Senin, 30 Agustus 2010

Belajar Mengasuh Anak Kepada Bu Nyai

Pada suatu sore awal Ramadhan ini saya berkesempatan silaturahmi ke rumah Kiai Imam. Setelah bertemu beliau pergi ke tetangga sebelah diminta memimpin doa pernikahan. Lalu saya ditemui Bu Nyai dengan dua putrinya yang masih kecil. Satu masih sekolah di TK dan satunya masih belum sekolah. Karena melihat putranya ada lima yang jarak lahirnya tidak terlalu jauh, lalu ada keinginan untuk bertanya bagaimana cara mengasuh anak agar tidak terasa repot.
Beliau lalu bercerita bahwa anak diajari untuk belajar mandiri. Bila waktunya pagi atau sore semua anak berusaha untuk membersihkan rumah bersama-sama. Bahkan semua pekerjaan rumah tentunya dengan kemampuan masing-masing. Belajar mencuci pakaian, setrika bila sudah mampu juga dilakukan. Jadi tidak ada yang diistimewakan. Begitu juga belajar memasak. Hampir semuanya bisa memasak walau memasak yang sederhana. Dan juga yang laki-laki. Mengenai waktu bermain, semua anak dibebaskan bermain sesuai dengan usianya. Memang usia bermain dari 0-12 tahun masih usia bermain. Jadi bila siang hari sehabis sekolah di madrasah ibtidaiyah tidak tidur siang dibiarkan. Karena anak masih ingin menikmati masa bermainnya. Tapi ketika sore harus ikut madrasah diniyah. Mengenai belajar tidak ada aturan keras untuk belajar di rumah. Pokoknya dengan kesadaran anak sendiri mau belajar pelajarannya. Ada rasa senang melihat anak-anak beliau memiliki rasa hormat dengan orang tua dibuktikan dengan berbicara bahasa Jawa krama. Ini yang agaknya hilang dari keluarga kita. Namun bila dilihat dari ritme belajar dan anak masih mengaji diniyah atau di pondok pesantren maka hal ini tidak terlalu dikhawatirkan. lha, mengapa kok bisa?
Bukankah di pondok pesantren, pelajaran yang diajarkan berbahasa Arab dengan di maknai gandul atau menggunakan Arab pegon yang berbahasa Jawa. Dari sini bisa diketahui sebenarnya pondok pesantren adalah cagar budaya bahasa Jawa. Dengan sendirinya santri pondok pesantren bisa berbahasa Jawa bahkan Jawa Krama. Santri yang berasal dari luar Jawa pun bisa berbahasa Jawa karena memang itu mejadi bahasa wajib pelajaran. Hal ini akan berimbas bila santri pulang ke rumah. Karena di pondok menggunakan bahasa tersebut di rumah pun ketika berbicara dengan orang tua tentu saja bercakap-cakap dengan bahasa Jawa krama. Inilah manfaat bila anak mengaji di pondok pesantren. Selain memperoleh ilmu juga praktek ilmu akhlak dalam keseharian. Sehingga menjadi kebiasaan atau tradisi yang baik.
Perbedaan sekolah dan pondok pesantren terletak pada proses pembelajarannya. Sekolah sering terjadi hubungan transaksional antara guru wali murid. Tetapi di pesantren masih terjadi hubungan ikhlas. Ini menjadi jawaban mengapa pendidikan di pesantren bisa lebih sukses di banding sekolah. Walau sarana prasaran pesantren masih apa adanya. Disamping memang ada teladan dari kiai. Kiai akan berperilaku sesuai dengan apa yang diajarkan. Bahkan ada cerita kiai tidak jadi mengajarkan isi suatu kitab kuning karena merasa belum mengamalkan isi dari kitab itu.
Ada hikmah yang bisa dipetik bahwa waktu bermain anak perlu disalurkan. Jangan sampai waktu bermain digunakan orang tua untuk memaksa anak untuk les tambahan pelajaran, musik dan lain-lain. Anak akan berkembang dengan sendirinya. Lalu semakin anak diajak berfikir dengan pagi sekolah di pendidikan formal semisal MI dan SD dan sore atau malam melanjutkan belajar di madrasah diniyah akan memacu otak anak untuk senantiasa berfikir. Otak akan tetap aktif. Dan bisa merangsang anak menjadi cerdas. Banyak orang besar melakukan kebiasaan seperti ini di masa kecilnya. Semisal Gus Dur, Prof. Dr. Komarudin Hidayat, Prof. Dr. Imam Suprayogo dan lainnya. Bahkan Albert Einstein saja yang sehebat itu baru memfungsikan 8% dari kemampuan otaknya. Bagaimana bila menggunakan 50% saja, wah pasti lebih ok lagi?
Wallahu a’lam bi al shawab.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar