Selasa, 24 Mei 2011

Memakmurkan Masjid Madrasah

Kehidupan keagamaan dirasakan semarak di mana-mana. Dalam arti tempat ibadah seperti masjid, mushola ada dimana-mana. Masjid atau mushola bisa dijumpai di kantor pemerintahan, sekolah, madrasah, kalau di pondok pesantren memang sudah bagian dari yang tidak bisa ditinggalkan. Lalu di terminal, stasiun, di tiap desa, bahkan sampai di tiap RT, di hotel, restoran. Intinya hampir mudah untuk menjalankan ibadah sholat karena disediakan tempatnya. Bahkan di kolam renang, SPBU, di tempat rekreasi dengan mudah kita dapatkan. Hal ini memang menunjukkan bahwa kehidupan beragama begitu hidup. Apakah benar seperti itu?
Masjid diyakini sebagai tempat untuk mendekatkan diri kepada Allah. Hal tersebut dimaknai sebagai garis vertikal hubungan manusia dengan Tuhannya. Namun juga berdimensi horisontal. Karena ada aspek hubungan antar manusia yang bisa didapatkan ketika di masjid. Sehingga upaya awal yang dilakukan Kanjeng Nabi Muhammad ketika hijrah adalah mendirikan masjid yakni Masjid Quba. Masjid dijadikan tempat bertemu untuk dakwah, dan beribadah. Dakwah di sini berdimensi luas karena permasalahan sosial kemasyarakatan dipecahkan disini, masalah hukum, masalah siasat perang, masalah ekonomi, peradilan juga diputuskan disini. Bahkan Kanjeng Nabi juga menerima tamu dari umat lain juga di masjid. Karena melihat peran pentingnya keberadaan masjid maka ada satu yayasan di jaman orde baru yang mengkhususkan diri untuk membangun masjid di seluruh nusantara hingga berjumlah 1000 buah masjid.
Dilihat dari aspek pendidikan masjid berperanan penting untuk pembentukan karakter peserta didik. Jumlah peserta didik yang banyak tentu membutuhkan sarana ibadah yang memadai. Maka seharusnya menyesuaikan. Sangat tidak elok bila jumlah siswa banyak namun masjidnya kecil. Lha, bagaimana untuk pembiasaan sholat anak?
Maka perlu keberanian dari pimpinan agar sarana masjid diutamakan keberadaannya. Baik fisik, fasilitas, kenyamanan dan kebersihannya. Memang diakui jargon an nadho fatu minal iman. Namun dalam tingkatan praksis banyak yang mengabaikan bahkan madrasah sendiri yang menjadi proses penyemaian nilai-nilai agama bagi anak. Perlu contoh kongrit tentang hal ini.
Mengenai kemakmuran masjid lagi-lagi perlu ada tangan dingin yang mau memikirkan hal ini. Dan tentu saja perlu dukungan dari semua pihak. Bagaimana cara agar masjid madrasah bisa makmur. Makmur jamaahnya dan makmur kegiatannya. Sehingga kelihatan semarak.
Sementara ini ada bagian di madrasah bidang keagamaan. Ada guru yang diberi jabatan sebagai pembina keagamaan. Tentu saja ini ada kaitannya dengan masjid. Namun belum bisa maksimal. Atau memang job descriptionnya yang belum jelas atau ada masalah lain.
Kegiatan yang bisa dilakukan di masjid madrasah adalah sholat dhuha dan sholat dhuhur berjamaah. Ini dilakukan pada 20 menit akhir jam keempat dan jam kedelapan. Tidak semua peserta didik yang sholat hanya bergiliran. Ini mengingat tempat yang tidak memadai dan juga menyesuaikan waktu. Namun ada juga sekolah islam lain yang mengerjakan sholat dhuha ketika jam istirahat. Dan ini bisa semua siswa. Dan pelaksanaan sholat dhuhur dilakukan setelah jam selesai. Ternyata bisa. Dan berhasil. Imam sholat diserahkan kepada guru piket pada waktu itu.
Disadari atau tidak pelaksanaan kegiatan di atas masih sebatas rutinitas belum menyentuh aspek kebersamaan. Dalam arti yang sholat hanyalah siswa yang mendapat giliran begitu juga gurunya. Ada hal yang menarik seperti di UIN Maliki Malang. Ketika waktu sholat semua civitas akademik berhenti dahulu segera ke masjid menunaikan sholat bila sudah terdengar adzan. Mulai dari rektor, wakil rektor, dekan, pegawai hingga tukang sapu bisa bersama-sama ke masjid. Untuk memulai hal ini perlu kepedulian dari pimpinan dengan memberi contoh dan bukti. Lha, siswa disuruh membiasakan sholat sedang pimpinan dan guru sholatnya sendiri-sendiri berarti siapa yang bisa ditiru. Ternyata teladan dari pimpinan sangat penting dalam pembentukan pribadi siswa.
Wallahu a’lam bi al shawab

Tidak ada komentar:

Posting Komentar