memakai sarung, baju koko putih dan berkopiah dengan hikmah
mengikuti jalannya upacara. Inspektur upacara langsung dipegang oleh Kiai Idris
Marzuki. Sungguh suatu prestasi dan perlu apresiasi tersendiri. Ini memang
bentuk rasa syukur atas anugerah kemerdekaan. Para kiai menyadari betul bahwa
kemerdekaan yang diraih adalah andil dari keluarga besar pondok pesantren
seluruh nusantara. Para kiai, santri dan keluarga bersama rakyat bahu-membahu
merebut kemerdekaan. Tidak terhitung berapa besar pengorbanan yang diberikan
untuk kemerdekaan ibu pertiwi. Nyawa, harta, materi dan semuanya diberikan demi
terlepas dari penjajahan. Upacara bukan dimaknai untuk menyembah bendera. Namun
untuk menghormati simbol negara yang berupa bendera merah putih. Dilaksanakan
agar seluruh warga tidak lupa akan jati diri bangsanya. Bukankah hal tersebut
bagian dari rasa cinta tanah air. Hubbul wathan minal iman.
Upacara
bendera di sekolah pada hari Senin disamping untuk hal di atas juga melatih
kedisiplinan seluruh keluarga besar lembaga. Baik guru, pegawai dan peserta
didik. Juga bagian dari profesionalisme. Maka sangat perlu kiranya untuk
diikuti.
Untuk
memancing partisipasi dari pegawai ada beberapa yang bisa dikerjakan:
1.
Presensi. Dulu waktu saya di Lengkong mengisi
presensi upacara dilakukan setelah mengikuti upacara. Hal ini merangsang untuk
bersedia hadir.
2. Menjadi
pembina upacara bergantian. Ada pengalaman bahwa menjadi pembina upacara adalah
hal yang sulit, menakutkan dan membuat grogi kurang PD. Apa bisa saya pidato?
Lalu nerveus. Padahal yang dihadapi adalah peserta didik yang setiap hari
dihadapi dan sesama kolega. Ternyata setelah dilalui ya bisa juga. Apalagi
dilakukan secara bergantian. Semua wali kelas kebagian menjadi pembina upacara.
Selain kepala dan fungsionaris. Hal ini juga menumbuhkan rasa handarbeni, rasa
memiliki lembaga. Maka semua merasa memiliki dan berusaha memberikan dedikasi
terbaik. Apalagi pembina upacara adalah wali kelas dan yang menjadi petugas
upacara adalah kelas binaannya. Maka wali kelas berusaha menyiapkan peserta
didik binaannya bisa tampil maksimal.
3.
Imbalan sebungkus sarapan. Bagi peserta upacara
perlu disediakan sebungkus nasi untuk sarapan. Hal ini bisa dilakukan mengingat
untuk upacara para pegawai harus berangkat lebih pagi dan biasanya belum
sarapan di rumah. Sehingga tersedianya sarapan maka akan menambah gairah untuk
mengikuti upacara. Tentu saja ini tergantung anggaran yang tersedia. Namun bila
dirasa perlu mengapa tidak. Dari pengalaman yang ada ternyata membawa dampak
angka partisipasi mengikuti upacara lebih tinggi di kalangan pegawai.
Wallahu
a’lam bi al-shawab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar