kalau dulu seseorang memilih guru maka dipilih berdasar seberapa jauh guru tersebut menggantungkan hatinya di masjid. Masjid adalah tempat ibadah, biasa digunakan untuk melaksanakan sholat fardhu berjamaah. Sehingga bila guru tersebut membiasakan diri sholat fardhu di masjid dan sholat jamaah diikuti oleh banyak orang maka lengkaplah kriteria guru tersebut. Tetangga juga akan merasakan bahwa guru memberi manfaat pada orang di sekitarnya. Bisa memberi contoh bahwa sholat adalah media untuk berhubungan secara vertikal dengan Allah SWT dan secara horisontal berhubungan dengan tetangga. Sehingga bila seseorang terbiasa sholat berjamaah di masjid bisa diyakini bahwa orang tersebut bisa berhubungan dan bekerjasama dengan tetangga sekitarnya.
Mengapa dibalik itu semua? Kanjeng Nabi Muhammad SAW sendiri senantiasa sholat berjamaah di masjid. Sehingga beliau bisa memimpin diri sendiri apalagi masyarakat. Seharusnya memang guru senantiasa sholat di masjid. Apakah setiap waktu sholat, guru ada di masjid? Bila belum maka masih dipertanyakan keguruannya? Karena belum teruji untuk memimpin.
Yang kedua, bagaimana kesan para tetangga. Tetangga tidak bisa dibohongi. Bila seseorang berbuat baik maka biasanya tetangga akan merasakannya. Karena orang yang paling dekat, sebenarnya adalah tetangga. Karena terkadang saudara kandung biasanya rumahnya berjauhan. Sehingga apabila meminta pertolongan biasanya ya tetangganya. Dalam masyarakat hal yang lumrah di nilai seseorang adalah seberapa ramah seseorang dengan tetangganya. Misalnya menyapa, bila ada hajat semampunya membantu, bila kesusahan takziyah, membesarkan hatinya. Sebenarnya sepele, namun seiring dengan perkembangan zaman dan kesibukan masing-masing kita terlena dengan masalah di sekitar kita. Maka perlu sebisanya sebagai media silaturahmi dengan tetangga, bila tetangga mengundang acara diusahakan untuk hadir. Ada undangan RT/RW atau bahkan desa sebisanya juga hadir. Untuk menghindari tereliniasi dari pergaulan bertetangga, dan media yang paling baik memang masih dengan berusaha sholat fardhu berjamaah di masjid atau mushola. Hal yang bisa diraih yakni mendapat keberkahan dari Allah dan menjaga hubungan dengan tetangga.
Yang ketiga, jaringan sosial. Seberapa banyak jaringan atau relasi yang dimiliki oleh guru tersebut. Bila banyak orang yang kenal dan merasa safe atau aman bila berhubungan dengan guru tersebut maka guru memang layak untuk dijadikan guru. Bila dihubungkan dengan konteks sekarang apakah masih relevan hal tersebut? Masih relevan juga. Karena seseorang dijadikan sumber ilmu maka harus memenuhi kriteria tertentu. Apakah kedalaman ilmunya misalnya harus bergelar doktor bahkan guru besar? Lalu kedalaman spiritualnya, seberapa jauh ia menghayati agama dan melaksanakannya? Lalu seberapa jauh tingkat profesionalnya, dalam arti seberapa jauh ia bisa melaksanakan tugas profesinya.
Saya kira, parameter rajin sholat berjamaah di masjid, kesan tetangga, dan jaringan/relasi sosial juga bisa dijadikan masukan untuk menjadikan seseorang menjadi pemimpin. Misalnya untuk menjadikan seseorang jadi kepala madrasah disamping parameter yang sudah baku. Misalnya kepangkatan, masa kerja, tingkat pendidikan, visi kepemimpinan, visi perubahan.
Wallahu a’lam bi al shawab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar