Selasa, 15 Juni 2010

Kesejawatan dan Empati

Pada hari ini diadakan ujian semester genap di madrasah. Seperti biasa pengawas dipilih dari guru yang bertugas secara bergilir. Ketentuan ini terserah pada panitia. Guru siapa ditempatkan pada ruang mana. Saya lihat jadwal giliran di lantai atas. Saya kenal betul di ruang kelas lantai atas tidak ada aliran listril. Padahal saya ingin baca dan nulis di laptop. Yang mau tidak mau butuh sumber listrik untuk kelangsungan aktivitas ini. Lalu ada kepikiran untuk pindah ruangan dengan teman guru. Setelah meminta beliau ternyata mau tukar ruang. Alhamdulillah.sudah terjawab permasalahan saya. Maka saya bias beraktivitas pribadi dan tugas pokok mengawasi anak ujian.
Setelah jam pertama usai. Lalu timbul permasalahan pada jam kedua. Saya agak kelimpungan juga. Ternyata masih bertugas di lantai dua. Ada teman guru yang saya ajak ganti tugas di ruang saya. Ia tidak mau. Saya maklum ibu muda yang baru melahirkan. Kemungkinan belum berani melangkah naik. Dan saya mengajak guru yang lain ternyata juga sama. Saya maklum saja. Benar memang keberatan teman-teman guru selama ini agak enggan mengajar di lantai dua. Karena cukup lelah juga untuk naik. Apalagi di jam terakhir. Rasanya untuk melaksanakan tugas harus dengan keinginan ekstra karena ini menyangkut tugas dan sebagai profesi. Maka baru mengalahkan nafsu dan mau mengajar. Terkadang juga, ada teman guru yang sudah hamil tua dan punya jam di lantai dua pada jam terakhir hanya memberi tugas. Terkadang bisa dimaklumi. Orang yang sedang hamil memang payah. Hal ini telah ditegaskan dalam kitab suci agama kita, bahwa seorang ibu ketika hamil dalam keadaan sangat payah. Maka anak tidak boleh durhaka kepada orang tua terutama ibu. Lha, dalam permasalahan saya. Saya sendiri menerima. Dan saya terima saja. Mungkin saya akan mengawasi di lantai dua dan tidak bisa beraktivitas pribadi. Ya, akan saya kerjakan juga. Sebenarnya ada terbersit juga keinginan untuk melimpahkan tugas mengawasi kepada panitia. Namun saya ingat, betapa repotnya panitia kalau diberi tugas tambahan untuk juga mengawasi. Maka ya sudah Saya akan laksanakan.
Ternyata takdir berkata lain. Dan ini berkat pertolongan Allah jua. Ketika mengambil naskah ujian, ternyata ada ruangan di lantai bawah yang tidak ada mengisi dan di ruangan itu ada colokan listriknya. Setelah saya bertanya dengan panitia dan dibolehkan di lantai bawah. Jadilah. Saya mengawasi di lantai bawah dan beraktivitas.
Setelah itu saya merenung. Ternyata teman-teman punya empati juga. Merasakah ada teman yang membutuhkan bantuan. Dan ketika merasa bisa membantu, ya membantu. Walau rasanya agak berat. Namun terjadi seperti itu. Rasanya senang sekali. Apalagi ini terjadi pada guru madrasah. Dan madrasah sendiri punya program untuk menyiapkan membuka kelas unggulan. Bila budaya madrasah seperti ini bisa senantiasa dilakukan dan menggurita pada seluruh civitas akademika maka tak ayal lagi program madrasah akan berhasil. Karena budaya madrasah sudah terbentuk, saling punya empati antar sejawat guru.
Benarlah kiranya dalam al-Qur’an taawanu alal birri wattaqwa bahwasanya kita dianjurkan untuk saling tolong-menolong dalam hal ketakwaan. Dalam hal kebaikan. Maka umat akan bisa bersatu dalam kebaikan. Implementasinya dalam madrasah maka upaya menaikkan citra madrasah dari lembaga pendidikan kelas dua bahkan tiga menjadi lembaga pendidikan yang dipercaya masyarakat akan tercapai. Caranya dengan saling bekerjasama atau tolong menolong bagaimana memajukan madrasah kita.
Wallahu a’lam bi al-shawab.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar