Suatu hari saya pergi ke Surabaya dengan naik bis. Memang transportasi massa ini yang murah meriah bisa dilakukan. Selain kereta api. Kereta api terkadang lebih murah namun jadwalnya yang tertentu membuat saya lebih memilih angkutan ini. Sudah beberapa kali bila pergi naik bis dari kertosono ke Surabaya menjumpai seorang nenek yang sudah habis giginya meminta-minta di bis. Dengan nada mengiba minta bantuan penumpang untuk memberi sumbangan. Lalu juga akan di akhiri dengan doa semoga para penumpang selamat sampai tujuan. Melihat fenomena ini, terkadang saya terenyuh juga. Namun rasa iba saya itu agak hilang ketika di pagi hari. Pernah memergoki ia diantar oleh seseorang mungkin salah satu anaknya atau cucunya dengan naik sepeda motor. Dan berhenti di halte bis. Sangat kelihatan bila hal tersebut menjadi kebiasaan dan jangan-jangan telah menjadi profesi yang dilakukan dalam waktu relatif lama. Bisa juga awalnya coba-coba namun melihat pendapatan yang lumayan maka bisa dijadikan profesi dan pekerjaan setiap hari.
Profesi peminta-minta di bis, di perempatan jalan dengan menggendong anak entah anak sendiri atau anak pinjaman atau anak sewaan, pengemis anak-anak yang kelihatannya ada yang mengkoordinir, pengemis dengan kelihatan ada luka di kaki dls menjadi fenomena yang kerap kita lihat sehari-hari. Fakta bahwa pekerjaan meminta-minta menjadi profesi memang ada betul. Ada tulisan dari dosen STAIN Pamekasan yang meneliti suatu desa di Madura yang sebagian besar penduduknya berprofesi sebagai pengemis. Rumahnya bagus-bagus. Bahkan ada yang bertingkat. Kehidupannya seperti orang kebanyakan. Tidak terlihat sebagai orang yang kekurangan. Namun setelah di telusuri ternyata kepala keluarganya menjadi pengemis di Jakarta. Ini tidak terjadi pada satu atau dua keluarga namun banyak. Begitu juga saya punya adik yang bekerja sebagai polisi di Kediri. Ia bercerita bahwa ada suatu desa di Kediri yang punya kebiasaan seperti itu. Tepatnya penduduk salah satu rt/rw di pare ada pada hari tertentu misalnya jumat atau hari raya berbondong-bondong pergi ke Surabaya untuk meminta. Pengemis menjadi mata pencaharian. Lalu bila dilihat secara fenomenologi berarti ada sesuatu yang melatarbelakanginya sehingga sebagian besar penduduk suatu desa melakukan pekerjaan seperti itu.
Dalam ajaran agama ada konsep tangan di atas lebih baik dari tangan di bawah. Kita di anjurkan untuk bisa menempatkan sebagai tangan di atas dalam arti banyak memberi. Dan berusaha menghindari dengan meletakkan tangan di bawah yang berarti banyak menerima. Dengan kata lain menjadilah orang yang banyak memberi manfaat. Dalam aplikasinya kalau ada orang yang meminta di rumah kita, atau di jalan kita berusaha memberi kalau ada. Bila pas tidak ada kita minta maaf atau berkata dengan baik dan santun biar tidak ada ketersinggungan. Ajaran Sunan Drajat, salah satu penyebar Islam di Pulau Jawa bisa juga kita renungkan. Berilah tongkat bagi orang yang buta, berilah makan bagi orang yang lapar, berilah pakaian orang yang tidak berbaju. Kalau kita ambil benang merah itu ternyata pas dengan fenomena sekarang ini. Orang buta bisa berarti buta betulan atau orang yang belum menerima hidayah Allah. Dalam arti belum menganut ajaran Islam. Menghadapi hal semacam ini tugas seorang muslim memberi nasehat, memberi tuntunan dan teladan bagaimana caranya berislam yang baik. Dengan ini semoga ada hidayah Allah lewat kita kepada orang tersebut. Sehingga dalam menghadapi kehidupan ini ada pegangan. Agar tidak terombang-ambing oleh keadaan. Lalu berilah makan bagi orang lapar. Kalau mempunyai kelebihan makanan hendaklah tetangga-tetangganya diberi biar juga merasakan. Semoga tidak terjadi kita sekeluarga kenyang ternyata ada tetangga kita yang kelaparan. Ada tauladan yang baik dicontohkan oleh Nabi Ibrahim AS. Beliau ketika waktunya makan pasti mencari teman untuk di ajak makan. Lalu yang terakhir berilah baju orang yang tidak berpakaian. Mungkin orang jaman dahulu tidak berpakaian karena tidak ada uang untuk membeli baju. Namun sekarang ada yang berlimpah harta namun pakaiannya seperti orang miskin yang pakainnya compang-camping. Lha, kita perlu menentukan sikap untuk melihat fenomena ini.
Kalau di lihat dari ajaran agama yang memerintahkan kita orang muslim untuk memperhatikan nasib saudara kita yang kurang beruntung namun dalam kenyataan masih banyak yang nasibnya belum berubah akan timbul pertanyaan mengapa hal ini terjadi? Dalam data statistik menunjukkan bahwa jumlah penduduk muslim di negeri ini dalam kisaran 80 %. Apa semuanya tidak lagi memperhatikan ajaran agamanya? Apalagi ada konsep zakat, infak, sedekah, hibah, wakaf dll. Relasi itu semua di mana? Jangan-jangan nanti ada yang menggugat agama sudah tidak bisa menyelesaikan permasalahan kehidupan manusia lalu timbul rasa apatis beragama?
Jawaban sederhananya mungkin begini. Memang jumlah penduduk mayoritas negeri ini muslim namun masih soleh ritual. Belum sampai pada tingkatan soleh sosial apalagi soleh intelektual. Dalam posisi soleh ritual, yang dikedepankan seberapa banyak sholat wajib dan sunah yang dilakukan, seberapa banyak dzikir dan wirid yang dilakukan tiap hari, hal-hal yang wajib seperti puasa, bahkan haji. Dalam arti seberapa banyak rukun islam kelima ini yang dilakukan. Bahkan kalau bisa tiap tahun bisa berziarah ke Baitullah. Tidak di larang. Namun apakah ada atsar yang merubah orang yang berhaji ini dengan kehidupan tetangga sekitarnya. Inilah gambaran kesalehan ritual. Padahal aplikasi dari kesalehan ritual adalah seberapa kepedulian kita dengan kehidupan orang di sekitar kita termasuk ada usaha mengentas permasalahan pengemis dll.
Lalu bagaimana perhatian negara dengan masalah sosial ini? Kalau dilihat ada kementerian yang mengurusi masalah sosial yang di jaman Gus Dur jadi presiden departemen ini dilikuidasi yakni kementerian sosial. Sebagai pengejawantahan amanat UUD khususnya pasal 32 bahwa anak yatim dan orang terlantar dipelihara oleh negara. Ada yang usil, makna kata dipelihara ini memang dipelihara betul agar tetap seperti keadaan semula tanpa maksud mengembangkan dan mengentas agar bisa mandiri. Walaupun pemerintah telah berusaha partisipasi masyarakat masih masih di butuhkan. Dan juga keberpihakan para pemimpin akan permasalahan krusial ini. Janganlah masalah pelik ini digembor-gemborkan ketika kampanye lalu hilang ditelan bumi ketika sudah menjabat. Tidak ada kabar beritanya lagi. Dan lebih penting keberpihakan mereka kepada kawula alit. Mereka butuh perlindungan, pemberdayaan, dan kemudahan akses ekonomi. Yang akhirnya mereka bisa bersaing untuk hidup dan meningkatkan kehidupannya.
Ada bebarapa hal yang kiranya perlu kita perhatikan untuk mengurangi angka pengangguran yang menjurus pada profesi peminta-minta:1. pendidikan keluarga. Keluarga sangat berpengaruh terhadap pola fikir anak. Keluarga perlu mendidik dan membiasakan serta memberi contoh bahwa bekerja keras lebih baik dan di sayang Allah di banding orang yang suka bermalas-malasan. Dengan memberi contoh nyata kenyataan tersebut. Bahkan keluarga Tionghoa sudah membiasakan bekerja bagi anak-anaknya sedari kecil. Tentu saja sesuai dengan tingkat usianya. Kenyataannya perekonomian negeri ini masih juga di tangan mereka. 2. anak dibekali dengan ilmu. Hanya dengan ilmu dan di amalkan maka akan mengarah kemandirian hidupnya kelak.
Wallahu a’lam bi al-shawab
Tidak ada komentar:
Posting Komentar