Kamis, 07 Oktober 2010

Bersih Desa



Ada pepatah yang mengatakan lain ladang lain belalang, lain lubuk lain ikannya. Hal ini menggambarkan bahwa setiap desa atau daerah mempunyai ciri khas atau adat sendiri. Yang sebenarnya hal tersebut menunjukkan kekayaan budaya negeri ini. Mengenai hal ini saya teringat dengan sebuah desa di salah satu pulau milik Malaysia. Desa ini masih tergolong alami dengan ada aliran sungai yang masih eksotik. Dan ada beberapa rumah yang bisa ditinggali dan disewakan. Dengan sarana prasarana yang cukup memadai mulai dari akses jalan, listrik, telepon. Namun yang dijual adalah kesederhanaan dan eksotisme alam. Dengan sentuhan industri pariwisata hal sederhana itu dijual menjadi satu paket wisata internasional. Sehingga banyak orang Indonesia yang pergi ke sana. Untuk menikmati keindahan yang sebenarnya hal tersebut banyak sekali di negeri ini. Memang terkadang kita pokoknya keluar negeri maka baru dikatakan melancong atau pelesir keluar negeri.

Kemarin hari Kamis Legi, 30 September 2010 adalah hari Bersih Desa bagi warga desa Pisang Kecamatan Patianrowo Nganjuk. Bersih desa disini diartikan menghilangkan balak, kesialan, pancaroba, paceklik dan sejenisnya. Ketika saya masih kecil sekitar tahun 80an keatas teringat pada pagi hari banyak orang berbondong-bondong ke kuburan desa dengan membawa ambengan. Ambengan adalah makanan khas seperti orang selamatan dengan nasi dan lauknya. Yang menarik waktu itu wadah ambengan yang namanya lengkong. Terbuat dari pelepah pohon pisang yang dibentuk persegi empat dengan tengahnya diberi anyaman dari bambu agar makanan bisa diletakkan. Jadi orang yang sudah tua, muda dan anak-anak membawa lengkong ke kuburan. Katanya makanan diberikan kepada Danyang desa Pisang. Memang di tengah kuburan ada pohon beringin yang sudah tua. Sampai sekarang masih berdiri kokoh. Konon Danyang atau yang babat desa Pisang disemayamkan. Mereka berkumpul di sini dengan mempersembahkan makanan agar diberi keselamatan, kesejahteraan, aman dan panen di sawah bisa banyak. Acara bersih desa diadakan setiap tahun.

Bahkan untuk menyemarakkan suasana dan memberi hiburan bagi warga diadakan pentas seni. Ada ludruk, tayub, ketoprak, lancar tancap, dan pagelaran wayang. Setiap tahun berganti-ganti sesuai selera dan banyaknya iuran yang diberikan warga. Besarnya iuran setiap warga berbeda-beda didasarkan luas tanah sawah yang dimiliki. Karena hal ini menjadi kebutuhan bersama dan sebagian besar warga berprofesi sebagai petani dengan mudah iuran diberikan.

Seiring dengan perubahan waktu dengan tingkat pendidikan warga yang semakin tinggi dan beragamnya mata pencaharian maka bersih desa terjadi akulturasi budaya. Dalam arti mengenai nama masih tetap namun tujuan diadakannya acara bersih desa dibawa ke nilai-nilai keislaman. Memang hal ini tidak bisa dilakukan secara frontal. Perlu waktu dan bertahap sehingga tidak seperti penyebaran Islam yang tulis orang Barat bahwa Islam didakwahkan dengan pedang ditangan kanan dan al-Qur’an di tangan kiri. Dan juga tidak seperti peritiwa yang melatarbelakangi Perang Padri di Sumatera Barat ada segolongan orang yang ingin memurnikan ajaran agama dengan kekerasan dan memaksakan kehendak dengan amalan ajaran yang sudah berkembang.

Proses dakwah secara bertahap ini sangat baik untuk menghindari gejolak sosial. Maka hal semacam ini dipakai oleh para wali songo untuk menyebarkan Islam. Sehingga bisa diketahui Islam berkembang di Pulau Jawa ini tanpa kekerasan hanya melalui tauladan dan akulturasi budaya.

Wali yang sangat jago dalam bidang ini diantaranya adalah Sunan Kalijaga. Beliau menyebarkan Islam dengan media wayang kulit dan menciptakan beberapa gending Jawa yang sangat digemari oleh warga yang mayoritas masih menganut Animisme dan Dinamisme. Diantaranya dengan mengadakan pagelaran wayang kulit di halaman Masjid Demak. Sebagai pengganti karcis melihat pagelaran adalah mengucap dua kalimah syahadat dan berwudhu. Proses masuk Islam yang elegan tanpa kekerasan dan bisa diterima semua kalangan. Bukankah Islam adalah agama kasih sayang. Hal ini bisa dilihat dari setiap surat diawali dengan bacaan basmalah. Hanya satu yang tidak karena didalamnya berkaitan dengan peperangan. Jadi Islam perlu didakwahkan dengan sifat rahman dan rahim. Bentuk dengan kasih sayang. Bukan seperti sekarang untuk memaksa orang lain menganut Islam maka dilakukan razia, penutupan warung, panti pijat, diskotek, pub dan sejenisnya dengan membawa pentungan dan seraya meneriakkan takbir. Kalau seperti itu akan kelihatan bahwa Islam adalah agama kekerasan. Derivasi dari hal semacam ini adalah bom bunuh diri, meledakkan tempat-tempat yang dianggap berbau maksiat. Dan dianggap hal tersebut sebagai jihad fi sabilillah.

Sekarang ini bentuk dari kegiatan bersih desa tidak dilakukan di kuburan tetapi dilakukan di masjid, tempat mengaji al-Qur’an dan di balai desa. Seperti kemarin sore anak-anak yang mengaji di rumah sebelah mengaji sambil membawa makanan yang berupa berkat. Satu anak satu lalu dikumpulkan. Menjelang waktu pulang diadakan tahlil bersama-sama lalu berkat yang ada dibagi lagi untuk dimakan bersama dan sisanya dibawa pulang.

Begitu juga yang di masjid. Para jamaah membawa berkat sendiri-sendiri. Ada yang membawa lima, empat dan seterusnya. Setelah sholat magrib berjamaah diadakanlah tahlil untuk orang yang membuka desa Pisang, yakni Syeh Fatihi Hadzal Qaryah. Ini sebagai bentuk penghormatan atas prakarsa yang beliau berikan dalam mengawali mukim di desa ini. Sehingga bisa dilanjutkan oleh para anak cucu hingga sekarang ini. Tahlil di pimpin oleh Haji Saifuddin diikuti oleh jamaah di Serambi Masjid. Melihat seperti ini, sebenarnya sebagai bentuk rasa syukur kepada Allah atas limpahan rahmat dan taufikNya. Sehingga semua warga bisa menikmati hidup seperti sekarang ini. Lha, bentuk pengungkapan rasa syukur kepada manusia diantaranya mengirim hadiah fatihah dan tahlil kepada yang membuka desa ini. Sebagaimana dalam ayat wa amma bini’mati rabbika fa haddits.

Dan pada hari ini, Jumat 1 Oktober 2010 dilakukan khataman al-Qur’an di Balai Desa Pisang. Pagi hari dimulai oleh para ibu-ibu dan setelah sholat Jumat diteruskan oleh Bapak-bapak. Mengenai apresiasi budaya sudah dilakukan sebulan yang lalu dengan menggelar wayang dengan Dalang dari Blitar. Dan sudah beberapa tahun terakhir ini warga tidak pernah dimintai pungutan mengenai hal ini. Kebutuhan sudah dicukupi oleh pemerintah desa. Dan ambengan berupa wadah lengkong di bawa ke Balai Desa untuk digunakan tahlil dan makan bersama semua warga. Walaupun masih ada yang dibawa ke kuburan hanya dilakukan oleh orang yang sudah sepuh dan jumlahnya tidak banyak. Tentu saja karena masih mempercayai hal tersebut.

Wallahu a’lam bi al shawab.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar